Bak sayur tanpa garam, mungkin ini pepatah paling pas untuk menggambarkan Lebaran tanpa prosesi mudik. Hambar dan kurang lengkap. Tak mengherankan bila kemudian mudik menjadi ritual rutin tahunan menjelang akhir bulan Ramadhan. Sebagian (besar) masyarakat berjibaku untuk mudik ke kampung halaman setiap tahunnya saat Lebaran tiba.

 

Besarnya pergerakkan masyarakat, membuat Pemerintah tak bisa berpangku tangan terhadap fenomena mudik. Berbagai sarana dan prasarana dilakukan pembenahan dan perbaikan, walaupun terkesan tambal sulam belaka. Sementara bagi para pelaku ekonomi, fenomena mudik merupakan ceruk pasar yang menggiurkan. Betapa tidak, karena para pemudik setidaknya menggembol fulus ke kampung halaman minimal Rp 12-16 trilyun. Wah, sebuah angka yang amat ciamik.

 

Tahun ini (2011), secara nasional jumlah pemudik diestimasikan mencapai 15,4 juta pemudik. Naik 4,14 persen, dari tahun sebelumnya yang berjumlah 14,8 juta. Namun demikian, prosesi mudik Lebaran senantiasa menyisakan berbagai ironisme (distorsi) yang hingga detik ini belum terlesaikan.

 

1.      Pelanggaran Tarif

Memindahkan jutaan manusia dalam tempo bersamaan, tentunya bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan ribuan armada untuk itu. Jumlah permintaan (penumpang) acapkali melebihi persediaan (armada) yang ada. Tak pelak praktik di lapangan, selama arus mudik Lebaran, para operator angkutan acap menggunakan aji mumpung yang berpotensi menumbuhkan pelanggaran, baik kapasitas muat maupun tarif. Pelanggaran paling kentara adalah pelanggaran tarif, umumnya oleh angkutan darat (bus), dan bahkan angkutan udara; khususnya pelanggaran tarif batas atas (ceiling price).

Bagi awak angkutan bus, dalih pelanggaran bisa bermacam-macam, misalnya untuk tambahan beli bahan bakar (karena macet), membayar tol, atau bahkan mendapatkan tambahan THR. Pelanggaran ini, selain perilaku nakal operator, juga menunjukkan masih rendahnya pengawasan oleh Pemerintah selaku regulator. Padahal, pada konteks regulasi, pelanggaran besaran tarif termasuk pelanggaran berat, yang bisa berujung pada pembekuan operasi, atau bahkan pencabutan ijin trayek, ijin operasi.

 

2.      Macet Total

Tradisi mudik, juga tak bisa dilepaskan dengan tradisi kemacetan total, terutama di ruas jalan Pantai Utara Jawa (Pantura). Banyak faktor menjadi penyebab kemacetan; infrastruktur jalan rusak, pasar tumpah, perilaku pengguna jalan, juga terutama adalah tingginya penggunaan kendaraan pribadi. Bayangkan, jika tahun ini ada sekitar 1,37 juta pemudik menggunakan mobil pribadi, plus 5,3 juta unit sepeda motor. Seluas apa pun ruas jalan yang ada, maka tak akan mampu menampung luapan kendaraan pribadi tersebut.

Benar, data Kementerian Pekerjaan Umum menunjukkan bahwa 89,5 persen ruas jalan nasional telah siap dilewati arus mudik. Tetapi, kesiapan infrastuktur jalan ini, tidak serta merta akan mampu mengatasi kemacetan, karena toh penyebab kemacetan tidak bersifat tunggal. Jalan rusak/berlubang, hanya salah satu  faktor pemicu kemacetan, masih ada faktor lain.

 

3.      Rendahnya Keselamatan

Selain kemacetan, yang lebih memprihatinkan saat mudik adalah rendahnya aspek keselamatan, khususnya keselamatan di jalan raya, penyeberangan, dan sarana angkutan laut. Di tengah rendahnya paradigma dan budaya selamat dalam bertransportasi, saat mudik, kondisinya semakin turun hingga titik nadir. Dalam praktiknya saat mudik Lebaran, semua pihak menggunakan jargon “yang penting terangkut”.

 

Tahun kemarin (2010), menurut data Mabes Polri, jumlah kecelakaan lalu-lintas mencapai 1.397 kecelakaan, dengan korban luka berat 318 kasus dan 619 luka ringan. Dan, yang amat mengenaskan jumlah korban meninggal masih sangat signifikan, yaitu 243 orang meninggal selama mudik Lebaran. Memang, jika disandingkan dengan tahun sebelumnya (2009), jumlah korban meninggal turun drastis. Pada 2009, jumlah korban meninggal mencapai 709 orang.

 

4. Konsumsi BBM Melonjak

 

Mudik Lebaran, sejatinya justru menggerogoti anggaran pemerintah, khususnya terkait dengan besaran subsidi bahan bakar minyak. Dipastikan, selama arus mudik Lebaran konsumsi bahan bakar minyak (khususnya premium), akan melonjak tajam. Dengan kata lain, subsidi Pemerintah untuk premium pun akan terkerek.

 

Menurut estimasi Hiswana Migas (himpunan wiraswasta nasional minyak dan gas), lonjakan konsumsi bahan bakar minyak selama arus mudik Lebaran minimal mencapai 60 persen, atau bahkan 100 persen (sekitar 35 ton per hari). Silakan dihitung sendiri, berapa triliun Pemerintah harus menambah anggaran subsidinya. Ironisnya, yang disubsidi adalah kaum berduit, karena menggunakan kendaraan pribadi.

 

4.      Fenomena Sepeda Motor

 

Beberapa tahun terakhir, mudik Lebaran dengan berkendara sepeda motor seolah menjadi trend. Faktor efisiensi umumnya menjadi alasan utama, baik efisiensi waktu maupun biaya operasional. Tahun ini, pemudik dengan sepeda motor diperkirakan mencapai 5,3 juta unit, naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4,7 juta unit. Upaya pemerintah untuk mengangkut pemudik sepeda motor dengan truk, kereta api barang, atau bahkan kapal laut, tak akan menyurutkan tingginya minat pemudik menggunakan sepeda motor.

Penggunaan sepeda motor untuk mudik Lebaran, sebenarnya menyisakan kisah pilu. Pasalnya, 70 persen lebih korban meninggal akibat kecelakaan lalu-lintas adalah pengguna sepeda motor. Pada mudik Lebaran 2010, menurut data Mabes Polri, jumlah keterlibatan sepeda motor dalam kecelakaan lalu lintas mencapai 75 persen dari total kasus (1.397 kasus).

 

Konklusi

 

Mudik Lebaran, adalah ritual yang terus berulang, dengan segala hiruk-pikuknya. Benar, bukan perkara mudah untuk memindahkan jutaan manusia dengan waktu yang nyaris bersamaan. Namun demikian, Pemerintah seharusnya telah membereskan terlebih dahulu sarana prasarana transportasi, khususnya darat, penyeberangan, dan laut.

 

Transportasi darat, seharusnya Pemerintah menjadikan angkutan kereta api sebagai tulang punggung. Tetapi, ironisnya, tahun ini kapasitas angkut rangkaian kereta api malah mengalami penurunan. Pemerintah pun mustinya meningkatkan intensitas pengawasan terhadap perilaku operator angkutan umum, khususnya operator bus dan penerbangan. Lebih jauh, Pemerintah musti memberikan sanksi yang tegas dan menjerakan jika mereka melanggar. Terbukti, operator angkutan sering melanggar ketentuan tarif batas atas (ceiling price). Atau, khususnya untuk operator penerbangan, mereka menerapkan tarif batas atas, tetapi pelayanan yang diberikan kelas minimalis (no frill service).

 

Selebihnya, siapapun, harus menjadikan paradigma keselamatan berada pada tataran paling depan. Tak ada kompromi sedikitpun terkait hal ini. Kecepatan waktu tempuh, dan atau alasan daya angkut, tak akan ada artinya jika mendegradasikan aspek keselamatan. Jargon “yang penting terangkut” harus ditanggalkan. Sudah waktunya semua pihak mewujudkan prosesi mudik Lebaran yang lebih beradab.

***

Tulus Abadi – Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)