Semua orang ingin hidup sehat. Hidup sehat dimulai dari gaya hidup sehat pula. Bagaimana gaya hidup sehat yang bisa kita lakukan tanpa harus mengorbankan berbagai kesenangan?

Sehat tidak hanya diukur secara fisik saja. Misalnya, tidak menderita satu penyakit tertentu. Seringkali, penyakit belum muncul, tetapi potensi terhadap penyakit tertentu sebenarnya sudah ada dalam tubuh kita. Potensi ini, dalam banyak kasus, sebenarnya dapat ditekan dan dihindari dengan gaya hidup yang benar dan sehat.

Penyakit tidak menular (non communicable diseases) mulai popular belakangan ini. Kementerian Kesehatan juga membentuk Direktorat Jenderal Penyakit Tidak Menular sejak beberapa tahun yang lalu. Isu ini juga telah menjadi perhatian dunia. Tidak tanggung-tanggung, badan tertinggi dunia, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), menyelenggarakan Non Communicable Diseases Summit, sebuah pertemuan tingkat tinggi yang dihadiri oleh Kepala Negara anggota PBB yang membahas berbagai persoalan terkait penyakit tidak menular.

Meningkatnya penyakit tidak menular (PTM) di dunia tidak lepas akibat gaya hidup dan pola konsumsi yang tidak sehat. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, pola makan yang tidak sehat, kurangnya aktivitas fisik, serta gaya hidup seperti merokok merupakan penyebab utama PTM. Di antara penyakit tidak menular yang terkadang disebut juga penyakit degeneratif adalah diabetes, tekanan darah tinggi, jantung, dan kanker.

Sehat vs Pola Makan

Kurang aktivitas fisik dan merokok dapat dikatakan merupakan tanggung jawab masing-masing individu. Adalah pilihan individu untuk melakukannya atau tidak. Meskipun, banyak cara dan strategi yang seharusnya dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menekan perilaku tidak sehat ini dan menjadikan masyarakat hidup lebih sehat.

Baagaimana dengan pola makan? Pola makan tidak sehat yang sering disebutkan selama ini adalah mengonsumsi makanan yang mengandung lemak, garam dan atau gula tinggi. Berbagai penelitian sudah menunjukkan bahwa pola konsumsi tinggi lemak, gula dan garam, terutama pada anak, berpotensi menyebabkan berbagai penyakit tidak menular, seperti jantung, dan diabetes.

 

Untuk Indonesia, selain tinggi lemak, gula dan garam, rasanya kita juga perlu menambahkan penggunaan berbagai bahan kimia tambahan serta residu pestisida untuk menggolongkan suatu makanan atau minuman tidak sehat. Tidak hanya makanan jajanan siap saji, seperti baso, gorengan, mi, yang cenderung menggunakan bahan kimia tambahan, produk kemasan pun tidak lepas dari penggunaan bahan-bahan kimia.

Penelitian YLKI, temuan Badan Pengawas Obat dan Makanan, serta berbagai liputan investigasi media televisi menunjukkan masih banyak makanan jajanan yang menggunakan bahan kimia yang dilarang untuk makanan. Penyebabnya adalah pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, hanya menginginkan keuntungan dengan cara mudah, serta kemudahan memperoleh berbagai bahan kimia berbahaya ini. Pemerintah tampaknya masih kesulitan membasmi praktik-praktik tidak bertanggung jawab ini.

Untuk produk kemasan, bisa jadi bahan-bahan kimia tambahan yang digunakan merupakan bahan yang diperbolehkan untuk pangan. Namun, kita tidak pernah tau berapa jumlah yang ditambahkan, sehingga apabila dijumlahkan seluruh konsumsi kita dalam satu hari, apakah bahan-bahan tersebut masih belum melebihi batas yang diperbolehkan.

Selain itu, pantaskah anak-anak kita dijejali pangan kemasan yang mengandung berbagai bahan kimia tambahan? Begitu banyak iklan pangan yang menggunakan model anak, selebriti, tokoh atau karakter kartun yang disukai anak. Pangan-pangan tersebut sebagian dapat digolongkan sebagai junk food atau pangan tidak sehat, karena selain mengandung banyak bahan kimia tambahan, juga mengandung garam dan gula yang tinggi.

Bagaimana dengan buah dan sayuran? Pola makan yang sehat menganjurkan mengonsumsi serat dalam jumlah cukup, dua atau tiga porsi sehari. Kita semua menganggap buah dan sayuran merupakan sumber pangan yang sehat. Tapi tunggu dulu, kita tetap perlu waspada. Apakah produk ini benar-benar terbebas dari bahan kimia.

Buah dan sayuran berpotensi mengandung sejumlah bahan kimia seperti residu pestisida. Malangnya, benar tidaknya ada kandungan residu pestisida tidak dapat diketahui konsumen secara kasat mata. Hanya uji laboratorium lah yang dapat membuktikannya. Namun paling tidak ada hal yang dapat kita kritisi bersama, seperti fenomena produk impor!

Kalau kita amati, buah-buahan impor membanjiri pasar negeri ini. Tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga di kota-kota kecil Indonesia. Tidak hanya di retail besar dan modern, tetapi juga di pasar-pasar tradisional. Mengingat jarak yang ditempuh, seharusnya kita mulai mengkaji: kapan buah-buahan tersebut dipanen? Berapa lama waktu yang diperlukan sampai produk tersebut tiba di meja rumah kita?  Apa yang membuat produk tersebut tetap awet, bahkan terlihat tetap segar? Ditambah lagi, sebagian produk ini harganya justru lebih murah dari harga produk lokal.

Demikian juga sayuran impor yang kerap kita jumpai di supermarket besar. Harga sayuran impor ini memang cukup mahal. Tetapi, dibandingkan dengan produk lokal organik misalnya, harganya tidak terlalu jauh berbeda. Nah, apabila kita punya daya beli, kenapa memilih produk impor dibanding produk organik? Menjadi tidak relevan rasanya jika harga yang mahal dijadikan alasan untuk tidak mengonsumsi produk organik. Seharusnyalah kita lebih percaya bahwa produk organik lokal bebas bahan kimia dibandingkan produk impor yang harus melalui jarak yang panjang dan waktu yang lebih lama.

 

Bagaimana Sebaiknya?

Akhirnya, pilihan hidup sehat memang ada di tangan kita. Melakukan aktivitas fisik secara teratur, tidak merokok, serta memilih pangan yang sehat adalah kuncinya. Setiap orang dapat melakukannya. Pangan sehat bukan hanya monopoli mereka yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Karena tetap saja mereka bisa salah memilih.

Konsumen dengan kemampuan dan daya beli menengah pun dapat hidup sehat jika pintar memilih. Beberapa panduan yang dapat digunakan adalah:

–          Tidak membiasakan diri mengonsumsi makanan jajanan, terutama anak-anak. Biasakan untuk sarapan sebelum berangkat sekolah atau bekerja. Makanan yang disiapkan sendiri jelas lebih terjamin dibandingkan jajanan.

–          Pastikan untuk tetap memenuhi kebutuhan gizi harian. Ketahui apa yang kita makan di luar rumah, baik dari segi jumlah dan gizinya. Apakah kurang serat, terlalu banyak lemak atau gula? Lengkapi kekurangannya di rumah. Dan pertimbangkan apa yang sebaiknya tidak dikonsumsi esok hari.

–          Baca keterangan pada kemasan produk pangan olahan. Perhatikan komposisi pada saat memilih camilan untuk anak. Banyak produk yang disukai anak tidak memiliki nilai gizi yang berarti. Bahkan didominasi oleh berbagai bahan kimia seperti pengawet, perisa, pewarna, pemanis dan atau penyedap rasa.

–          Cuci bersih buah dan sayuran sebelum digunakan. Paling tidak, kita sudah berusaha meminimalkan residu kimia yang mungkin ada.

–          Pilihlah buah-buahan lokal sesuai musimnya. Selain menghindari kemungkinan paparan kimiawi yang berlebihan, harganya pun lebih bersahabat.

–          Mulailah memilih produk-produk organik lokal. Produk organik tidak hanya tersedia di supermarket besar. Saat ini, sudah mulai banyak tempat-tempat yang menyediakannya, meskipun kita perlu aktif mencari informasinya.

***

Huzna Zahir, Anggota Pengurus Harian YLKI

 

Gambar diambil dari sini