Harus berani mengakui bahwasannya Indonesia memang jauh ketinggalan dalam upaya melindungi masyarakat terhadap dampak asap rokok. Dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan ASEAN saja, seperti di Thailand, Singapura, Philipina dan Malaysia. Di negara-negara tersebut, beberapa instrument regulasi telah dibuat untuk mengatasi dampak buruk produk tembakau ini. Diantaranya seperti yang tercantum dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), yaitu dengan peningkatan cukai rokok, pelarangan iklan rokok maupun kawasan tanpa rokok 100 persen yang bertujuan melindungi masyarakat bukan perokok. Selain itu, di negara-negara tersebut sudah menerapkan health warning (peringatan dampak kesehatan) yang bukan saja hanya berbentuk tulisan, namun juga menyantumkan grafik/ gambar dampak kesehatan didalam setiap kemasan rokok.
Berkebalikan dengan Indonesia, dimana Pemerintah masih terkesan melindungi industri rokok. Kesan ini terlihat pada keengganan pemerintah dalam meratifikasi/ mengaksesi FCTC, sebagai konvensi internasional tentang pengendalian tembakau yang telah diratifikasi oleh 162 negara. Tak berlebihan kiranya jika Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan beberapa LSM menggugat pemerintah dengan dasar kelalaian dalam melindungi hak dasar manusia atas kesehatan. Padahal, ratifikasi ini jauh lebih rasional, daripada, misalnya fatwa ‘haram’ yang digelontorkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tanpa mengurangi apresiasi terhadap keputusan MUI “mengharamkan” rokok, agaknya fatwa ini hanya akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat dalam implementasinya di lapangan jika tanpa dibarengi payung hukum.
Secara faktual, seperti ditulis dalam Factsheet Tobacco Control Support Center/ TCSC IAKMI, UI, rokok diketahui telah membunuh 1.174 rakyat Indonesia setiap harinya dan dampak kesehatan rokok telah ditulis dalam sedikitnya 70.000 artikel ilmiah sehingga bukti-bukti bahaya merokok ini telah sedemikian kuat dan tidak dapat dibantah. Berdasarkan pengumuman perseroan yang disampaikan BEI, tidak mengherankan kiranya jika dengan sikap permissive pemerintah terhadap rokok, pertumbuhan penjualan rokok di Indonesia meningkat sangat signifikan. Pun demikian juga data yang menunjukkan peningkatan perokok remaja, dari 13,7 persen menjadi 32,8 persen dan perokok anak-anak usia 5-9 tahun yang meningkat 4 kali lipat (Factsheet TCSC IAKMI, UI). Inilah satu-satunya negara di dunia dengan laju peningkatan jumlah perokok usia anak-remaja yang paling cepat melesat. Sehingga muncul pertanyaan apa alasan utama pemerintah yang berkesan ogah-ogahan dalam melindungi rakyat dari bahaya asap rokok?
Ekonomi Asap Rokok: Benarkah menguntungkan Negara?
Semata-mata tinggal alasan ekonomi sebagai dasar yang kuat atas segala kebijakan pemerintah yang berkesan melindungi industri rokok. Penyerapan tenaga kerja dan pendapatan negara dari cukai rokok sebagai alasan ekonomi tersebut. Namun bila dikaji lebih jauh argumentasi ini masih dapat dipertanyakan. Dari studi yang dilakukan oleh Lembaga Demografi (LD FEUI) pada tahun 2007, menunjukkan bahwa industri tembakau hanya memberikan kontribusi sebesar 1 persen dari total output nasional dan menduduki peringkat ke-34. Sedangkan dari sumbangan terhadap lapangan kerja pada tahun yang sama (2007) industri rokok hanya menduduki peringkat ke-48, sedangkan pertanian tembakau menduduki peringkat ke-30 diantara 66 sektor.
Secara nasional, jumlah tenaga kerja industri tembakau dan petani cengkeh adalah kurang dari 2 persen dari jumlah pekerja di semua sektor. Sedangkan dari upah yang diterima, pekerja industri tembakau menduduki peringkat ke-37 dengan rata-rata upah Rp 662.000 perbulan. Upah buruh tersebut sama sekali tidak menjamin mobilitas vertikal ekonomi para buruh, karena hanya cukup untuk biaya makan. Seharusnya terdapat studi lebih lanjut untuk melihat berapa belanja iklan perusahaan dibandingkan dengan biaya untuk upah buruh. Komparasi ini akan menjadi penting guna melihat bagaimana industri rokok membelanjakan pendapatannya.
Sementara petani tembakau pendapatannya lebih rendah lagi, yaitu Rp 81.397 per bulan. Dari upah yang sangat rendah tersebut dapat diketahui bahwa petani tembakau dari jaman Belanda hingga sekarang relatif stagnan status ekonominya, selalu dalam kemiskinan struktural. Selain itu, nilai kompetitif tembakau dengan produk pertanian lainnya juga dipertanyakan, karena sekarang ini hasil pertanian produk pangan seperti beras, jagung dan kedelai, sawit, kopi dan sebagainya sedang tinggi-tingginya di pasar dunia.
Bagaimana dari sisi penerimaan negara dari cukai rokok? Dengan menerapkan cukai rokok sebesar 37 persen, Indonesia masuk dalam kategori terendah nomor 2 dalam hal cukai, hanya lebih tinggi sedikit dari Kamboja yang mematok 20 persen. Sedangkan dalam Undang Undang Cukai Indonesia menetapkan batas cukai maksimal sebesar 57%. Sementara rata-rata cukai gobal adalah 65%, artinya dengan cukai maksimal di Indonesia masih berada dibawah rata-rata global. Bandingkan dengan Thailand yang sudah memasang cukai sebesar 63 persen, atau Singapura yang bercukai hampir 90 persen.
Dari studi tersebut dapat dilihat bahwa industri rokok bukanlah industri yang secara signifikan dapat menyejahterakan rakyat Indonesia. Bahkan pertumbuhan industri rokok tersebut harus dibayar mahal oleh rakyat Indonesia berupa semakin tingginya biaya kesehatan masyarakat dengan perkiraan mencapai Rp 81 trilyun per tahun (TCSC IAKMI UI).
Selain biaya kesehatan tersebut, di Indonesia terdapat data yang menunjukkan bahwa 60 persen masyarakat miskin Indonesia adalah perokok. Biaya rokok dalam ekonomi rumah tangga merupakan prioritas nomor dua setelah pengeluaran untuk padi-padian/ beras (Susenas 2004). Dari data ini saja menunjukkan rokok berkontribusi dalam memengaruhi pilihan orang miskin atas makanan bergizi, pendidikan dan kesehatan. Tidak heran jika intervensi yang bersifat langsung dalam mengatasi kemiskinan dan kelaparan selalu gagal, karena prioritas dalam rumah tangga miskin tersebut adalah untuk mengonsumsi rokok setelah beras.
Aksesi FCTC sekarang
Jadi, jika pemerintah memang berniat melindungi warga masyarakat dari dampak bahaya rokok, maka pemerintah harus segera meratifikasi/mengaksesi FCTC. Selain itu, pemerintah juga harus segera membahas RUU Pengendalian Dampak Tembakau menjadi UU, sehingga aspek legal pengendalian tembakau ini semakin kuat. Aksesi FCTC dan regulasi pengendalian dampak tembakau ini tidak akan serta merta mengurangi konsumsi rokok karena rokok bersifat adiktif (kecanduan). Tetapi paling tidak aksesi ini akan melindungi anak-anak, remaja, perempuan, ibu hamil, calon perokok pemula, dan masyarakat yang bukan perokok dari bahaya asap rokok. Bukankah hak masyarakat yang mendasar untuk dapat mengakses kesehatan yaitu bebas dari bahaya asap rokok?
***
Ilyani S.Andang , Pengurus Harian YLKI
(Dimuat di majalah Warta Konsumen)
2 Comments on "Itung-itungan Ekonomi Asap Rokok"