Keranjang belanja konsumen menjelang hari besar keagamaan seperti lebaran isinya semakin berkurang. Dengan uang belanja yang sama, mendapatkan barang yang volumenya lebih sedikit. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan harga secara merata pada sejumlah komoditi yang menjadi kebutuhan pokok.

 

Fenomena kenaikan harga menjelang lebaran adalah ritual tahunan. Secara sederhana,  kenaikan harga terjadi karena volume uang  meningkat ( karena Tunjangan Hari Raya dan pinjam dengan jalan menggadaikan barang ) dan pada saat yang sama konsumen rebutan beli sejumlah komoditi secara bersamaan.

 

Pada level tertentu kenaikan harga sejumlah komoditi tidak perlu dirisaukan, dan justru positip, selain indikator meningkatnya daya beli masyarakat dan juga  roda ekonomi bekerja lebih cepat.

 

Sebaliknya justru lebih berbahaya ketika terjadi dis-inflasi, dimana terjadi perubahan harga dari yang cepat menjadi lambat ( turun temporer ), sehingga mendorong orang menunda melakukan transaksi karena berharap harga turun, roda ekonomi bisa berhenti berputar.

 

***

 

Dengan demikian, tidak seharusnya setiap terjadi kenaikan harga secara latah direspon dengan operasi pasar. Selain secara konsepsi, operasi pasar yang selama ini banyak digelar menjelang lebaran mengandung cacat bawaan.

 

Pertama, operasi pasar digelar dengan asumsi terganggunya keseimbangan antara supply dan demand, dengan menggelontor pasokan sejumlah komoditi ke pasar dengan harapan terjadi keseimbangan supply dan demand harga kembali ”normal”, namun tidak pernah ada ukuran pada level kenaikan harga berapa operasi pasar digelar. Jadi ada kesan menjadikan opersi pasar sebagai proyek.

 

Kedua, dari sisi komoditi operasi pasar hanya efektif apabila pemerintah menguasai komoditi. Saat ini, selain beras, praktis pemerintah tidak menguasai komoditi. Sehingga kalaupun melaksanakan operasi pasar, untuk komoditi minyak goreng misalnya, karena yang menguasai komoditi adalah pelaku usaha, pemerintah terbatas menghimbau kepada pelaku usaha untuk menjual minyak goreng ”dibawah” harga pasar. Hal ini bertentangan dengan karakter pelaku usaha yang dari sononya didirikan untuk mencari untung.

 

Ketiga, operasi pasar mestinya dengan target konsumen yang spesifik, khususnya kelompok masyarakat yang penghasilannya terbatas sehingga terpukul akibat kenaikan harga sejumlah komoditas. Dalam praktik, operasi pasar dilakukan di pasar dan bersifat terbuka, sehingga yang jadi ukuran adalah berapa volume yang terjual lewat operasi pasar, bukan pada target berapa jumlah masyarakat tidak mampu yang telah mengakses operasi pasar.

 

***

 

Operasi pasar selama ini digelar dengan asumsi premis tunggal, yaitu terganggunya supply dan demand. Padahal fenomena kenaikan harga adalah sesuatu yang kompleks dan multidimensional. Sehingga penting untuk mendiagnosa sebab sebuah kenaikan harga, baru menentukan treatment. Ibarat sebuah penyakit, hasil diagnosa seharusnya menjadi acuan dalam menentukan tindakan. Jadi, operasi pasar bukan obat mujarab yang bisa mengatasi semua persoalan kenaikan harga.

 

Sekurang-kurangnya selain masalah supply dan demand, kenaikan harga juga bisa disebabkan terganggunya rantai distribusi dan struktur pasar yang distortif. Adalah sebuah fakta logistic fee di Indonesia paling mahal di Asean, hal ini akan sangat berdampak pada unit price dan harga jual.

 

Buruknya infrastruktur transportasi turut memberi kontribusi kenaikan harga. Fakta antrean truk yang akan melintasi selat sunda dari Merak ke Bakauheni adalah sebuah contoh akutnya masalah infrastruktur transportasi. Dalam jangka panjang, dalam upaya pengendalian harga pada saat yang sama juga harus diikuti dengan pembenahan infrastruktur transportasi.

 

Struktur pasar yang distortif dalam bentuk tata niaga sejumlah komoditas tertentu yang dikuasai segelintir pelaku usaha ( oligopoli ) juga memberi kontribusi pada kenaikan harga. Praktik kartel harga  oleh segelintir pelaku usaha pada sejumlah komoditi ( beras, minyak goreng , semen ) harus diperangi, karena telah merugikan konsumen dalam bentuk harus membayar lebih mahal dari harga yang wajar.

 

Secara kelembagaan, dengan kehadiran Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, menjadi tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), baik melalui upaya pencegahan maupun penegakkan hukum.

 

***

 

Dibandingkan dengan sejumlah negara, agenda ke depan yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia adalah membenahi aspek kelembagaan dalam upaya pengendalian harga. Di Malaysia, misalnya memilki Price Control Act 1946 ( UU Kawalan Harga ) dan disempurnakan menjadi The Price Control Act and Anti-profiteering Act 2010. UU ini mengatur dalam hal terjadi kenaikan harga yang tidak wajar, pedagang harus bisa menjelaskan fakta-fakta ( harga produksi, bahan baku, biaya tenaga kerja, transportasi dan margin ) . Kalau tidak, pedagang diancam pidana denda RM 500 ( untuk perorangan ) dan RM 100.000 ( untuk badan hukum )  dan / atau pidana penjara maksimal 3 (tiga ) tahun.

 

Untuk mengawal pelaksanaan The Price Control Act and Anti-profiteering Act 2010, Pemerintah Malaysia membentuk Price Advisory Council ( Dewan Penasehat Harga ) dimana juga menyediakan akses point pengaduan berupa hotline bebas pulsa buat masyarakat yang mendapati kenaikan harga tidak wajar di pasar.

 

Di Australia sejak 1983 memiliki Price Surveillance Act, secara kelembagaan membentuk Australian Competition and Consumer Commission (A3C), yang mempunyai tugas mempromosikan perdagangan yang adil di pasar untuk menguntungkan konsumen, bisnis dan masyarakat.

 

Dalam hal terjadi kenaikan harga yang ekstrem ( kenaikan harga di atas angka inflasi rata-rata nasional ), Pemerintah Australia melakukan intervensi dalam bentuk memberikan bantuan langsung tunai kepada masyarakat yang tidak mampu.***

 

Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian YLKI.

(Dimuat di Koran Kompas, 24 Agustus 2011)