Sebagaimana lazimnya dari tahun ke tahun, perayaan hari raya Idul fitri akan ditandai dengan fenomena menyemutnya jutaan manusia yang akan mudik ke kampung halaman. Sejatinya tak ada yang ganjil dengan fenomena ini. Di negara-negara Eropa dan Amerika pun terdapat fenomena sama: pulang kampung untuk merayakan Natal atau bahkan Thank’s Giving Days. Tetapi yang menjadi ganjil (anomali) prosesi mudik di Indonesia adalah, moda transportasi yang digunakan untuk pulang kampung tersebut.

 

Salah satu bentuk keganjilan (anomali) itu adalah mudik dengan sepeda motor. Ya, mudik dengan sepeda motor, kini menjadi tren tersendiri. Tahun ini (2011), menurut estimasi Kementerian Perhubungan, total pemudik diperkirakan mencapai 15,7 juta orang. Sebagian besar mudik dengan kendaraan pribadi: 1,37 juta unit menggunakan roda empat (mobil) dan  sebanyak 5,3 juta unit sepeda motor.

 

Jarak puluhan bahkan ratusan kilometer tak menjadi kendala berselancar dengan sepeda motor menuju kampung halaman. Namun, bukan tanpa alasan rasional mereka melakukan hal itu; pertama, lebih murah. Paling banter hanya untuk membeli bensin beberapa liter, plus sekali dua kali makan di jalan. Kedua, lebih cepat waktu tempuhnya. Karakter sepeda motor bisa bermanuver dengan lincah, terutama saat terjadi kemacetan. Ketiga, punya kebebasan dan kepastian waktu, baik saat berangkat maupun di perjalanan. Bandingkan dengan jadwal bus umum atau bahkan kereta api yang nyaris tidak bisa diprediksi.

 

Keempat, sebagai sarana transportasi di kampung halaman. Keberadaan sepeda motor amat fungsional untuk wira-wiri beranjangsana dengan sanak keluarga. Mengandalkan angkutan umum, rasanya jauh panggang dari api. Kelima, merupakan gengsi sosial. Mejeng di kampung halaman dengan sepeda motor baru, ah, terasa membanggakan juga! Sekalipun diperoleh dengan cara mencicil (mengredit). Plus sederet alasan lain, yang secara akal sehat, memang bisa diterima.

 

Sarat Risiko

 

Namun, dibalik beberapa kelebihannya itu, sejatinya mudik dengan sepeda motor adalah tindakan yang amat membahayakan. Bukan saja bagi si pemiliknya, tetapi juga pengguna jalan lainnya. Mengapa? Dari sisi teknis transportasi, sepeda motor tidak didesain untuk perjalanan jarak jauh, apalagi untuk mudik yang menempuh jarak ratusan kilometer. Sepeda motor sebenarnya “angkutan komunitas”. Atau, sebuah perjalanan yang  tak lebih dari 10-12 km saja. Selain itu, oleh karena bentuknya yang kecil, pengguna sepeda motor acap zigzag atau bahkan melawan arus (counter flow).

 

Oleh karena itu, wajar jika tingginya kecelakaan di jalan raya, lebih dari 70 persen adalah pengguna sepeda motor. Mudik Lebaran tahun kemarin (2010), menurut data Mabes Polri, dari 10.397 kasus kecelakaan, 76 persennya adalah pengguna sepeda motor. Termasuk korban meninggal yang mencapai 243 orang. Demikian juga data 2008-2009, konfigurasi kasusnya sama persis. Bahkan, data kecelakaan reguler per tahun pun – lebih dari 30.000 orang Indonesia meninggal dunia (data PT Jasa Rahardja), adalah pengguna sepeda motor.

 

Tetapi, menyalahkan atau bahkan melarang pengguna sepeda motor (bikers), adalah tindakan yang tidak tepat. Melarang berarti melawan arus utama, dan bisa memicu distorsi sosial yang lebih serius. Penyebab utama maraknya penggunaan sepeda motor untuk mudik, ya, karena pemerintah gagal menyediakan sarana transportasi publik yang aman, nyaman, selamat; dan tarifnya pun terjangkau. Terbukti, kapasitas sarana transportasi publik yang ada, tak akan mampu menampungnya.

 

Seandainya 5,3 juta unit sepeda motor milik pemudik dialihkan ke angkutan umum, moda transportasi mana yang akan mampu menampungnya? Upaya Pemerintah yang menyediakan truk, gerbong kereta api barang atau bahkan kapal laut untuk mengangkut sepeda motor, tak akan menjawab tingginya minat pemudik menggunakan sepeda motor.

 

Kendalikan

 

Pada konteks yang lebih luas, terlepas dari fenomena mudik Lebaran, kehadiran sepeda motor sebagai moda alternatif transportasi, sudah amat merisaukan. Oleh karenanya, cepat atau lambat, pemerintah harus mengendalikan tingginya pertumbuhan penggunaan sepeda motor. Bukan malah membiarkan seperti sekarang. Ironisnya, tingginya minat terhadap sepeda motor malah dijadikan instrumen untuk menggali pendapatan asli daerah. Idealnya pemerintah bisa melakukan tindakan, seperti, menyediakan sarana transportasi publik masal, khususnya di kota-kota besar. Asumsinya, setelah akses sarana transportasi masal tersedia, mereka akan meninggalkan sepeda motornya.

 

Kedua, harus ada tekanan dari sisi kebijakan harga dan atau pola marketing sepeda motor. Sebagai contoh, di Iran, untuk membeli sepeda motor harus cash, tidak boleh kredit. Sementara di Indonesia, tanpa uang muka pun si konsumen bisa membawa pulang sepeda motor. Pemasarannya pun sudah amat masif dan “liar”, bahkan dari pintu ke pintu. Bak penjual kacang goreng saja. Ketiga, segera terapkan kebijakan “jalan berbayar” atau lazim disebut sebagai Electronic Road Pricing (ERP).  Selain untuk menekan parahnya kemacetan lalu-lintas, ERP juga sebagai alat penekan tingginya polusi, plus untuk menggali pendapatan daerah.

 

Selebihnya, secara paradigmatis, sudah sangat mendesak bagi Pemerintah untuk mengedepankan aspek keselamatan dalam transportasi. Selama ini, Pemerintah dan bahkan siapapun, dalam bertransportasi lebih mengedepankan aspek aksesibilitas dan kapasitas. Aspek keselamatan justru teronggok di peringkat yang paling bawah. Padahal, skala tertinggi (dan tidak ada kompromi untuk itu), adalah aspek keselamatan (safety aspek is the first).  Jika aspek keselamatan menjadi parameter utama dan pertama, maka sepeda motor menduduki skala paling rendah dari sisi keselamatan bertransportasi. Apalagi jika digunakan untuk jarak tempuh yang amat jauh, seperti mudik Lebaran.

***

Tulus Abadi -Anggota Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Koran Media Indonesia, 25 Agustus 2011)