Peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDFEUI), Abdillah Ahsan, menyatakan lemahnya peraturan tentang pengendalian tembakau di Indonesia menjadi salah satu pemicu maraknya perusahaan asing menguasai industri rokok dalam negeri.

 

“Lemahnya peraturan dapat dilihat dari tidak adanya larangan terhadap iklan rokok, harga rokok yang sangat terjangkau, tidak ada peringatan kesehatan bergambar dalam bungkus rokok serta belum efektifnya kawasan tanpa rokok” demikian diungkapkan Abdillah di tengah diskusi mengenai  Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) di Jakarta belum lama ini.

 

Disamping itu, tingginya pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,5% pertahun, besarnya jumlah dan bagian penduduk usia muda (high youth population), serta tingginya pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6-7% pertahun menjadikan prospek industri rokok sangat menjanjikan. “Tak mengherankan bilaIndonesia menjadi sasaran empuk perusahaan asing untuk menguasai industri tembakau” ujar Abdillah.

 

Menurut catatan LDFEUI, sejak tahun 2005 PT. Philip Morris International telah menguasai 98 persen saham dari PT HM. Sampoerna. Sementara PT. British American Tobacco (BAT) telah mengakuisisi 57% saham dari PT Bentoel International Investama milik group Rajawali. Bahkan pada Juli 2011, KT&G, sebuah perusahaan dari Korea mengumumkan telah membeli 60% saham milik PT Trisakti Purwosari Makmur (TPM), sebuah perusahaan rokok terkemuka dari Surabaya. Sehingga sudah ada tiga raksasa perusahaan rokok multinasional yang menguasai industri rokok dalam negeri.

 

Jumlah Perokok Meroket

 

Sementara itu, LDFEUI juga mengestimasi jumlah perokok yang mengalami peningkatan sejak 1995 sampai 2010. Jika tahun 1995 jumlah perokok di Indonesia berdasarkan perkiraan LDFEUI sebanyak 34,7 juta orang, maka jumlah ini menjadi 65,2 juta orang pada tahun 2007. Artinya, saat ini tidak kurang dari 65 juta orang merokok setiap harinya.  Sedangkan prevalensi merokok penduduk dewasa berusia 15 tahun atau lebih melonjak dari 27% pada tahun 1995 menjadi 34,7% (2010).

 

Berdasarkan jenis kelamin, untuk periode 1995-2010 prevalensi merokok laki-laki terus mengalami peningkatan dari 53% (1995) menjadi 66% di tahun 2010. Dengan kata lain, jika di tahun 1995, 1 dari 2 laki-laki dewasa merokok maka pada 2010 hal ini menjadi 2 dari 3 laki-laki dewasa merokok. Untuk perempuan dewasa, prevalensi merokok pada tahun 1995 sebesar 1,7% meningkat menjadi 4,2% (2010). Artinya, dalam kurun waktu 15 tahun prevalensi merokok perempuan dewasa di Indoensia telah meningkat lebih dari 2 kali lipat. “ini tren yang mengkhawatirkan, karena tren meningkatnya prevalensi merokok berarti meningkatnya beban penyakit akibat merokok pada masa mendatang” ujar Abdillah.

 

Data dari LDFEUI juga menunjukkan pada tahun 2009, enam dari sepuluh (68%) rumah tangga termiskin memiliki pengeluaran untuk rokok. Menurut kelompok pendapatan, mereka yang berada pada 20% rumah tangga dengan pengeluaran terendah, 57% nya memiliki pengeluaran untuk membeli rokok. “Hal ini sangat menyedihkan, sebab pengeluaran untuk membeli rokok akan membebani ekonomi rumah tangga termiskin dan akan mengorbankan pengeluaran lainnya yang jauh lebih penting” lanjut peneliti Abdillah.

 

Ini dibuktikan dari temuan LDFEUI bahwa pengeluaran untuk konsumsi rokok menempati urutan kedua setelah padi-padian (makanan pokok). Temuan ini konsisten sepanjang tahun 2003 – 2007. Disamping itu, pengeluaran untuk rokok lebih tinggi dari 23 jenis pengeluaran rumah tangga lainnya. Pada 2009, rata-rata 11% pendapatan rumah tangga termiskin yang ada perokoknya digunakan untuk membeli rokok.

 

Solusi Pengendalian Konsumsi

 

Tidak hanya itu, Abdillah pun memberikan alternatif solusi pengendalain konsumsi rokok. Menurutnya ada empat instumen utama yang terbukti efektif menurunkan konsumsi rokok dengan cara peningkatan harga rokok melalui peningkatan cukai rokok, pelarangan iklan secara menyeluruh, peringatan kesehatan bergambar di bungkus rokok, serta menggenjot kawasan tanpa rokok (KTR).

 

“Keempat instrumen tersebut harus diterapkan secara simultan agar konsumsi rokok dapat diturunkan secara signifikan. Kewenangan dalam implementasi memang berbeda-beda. Misalnya instrumen peningkatan cukai rokok, pelarangan iklan dan peringatan bergambar menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sedangkan KTR menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk mengaturnya,” tandas Abdillah. Menurutnya, peningkatan cukai rokok, akan berdampak pada kenaikkan harga rokok sehingga menurunkan daya beli dan konsumsi masyarakat terhadap rokok.

 

Belajar dari negara lain seperti Thailand dan Victoria (Australia) dalam upaya pengendalian konsumsi rokok, dibutuhkan biaya yang cukup besar. Namun negara-negara tersebut berhasil membentuk lembaga yang didanai oleh ”earmarking” pajak tembakau. ”Dalam taraf tertentu, Indonesia juga memiliki kebijakan ”earmarking” cukai tembakau yang disebut dengan dana bagi hasil (DBH) cukai tembakau seperti diamanatkan dalam UU No 39/2007.

 

Pasal 66A menyebutkan bahwa penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada propinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2% (dua persen). Dana ini dialokasikan untuk; mendanai kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan dibidang cukai, atau pemberantasan barang kena cukai ilegal.

 

”Dari lima pembagian penggunaan cukai tersebut, hanya alokasi pembinaan lingkungan sosial yang dapat digunakan untuk promosi kesehatan mengatasi dampak buruk akibat rokok, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja, serta pengentasan kemiskinan” tutup Abdillah.

 

Agus Sujatno – Staff YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)