Puncak perayaan Hari Raya Idul Fitri, atau sering disebut “Lebaran”, baru saja usai. Selama kurang lebih seminggu masyarakatIndonesia“berpesta” untuk merayakannya. Wujud dari “pesta” itu adalah mudik ke kampung halaman, yang menurut Pemerintah, jumlahnya mencapai 15,7 juta orang. Bak tarikan magnet, fenomena mudik Lebaran nyaris tak bisa dihindarkan. Sayangnya, basis perayaan Lebaran yang semula lebih kepada aspek spiritual, kini dengan segala pernak-perniknya perayaan Lebaran lebih dominan sebagai peristiwa ekonomi. Apalagi, jika ditakar dengan “uang saku” pemudik yang konon mencapai Rp 12-16 trilyun. Berpijak fenomena tersebut, wajar jika mudik Lebaran justru melahirkan berbagai anomali, tidak saja di bidang ekonomi, tetapi juga sosial, lingkungan bahkan budaya. Apa saja anomalinya?
Laka lantas
Tingginya kecelakaan lalu-lintas (laka lantas), seolah menjadi trademark mudik Lebaran. Bukan hanya mengakibatkan korban luka, tetapi, ratusan nyawa melayang sia-sia. Tahun ini, menurut data Mabes Polri, sejak H minus 7 dan H plus 3 mudik Lebaran, telah terjadi kecelakaan sebanyak 3.590 kasus, dengan korban meninggal dunia mencapai 590 orang, plus korban luka berat sebanyak 990 orang. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah kecelakaan tahun ini meningkat 36,8 persen (jumlah kecelakaan 2010 mencapai 2.382 kasus). Sedangkan korban meninggal dunia pada 2009 mencapai 739 orang dan pada 2010 sebanyak 243 orang. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan korban meninggal pada 2010, maka pada 2011 ini korban meninggal dunia mencapai lebih dari 100 persen! Pantas jika mudik Lebaran disebut sebagai “pesta berdarah”. Korban 590 orang meninggal bukanlah angka yang kecil. Itu setara dengan 4 (empat) pesawat Boeing seri 800 jatuh bersamaan! Mayoritas korban meninggal dunia (76 persen) adalah pengguna sepeda motor.
Dari perspektif ekonomi, laka lantas juga mengakibatkan dampak serius bagi ahli waris yang ditinggalkan. Karena, menurut analisa World Bank, laka lantas dengan korban meninggal mengakibarkan ahli waris jatuh miskin. Faktanya korban laka lantas adalah kepala keluarga dan atau usia produktif. Apalagi jumlah santunan yang diterima ahli waris sangat minimalis, hanya Rp 25 juta. Nyaris tidak berarti apa-apa, untuk menopang biaya hidup ahli waris ke depannya. Bandingkan dengan santunan serupa di Malaysia (Rp 1,3 miliar), atau bahkan di Amerika, Rp 3 miliar.
***
Selain tingginya laka lantas, dengan korban meninggal mencapai ratusan, mudik Lebaran juga masih menyisakan beberapa fenomena paradoksal, yaitu borosnya konsumsi bahan bakar (BBM) dan tumbuh suburnya budaya konsumtif.
Boros BBM
Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) selama mudik Lebaran melonjak drastis. Menurut Hiswana Migas, konsumsinya melonjak hingga 100 persen, dari hari biasanya. Pantas kalau selama arus mudik Lebaran, PT Pertamina memasok BBM hingga 1.280.551 kilo liter. Hal ini sangat rasional, mengingat mayoritas pemudik menggunakan kendaraan bermotor pribadi (1,3 juta unit mobil dan 5,6 juta unit sepeda motor!). Sejumput sisanya, mudik dengan angkutan umum. Lonjakan penggunaan BBM mengakibatkan bengkaknya alokasi subsidi BBM Pemerintah, yang, minimal mencapai Rp 10 triliun. Lonjakan konsumsi BBM, selain mengakibatkan jebolnya anggaran Pemerintah, juga meningkatkan produksi gas karbon ke udara. Artinya, mudik Lebaran menyebabkan efek pemanasan global yang signifikan!
Budaya konsumtif
Setali tiga uang dengan yang dialami oleh negara, perilaku masyarakat pun nampaknya tak bisa dihindarkan dari hal serupa. Penyebabnya, tarikan ekonomi mudik Lebaran jauh lebih dominan ketimbang aspek spiritual, sosial, bahkan budaya. Pelaku pasar dengan amat masif menggiring psikologi masyarakat untuk menjadikan suasana puasa dan Lebaran menjadi market frendly. Bulan puasa dan Lebaran telah disulap menjadi “bulan belanja”. Gencarnya promosi dan iklan, pola konsumsi masyarakat konsumen berubah total. Masyarakat tidak lagi mendasarkan aspek kebutuhan (need) saat berbelanja, tetapi lebih mengedepankan aspek want. Konteks need dan want saat berbelanja adalah hal yang amat berbeda bahkan kontradiktif. Pelaku pasar tahu persis insting masyarakatIndonesia yang “doyan belanja”, alias konsumtif. Akibatnya, uang saku pemudik dihabiskan untuk membeli barang instan belaka.
Kesimpulan, saran
Mudik Lebaran telah menjadi realitas sosial budaya yang tak terelakkan. Bahkan, aspek spiritualitas pun sejatinya mendukung untuk itu. Seharusnya negara serius melakukan intervensi agar berbagai anomali itu tidak terjadi. Setidaknya ditekan pada titik rasional. Menyediakan dan membangun sarana transportasi publik masal (khususnya kereta api dan kapal laut) adalah cara paling efektif, untuk menekan tingginya korban meninggal akibat laka lantas, dan borosnya konsumsi BBM. Pelaku pasar seharusnya tidak melakukan eksploitasi (komersialisasi) berlebihan, sehingga masyarakat konsumen mampu berbelanja secara cerdas (sesuai kebutuhan). Sudah saatnya negara dan masyarakat mewujudkan perayaan Lebaran yang lebih berkelanjutan dan berkeadaban, baik dari aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan budaya. ***
Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI dan Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta
(Dimuat di Koran Suara Pembaruan, 5 September 2011)
1 Comment on "Mudik Lebaran Masih “Berdarah”, Sebuah Evaluasi"