Lebaran tanpa mudik sepertinya tidak mungkin. Ibarat sayur, akan terasa hambar jika kurang garam. Karena itu, sebagian (besar) masyarakat berjibaku untuk mudik ke kampung halaman saat Lebaran. Pemerintah pun tak berpangku tangan menghadapi fenomena mudik Lebaran ini. Berbagai sarana-prasarana dibenahi dan diperbaiki, walaupun terkesan tam-bal-sulam belaka.

Sementara itu, bagi pelaku ekonomi, fenomena mudik merupakan ceruk pasar yang menggiurkan. Betapa tidak, karena para pemudik setidaknya menenteng fulus ke kampung halaman minimal Rp 12-16 triliun. Wah, sebuah angka yang amat ciamik. Tahun ini (2011), secara nasional jumlah pemudik diestimasi mencapai 15,4 juta orang. Naik 4,14 persen dan tahun sebelumnya yang berjumlah 14,8 juta. Meski demikian, prosesi mudik Lebaran justru menyisakan berbagai ironisme (distorsi) yang hingga detik ini belum terlesaikan.

Kemacetan mengular

Tradisi mudik juga tak bisa dilepaskan dan tradisi kemacetan total, terutama di ruas jalan Pantai Utara Jawa (Pantura). Banyak faktor menjadi penyebab kemacetan infrastruktur jalan yang rusak, pasar tumpah, perilaku pengguna jalan, juga terutama adalah tingginya penggunaan kendaraan pribadi. Bayangkan, tahun ini diperkirakan 1,37 juta pemudik menggunakan mobil pribadi plus 5,3 juta unit sepeda motor. Seluas apa pun, ruas jalan yang ada tak akan mampu menampung luapan kendaraan pribadi tersebut. Benar, data Kementerian Pekerjaan Umum menunjukkan bahwa 89,5 persen ruas jalan nasional telah siap dilewati arus mudik Tetapi kesiapan infrastuktur jalan im tidak serta-merta akan mampu mengatasi kemacetan, karena toh penyebab kemacetan tidak bersifat tunggal (bukan hanya faktor jalan rusak/berlubang).

Rendahnya tingkat keselamatan

Selain kemacetan, yang lebih memprihatinkan saat mudik adalah rendahnya aspek keselamatan, khususnya keselamatan di jalan raya, penyeberangan, dan sarana angkutan laut. Di tengah rendahnya paradigma dan budaya selamat dalam bertransportasi, saat mudik, kondisinya akan turun hingga titik nadir.

Pada prakteknya, saat mudik Lebaran,semua pihak akan menggunakan jargon “yang penting terangkut”.Tahun lalu, menurut data Markas Besar Kepolisian RI, jumlah kecelakaan lalu lintas mencapai 1.397 kasus, dengan korban luka berat 318 orang dan 619 luka ringan. Dan, yang amat mengenaskan, jumlah korban meninggal masih sangat signifikan, yaitu 243 orang selama mudik Lebaran. Memang, jika disandingkan dengan angka tahun sebelumnya (2009), jumlah korban meninggal turun drastis. Pada 2009, jumlah korban meninggal mencapai 709 orang.

Pelanggaran tarif

Praktek di lapangan, selama arus mudik Lebaran, para operator angkutan acap menggunakan prinsip aji mumpung. Pelanggaran paling kentara adalah dalam soal tarif, umumnya oleh angkutan darat (bus), bahkan angkutan udara, khususnya pelanggaran tarif batas atas {ceiling price). Bagi awak angkutan bus, dalih pelanggaran itu macam-macam, misalnya untuk tambahan beli bahan bakar (karena macet), bayar tol, atau bahkan untuk tambahan tunjangan (THR). Pelanggaran ini, selain merupakan perilaku nakal ope-rator, menunjukkan masih rendahnya pengawasan oleh pemerintah selaku regulator. Padahal, pada konteks regulasi, pelanggaran besaran tarif termasuk pelanggaran berat, yang bisa berujung pada pembekuan operasi, bahkan pencabutan izin trayek atau izin operasi.

Harga BBM melonjak

Mudik Lebaran sejatinya justru menggerogoti anggaran pemerintah, khususnya terkait dengan besaran subsidi bahan bakar minyak. Dipastikan, selama arus mudik Lebaran, konsumsi bahan bakar minyak (khusunya Premium) akan melonjak tajam Dengan kata lain, subsidi pemerintah untuk Premium pun akan terkerek. Menurut estimasi Hiswana Migas, lonjakan konsumsi bahan bakar minyak selama arus mudik Lebaran minimal mencapai 60 persen, atau bahkan 100 persen (sekitar 35 ton per hari). Silakan dihitung sendiri, berapa triliun pemerintah harus menambah anggaran subsidinya. Ironisnya, yang disubsidi adalah kaum berduit (karena menggunakan kendaraan pribadi).

Sepeda motor

Beberapa tahun terakhir, mudik Leba-ran dengan berkendara sepeda motor seolah menjadi tren. Faktor efisiensi umumnya menjadi alasan utama, baik efisiensi waktu maupun biaya operasional. Tahun ini pemudik dengan sepeda motor diperkirakan mencapai 5,3 juta unit (tahun sebelumnya 4,7 juta unit). Upaya pemerintah untuk mengangkut pemudik bersepeda motor dengan truk, kereta api barang, bahkan kapal laut, tak akan menyurutkan tingginya minat pemudik menggunakan sepeda motor.

Penggunaan sepeda motor untuk mudik Lebaran sebenarnya menyisakan kisah pilu. Pasalnya, 70 persen lebih korban yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas adalah pengguna sepeda motor. Pada mudik Lebaran 2010, menurut data Mabes Polri, jumlah keterlibatan sepeda motor dalam kecelakaan lalu lintas mencapai 75 persen dari total kasus (1.397 kasus).

Kesimpulan dan saran

Mudik Lebaran adalah ritual yang terus berulang, dengan segala hiruk-pikuk-nya. Benar, bukan perkara mudah memindahkan jutaan manusia dengan waktu yang nyaris bersamaan. Meski demikian, pemerintah seharusnya telah membereskan terlebih dulu sarana-prasarana transportasi, khususnya darat, penyeberangan, dan laut. Untuk transportasi darat, seharusnya pemerintah menjadikan angkutan kereta api sebagai tulang punggung. Tetapi, ironisnya, tahun ini kapasitas angkut rangkaian kereta api malah mengalami penurunan.

Pemerintah pun mestinya meningkatkan intensitas pengawasan terhadap perilaku operator angkutan umum, khususnya operator bus dan penerbangan, dan memberikan sanksi yang tegas dan men-jerakan jika mereka melanggar. Terbukti, operator angkutan sering melanggar ketentuan tarif batas atas [ceiling price). Atau, khususnya untuk operator penerbangan, mereka menerapkan tarif batas atas, tetapi pelayanan yang diberikan kelas minimalis (no frill service).

Selebihnya, siapa pun harus menjadikan paradigma keselamatan sebagai “panglima”.Tak ada kompromi sedikit pun dalam soal ini. Kecepatan waktu tempuh, dan atau alasan daya angkut, tak akan ada artinya jika mendegradasikan aspek keselamatan. Jargon “yang penting terangkut” harus ditanggalkan. Sudah waktunya semua pihak mewujudkan prosesi mudik Lebaran yang lebih beradab.

Tulus Abadi, Anggota pengurus harian YLKI dan anggota dewan transportasi kota Jakarta

(Dimuat di Koran Tempo, 12 Agustus 2011)