Karier (politik) Dahlan Iskan tampaknya mengalami lompatan yang luar biasa. Selain sebagai bos Jawa Pos Group, dan kemudian lompat pagar sebagai Direktur Utama PT PLN, kini Dahlan malah bertengger sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara. Ia nyaris tak berkeringat untuk mendapatkan posisi yang prestisius itu. Padahal, saat dipromosikan sebagai Direktur Utama PT PLN, Dahlan mulanya banyak menuai protes, termasuk dari penulis. Mana bisa orang media massa mengurusi sektor listrik yang begitu ruwet? Begitu kira-kira opini yang berkembang kala itu. Namun fakta berbicara lain. Kurang dari satu tahun, Dahlan Iskan “menggebrak“dengan terobosan kebijakan.
Dari sisi hulu, krisis listrik bisa dia atasi. Kendati cara yang dilakukan agak “klasik“, yakni menyewa diesel. Kemudian, dari sisi hilir (pelayanan), Dahlan menelurkan kebijakan yang bernama Gogress, Gerakan Satu Juta Sambungan dalam Sehari.Via program Gogress, PT PLN mampu menyapu jumlah daftar tunggu konsumen, yang jumlahnya mencapai 2 juta orang. Dan, satu lagi manuver kebijakan itu adalah program listrik “prabayar“. Program ini telah menjalar ke seluruh pelosok Tanah Air, termasuk wilayah Nusa Tenggara Timur, yang rasio elektrifikasinya baru mencapai 34 persen.“Ini revolusi saya. Saya akan menjadikan listrik prabayar untuk meningkatkan pelayanan pada konsumen listrik…,“kata Dahlan dalam suatu kesempatan diskusi dengan penulis. Tak kurang dari 2,5 juta akses listrik prabayar telah diwujudkan.
Terobosan listrik prabayar layak diberi apresiasi. Terbukti keberadaannya lebih memberi kemudahan dan kelebihan kepada konsumen. Misalnya konsumen tidak harus berurusan dengan petugas lapangan PT PLN.
Konsumen pun bisa mengelola sendiri kebutuhan listriknya. Ibarat membeli pulsa telepon seluler, konsumen bisa membeli stroom (isi ulang listrik prabayar) sesuai dengan kocek yang tersedia. Plus sederet kelebihan lainnya.
Namun implementasi listrik prabayar perlu diberi catatan kritis. Mengapa?
Sejatinya, secara kultural, implementasi listrik prabayar akan efektif ketika konsumen sebagai pengguna listrik telah mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi terhadap hak dan kewajibannya. Pada konteks ini, kesadaran terhadap hak dan kewajiban konsumen listrik di Indonesia masih tergolong minimalis (rendah).
Pencurian Listrik
Pencurian listrik Dengan basis kesadaran yang minimalis itu, secara empiris setidaknya akan melahirkan dua hal negatif, yakni maraknya pencurian listrik dan loses (susut) yang meningkat. Faktualnya, fenomena pencurian, baik oleh konsumen industri, bisnis, maupun rumah tangga, masih tinggi. Dan kontribusi pencurian listrik terhadap susut (nonteknis) masih tinggi pula. Nah, dengan pola listrik prabayar, sangat boleh jadi pencurian listrik akan mengalami eskalasi.
Logikanya? Implementasi listrik prabayar mengakibatkan “terputusnya“komunikasi konsumen dengan petugas PT PLN, baik secara manajerial maupun petugas lapangan. Misalnya konsumen tak perlu datang ke kantor PLN setempat untuk membayar tagihan listrik. Konsumen cukup datang ke anjungan tunai mandiri (ATM) untuk mengisi “pulsa“listrik prabayar. Selain itu, tidak ada lagi petugas pencatat kWh meter yang datang memeriksa pemakaian listrik konsumen. Bahkan tim P2TL (Petugas Penertiban Tenaga Listrik) juga enggan datang. Apanya yang mau diperiksa, wong manajemen PT PLN tidak lagi mempunyai data pemakaian listrik konsumen? Dengan fenomena yang demikian, potensi bagi konsumen untuk melakukan pencurian listrik menjadi terbuka lebar. Bahkan penulis mendapatkan informasi: di suatu kompleks perumahan elite di area Jakarta, ada “gerakan“untuk bermigrasi menjadi pengguna listrik prabayar karena mereka tahu bahwa mereka mudah mencuri listrik melalui listrik prabayar karena mereka tahu bahwa mereka mudah mencuri listrik melalui listrik prabayar
Loses meningkat
Akibat meluasnya pencurian listrik itu, kerugian finansial PT PLN juga akan melambung tinggi. Indikator kerugian itu secara teknis bisa dilihat dari meningkatnya angka atau persentase loses. Saat ini posisi loses PT PLN sudah lumayan bagus, yakni 9 persen (single digit). Ini prestasi yang luar biasa, karena beberapa tahun sebelumnya, loses PT PLN masih bertengger pada angka “dua digit“, yakni 12 persen. Dengan demikian, akibat meluasnya pencurian listrik itu, angka loses PT PLN akan kembali melompat pada kisaran dua digit. Jika ini terjadi, performa finansial PT PLN akan kembali memburuk (rapor merah). Ingat, 1 persen loses nilainya tak kurang dari Rp 1 triliun!
Kesimpulan, Saran
Dalam konteks meningkatkan pelayanan kepada konsumen, terobosan manajemen PT PLN terus mengembangkan listrik prabayar patut dihargai, bahkan didorong. Namun manajemen PT PLN tidak boleh lengah.
Implementasi listrik prabayar setidaknya harus dibarengi dengan dua hal, yaitu pertama, lakukan sosialisasi hak dan kewajiban konsumen listrik secara masif di semua lini. Sosialisasi yang masif akan menciptakan konsumen berdaya. Mereka tidak akan mencuri dan/atau melakukan vandalisme infrastruktur ketenagalistrikan milik PT PLN (milik negara).
Kedua, upaya inspeksi petugas lapangan ke rumah-rumah konsumen yang telah menerapkan listrik prabayar harus lebih intensif dilakukan.
Jangan beri ruang konsumen nakal untuk mencuri. Sebaliknya, jika hal itu diabaikan, niat mulia Dahlan Iskan untuk “berevolusi“meningkatkan pelayanan kepada konsumen listrik akan sia-sia. Listrik prabayar justru akan menjadi bumerang bagi PT PLN sendiri. Dan, ini menjadi legacy (warisan) yang amat buruk dari seorang Dahlan Iskan. Semoga hal ini tidak terjadi.
***
Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI
(Dimuat di Koran Tempo, 24 Oktober 2011)
6 Comments on "Dahlan Iskan dan Revolusi Listrik `Prabayar’"