Bak fenomena terorisme yang akhir-akhir ini kembali menunjukkan tajinya, aspek keamanan dan keselamatan urusan dapur masyarakat konsumen di Indonesia ternyata mengalami hal yang sama. Mungkin terdengar absurd, tetapi fakta dan fenomena menunjukkan hal yang demikian. Bahkan, ancaman itu makin luas dan beragam jenisnya. Semula, ancaman itu muncul via benda yang bernama “tabung melon”, alias tabung gas elpiji 3 kg. Sebuah lembaga riset mencatat, tidak kurang dari 189 kasus ledakan gas elpiji telah terjadi di seantero negeri, korban meninggal tidak kurang dari 33 orang, dan korban luka-luka 255 orang. Plus hancur leburnya infrastruktur milik konsumen, yang tak terkira jumlahnya.
Kini fenomena “terorisme” jenis lain yang tak kalah seramnya juga mengancam keberlanjutan dapur masyarakat konsumen Indonesia. Bukan oleh aksi teror (dalam arti sesungguhnya) atau tabung gas elpiji, tetapi oleh “ledakan” harga sembilan bahan pokok (sembako).
Terkait dengan hal itu, lazim kita pertanyakan; apakah sejatinya penyebab melambungnya harga sembako, apakah efek jangka pendek dan jangka panjangnya bagi masyarakat konsumen, plus adakah solusi komprehensif yang bisa dilakukan oleh Pemerintah?
Pengaruh TDL?
Semula, masyarakat pelaku usaha ramai menuding (termasuk kalangan DPR), kenaikan harga sembako dipicu oleh kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Tudingan ini rasanya amat gegabah, pasalnya, apa hubungannya harga cabai dengan kenaikan TDL? Toh untuk membuat/menanam cabai tidak memerlukan energi listrik. Apalagi, kenaikan TDL hanya dimulai pada golongan 1300 VA ke atas; sementara golongan mayoritas konsumen listrik (450VA – 900VA) tidak dinaikkan tarifnya. Nampaknya tudingan itu tidak terbukti.
Kemudian tudingan lainnya beralih ke faktor cuaca. Memang, tudingan ini ada benarnya, karena akhir-akhir ini terjadi perubahan cuaca yang amat ekstrim, terkait dengan perubahan iklim global (global climate change). Tetapi, tentu bukan faktor cuaca ansich yang menjadi biang kerok atas hal ini. Dalam konteks marketing, penyebab melambungnya harga sembako adalah adanya “distorsi pasar” yang amat serius, seperti; buruknya jaringan infrastuktur jalan, ketiadaan sarana transportasi yang memadai, bencana alam — terutama banjir di beberapa daerah, dan para cukong (penimbun) yang acap mengeruk keuntungan sepihak, di tengah demand yang sangat tinggi.
Jika ini yang menjadi penyebab utama, bahkan termasuk faktor cuaca, maka persoalan harga yang terus membubung tinggi, akan menjadi persoalan laten yang tidak bisa dianggap remeh-temeh. Efek negitifnya bukan saja masyarakat konsumen (khususnya kelas menengah bawah) tidak mampu merayakan hari raya dengan optimal, tetapi kelanjutannya mereka akan mengurangi jenis barang tertentu dan atau mensubstitusi dengan barang lainnya. Lebih dari itu akan mengancam keberlanjutan urusan dapur masyarakat secara keseluruhan, dan hal ini akan mengurangi kualitas hidup masyarakat golongan ini.
Tindakan preventif
Anehnya, Pemerintah belum terlihat melakukan tindakan signifikan untuk mengatasi hal ini. Pemerintah masih terlihat “adem ayem” saja, dan menganggap fenomena biasa menjelang hari raya atau tahun baru. Paling banter Pemerintah hanya mampu melakukan operasi pasar dibeberapa titik lokasi, yang terbukti tidak cukup ampuh mengatasi gejolak harga. Pemerintah nampaknya lupa, bahwa secara institusional kewenangan Pemerintah hanya sebatas mengatur harga beras (itupun sering gagal juga). Tinggal beras yang pengaturannya masih “dimonopoli” oleh Bulog, yang berfungsi sebagai peyangga dan pengatur harga di pasaran. Sedangkan komoditas lainnya praktis bertumpu pada kedigdayaan pasar.
Buruknya infrastruktur, termasuk pasokan listrik, belum mendapatkan sentuhan kebijakan yang memadai. Sekalipun dijanjikan pasokan listrik sudah dinyatakan aman, toh minggu-minggu ini pasokan listrik kembali “batuk-batuk” (contoh teraktual di Jakarta). Padahal, keandalan infrastruktur menjadi prasyarat utama untuk kelancaran distribusi, dan bahkan saat proses produksi. Tingginya pungli (yang ironisnya justru dilegalisasi oleh berbagai peraturan daerah), juga masih menjadi fenomena yang tak terelakkan. Perda-perda bermasalah (jumlahnya sekitar 3500) seharunsya sudah “dipetieskan” agar tidak menjadi benalu sektor usaha, yang kemudian konsumen akhir (end user) yang menanggung itu semua.
Terkait dengan persoalan perubahan cuaca dan iklim global, Pemerintah idealnya melakukan tindakan preventif untuk menyelamatkan kalangan petani yang hingga kini hanya mendasarkan pada “cuaca konvensional” saja (tanpa mampu membaca perubahan iklim global). Pemerintah seharusnya mulai mengedukasi dan memfasilitasi dengan kebijakan konkrit, agar petani mampu bercocok tanam “ramah” dengan perubahan iklim global.
Intervensi negara
Dalam konteks politik pengelolaan sembako, idealnya Bulog tidak hanya meng-handle urusan beras saja. Berbagai komoditas lain, yang sangat strategis, seharusnya di bawah urusan Bulog juga, misalnya telur ayam, susu, dan minyak goreng. Bandingkan dengan Malaysia atau bahkan Australia, yang masih menjadikan sembilan bahan pokok, masih di bawah kendali negara. Bagaimanapun negara tidak boleh menyerah begitu saja dan kemudian malah menyatakan bahwa fenomena ini adalah domain “market mechanism”. Negara musti turun tangan (mengintervensi), dalam arti yang sesungguhnya, setidaknya untuk meminimalisir perilaku pasar yang acap tidak manusiawi. Adalah menjadi tugas dan tanggungjawab negara untuk menciptakan rasa aman, nyaman dan selamat bagi warga negaranya, termasuk dalam urusan dapur sekalipun.
***
Tulus Abadi
(Dimuat di koran Tempo, 14 Agustus 2010)
0 Comments on "Mengantisipasi “Ledakan” Harga Sembako"