‘Seorang anak, kata Tagore, adalah cahaya murni tanpa kerdip. Akankah kemurnian tersebut disambut oleh dunia yang ramah? Sayangnya, ketika berbicara tentang anak, betapa banyak kejadian yang menunjukkan bahwa posisi anak-anak selalu menjadi korban dari hiruk pikuknya perselisihan, kekerasan dan ketidak pedulian orang-orang dewasa pada hak-hak anak.

Begitu juga dengan posisi anak sebagai konsumen. Bahkan sejak bayi, ketika seorang ibu memutuskan untuk membeli susu formula bagi anaknya, maka hak asasi bayi tersebut untuk meminum ASI telah dikesampingkan. Bayi tersebut telah tumbuh menjadi bagian dari dunia konsumtivisme manusia dewasa.

Dan proses semacam ini akan terus berlangsung, ketika iklan semakin gencar menyapa anak-anak. Bahkan untuk pangan, WHO sendiri mencatat bahwa strategi pemasaran perusahaan telah benar-benar mempengaruhi pola dan kebiasaan serta belanja makan anak-anak. Sayangnya, pola tersebut bukan kearah pola makan yang sehat. Tetapi sebaliknya, makanan yang diiklankan tersebut lebih dikategorikan sebagai makanan ‘junk food’ atau makanan sampah karena tinggi lemak, tinggi gula, tinggi garam, memakai bahan pengawet dan pewarna sintetis, penggurih dan rendah nutrisi. Seperti  minuman soda kaleng 330 ml, paling tidak mengandung 40-50 g gula (setara dengan 3 sendok makan). Padahal rekomendasi untuk anak-anak cukup 15 g (standar CI). Begitu juga dengan makanan berpasta, lemak dan gorengan (fried), mengandung tinggi lemak, sedangkan snack ringan mengandung garam yang tinggi (rata-rata 500 mg/kemasan 50 g) tetapi miskin nutrisi lainnya.

 

Sebagai gambaran, menurut Global Marketers (Advertising Age, 2007), belanja iklan perusahaan pangan olahan, soft drink dan industri permen di tingkat global mencapai angka US$ 13 milyar. Begitu kuatnya dampak iklan tersebut terhadap pola konsumsi manusia, sehingga seorang filsuf Amerika, Herbert Mercuse dalam bukunya One Dimensional Man menyebutkan bahwa iklan telah menciptakan manusia berwajah tunggal. Manusia tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Manusia mengenal  diri mereka melalui barang-barang dagangan yang mereka pakai. Apalagi jika iklan tersebut menyasar pada anak-anak, yang perilaku dan pola konsumsinya sangat ditentukan oleh pengaruh lingkungan, karena anak-anak bagai lembar putih yang siap diisi, apakah akan menjadi seorang smart consumer (konsumen yang kritis dan berdaya) atau menjadi seorang yang menganut konsumtivisme, yaitu manusia yang memburu dan melepas kepuasan diri dengan berbelanja.

 

Cegah Generasi ‘Junk Food’

Akibat dampak iklan ini secara global, tercatat bahwa di Perancis 84% orangtua membelikan produk makanan yang diklankan karena permintaan anak-anak. Sedangkan di Inggris, 75% orangtua berpendapat bahwa cara-cara produsen memasarkan produknya ke anak-anak sudah mempersulit anak-anak untuk makan ‘secara sehat’ (sumber Consumer International, 2008). Sementara di Indonesia, berdasarkan penelitian YLKI tahun 2002, 60% keputusan membeli orangtua ditentukan oleh anaknya.

Dan strategi tersebut bukannya tidak berdampak. Kini WHO mencatat bahwa obesitas (kegemukan) telah menjadi ancaman kesehatan masyarakat nomor satu. Diseluruh dunia, terdapat penderita overweight (kelebihan berat badan ) sebanyak 1,6 milyar atau 24,5% dari populasi dunia (WHO, Obesity and Overweight, 2005). Di Indonesia sendiri Direktorat Bina Gizi MasyarakatDepkesRImemperkirakan prevalensi overweight mencapai 76,7 juta orang (17,5% dari populasi), sedangkan obesitas mencapai 9,8 juta orang atau 4,7% populasi. Sedangkan untuk anak-anak, dari penelitian di 14 kotabesar di Indonesia menunjukkan bahwa 10-20% anak-anak menderita obesitas (sumber Dr. Damayanti K. Syarif, di artikel Farmacia Mei 2007). Obesitas ini menyebabkan penderitanya beresiko tinggi terhadap sakit jantung, stroke, diabetes, infertilitas, kanker dan impotensi.

Untuk masalah obesitas tersebut, WHO memang telah mengidentifikasikan bahwa penyakit ini memang berkaitan dengan pola makan yang tinggi kalori, rendah nutrisi, minuman pemanis (sugar-sweetened drinks) yang didukung oleh pemasaran yang sangat kuat dari perusahaan multinasional tersebut.

Menilik dampak iklan yang begitu gencar menyasar anak-anak tersebut dan kaitannya dengan dampak terhadap kesehatan, maka tema peringatan hari hak konsumen sedunia tahun ini adalah mengenai ‘generasi junk food’, stop promosi dan pemasaran makanan tidak sehat bagi anak-anak’. Bersama dengan peringatan ini, maka organisasi konsumen se-dunia bersama International Obesity Taskforce (IOTF) melakukan program advokasi dan edukasi agar terdapat rancangan kode internasional mengenai seluruh bentuk pemasaran produk pangan yang ditujukan untuk anak-anak. Beberapa poin penting kode tersebut diantaranya adalah bahwa segala bentuk promosi hendaknya tidak diperbolehkan untuk produk pangan yang miskin nilai gizi, tinggi lemak, tinggi gula, dan tinggi garam.  Kemudian setiap negara mempunyai standar minimum nilai gizi yang dibutuhkan oleh anak-anak dan batasan BTP (bahan tambahan pangan) untuk anak-anak yang berlaku wajib bagi setiap industri yang memasarkan pangan kepada anak-anak.

***

Ilyani S.Andang, Anggota Pengurus Harian YLKI

Gambar diambil dari sini