Sudah menjadi tradisi setiap menjelang lebaran kebutuhan masyarakat akan produk daging segar mengalami kenaikan. Pada saat yang sama, marak fenomena peredaran daging segar bermasalah di pasar, seperti daging sapi glonggongan, daging sapi campur celeng, ayam tiren, ayam berformalin.

 

Langkah Pemerintah Kota/Kabupaten dalam merespon maraknya peredaran daging segar bermasalah, seperti biasa adalah melakukan inspeksi ke pasar, mengecek kondisi daging segar yang diperdagangkan, dan memberi teguran kepada pedagang yang terbukti menjual daging segar yang tidak layak dikonsumsi.

 

Upaya Pemerintah Kota/Kabupaten di atas terbukti tidak efektif dalam meredam peredaran daging bermasalah, karena kasus serupa selalu berulang setiap tahun. Sudah waktunya untuk melindungi masyarakat konsumen dari peredaran daging tidak layak konsumsi perlu ditempuh langkah-langkah radikal.

***

Kesadaran tentang arti penting keamanan produk pangan asal hewan, secara historis sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Untuk kepentingan operasi militer Belanda (penanganan kesehatan kuda kavaleri dan pengawasan makanan asal hewan) dikirim dokter hewan pertama asal Belanda KA Copiters pada 1820.

 

Kemudian dilanjutkan dengan pengaturan tentang peternakan dan kesehatan hewan pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda dengan menerbitkan Plakat pada 26 Agustus 1836 yang mengatur: (1) pemotongan hewan betina bertanduk, dan (2) lalu lintas ternak antar daerah untuk pencegahan penyakit menular.

 

Adanya pengaturan lalu lintas ternak asal daerah terbukti sangat penting, karena terbukti wabah penyakit hewan menular pernah terjadi, seperti: (1) penyakit Septichenia Epizooticae (ngorok) pada 1884; (2) Penyakit Anthrax (radang limpa) 1884; (3) penyakit Aptae Epizooticae (mulut dan kuku) 1887; dan (4) penyakit Rinderpest (sampar menular) tahun 1897.

 

Untuk pengawasan produk pangan asal hewan adalah masalah serius, karena penyakit hewan menular sangat ditakuti, menularnya sangat cepat dan secara ekonomi sangat merugikan, serta pengendaliannya sulit dan kompleks. Sebagai ilustrasi, Indonesia butuh waktu lebih dari 100 tahun baru bebas Penyakit Mulut dan Kaki (PMK) dan diakui international pada 1990.

***

Secara kelembagaan pengaturan pengawasan produk pangan asal hewan menjadi kewenangan Departemen Pertanian, sedangkan di level operasional, pengawasan produk pangan asal hewan menjadi tanggungjawab Pemerintah Kota/Kabupaten. Adapun otoritas yang memiliki kompetensi keahlian pengawasan produk pangan asal hewan adalah dokter hewan (Veteriner).

 

Dengan demikian, adalah sebuah kemutlakan setiap Pemerintah Kota/Kabupaten, baik yang lama maupun daerah pemekaran, sekurang-kurangnya memiliki satu dokter hewan. Problem riil di lapangan, belum semua Pemerintah Kota/Kabupaten memiliki dokter hewan, dengan demikian terjadi loss control dalam pengawasan produk pangan asal hewan di Pemerintah Kota/Kabupaten yang belum memiliki dokter hewan.

 

Masalah ini semakin kompleks, karena dalam atmosfir komersialisasi dunia perguruan tinggi, khususnya Fakultas Kedokteran Hewan, menjadikan banyak dokter hewan baru lebih tertarik berkiprah di dunia industri, dibandingkan dengan menjadi birokrat dengan gaji pas-pasan untuk menjalankan ”tugas mulia” melakukan fungsi pengawasan produk pangan asal hewan di berbagai wilayah Pemerintahan Kota/Kabupaten di seluruh pelosok Indonesia.

 

Selain lack of capacity dalam hal personil berupa tidak adanya dokter hewan,  pengawasan produk pangan asal hewan juga menghadapi masalah dalam hal minimnya anggaran untuk menjalankan fungsi pengawasan. Idealnya pengawasan dilakukan secara periodik minimal setiap tiga bulan sekali, dalam bentuk mengambil sampel daging segar yang ada di pasar, kemudian dilakukan uji laboratorium. Hasil uji laboratorium dapat menjadi peringatan dini tentang ada tidaknya daging bermasalah yang beredar di pasar. Apabila terbukti ada daging yang tidak layak konsumsi beredar di pasar, perlu ada langkah penarikan produk (recall) dari pasar. Sehingga konsumen terbebas mengonsumsi produk daging segar bermasalah.

 

Maraknya peredaran daging tidak layak konsumsi juga tidak lepas dari lemahnya penegakan hukum. Sudah waktunya, pedagang yang terbukti menjual daging bermasalah, tidak hanya didekati terbatas pada pelanggaran administrasi belaka, tetapi sebagai perbuatan kriminal yang bisa diancam pidana. Dasarnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya pasal 8 ayat (1) tentang larangan pelaku usaha memperdagangkan barang yang tidak sesuai standar. Dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun atau denda maksimal 2 (dua) milyar rupiah.

 

Sudaryatmo – Ketua Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di majalah Warta Konsumen)