Semenjak Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua permohonan uji materi terhadap Undang-undang Kesehatan oleh kubu pro industri rokok, Selasa (1/11/2011) angin pengendalian tembakau (tobacco control) yang biasanya pengab dan menyesakaan tiba-tiba berubah menjadi segar. Penolakan oleh MK ini menjadi secercah harapan untuk terus melindungi masyarakat dampak buruk produk tembakau.
Uji materi yang ditolak oleh MK, Pertama, permohonan uji materi oleh Bambang Soekarno terhadap pasal 113 ayat (2) Undang-undang Kesehatan, yang berbunyi “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya“. Uji materi dengan register perkara No.19/PUU-VIII/2010 ini dimohonkan dengan alasan diskriminasi dan penyudutan terhadap tembakau sebagai satu-satunya produk yang dianggap adiktif yang dimuat dalam UU Kesehatan.
Kedua, uji materi yang diajukan oleh Nurtanto Wisnu Brata dan kawan-kawan yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) terhadap pasal 113 dengan tambahan pasal 114 dan penjelasan serta pasal 199 yang mengatur tentang peringatan kesehatan bergambar serta ketentuan pidana dari pasal 114 (register perkara No 34/PUU-VIII/2010). Pemohon beralasan bahwa adanya diskriminasi dan kriminalisasi terhadap produk tembakau khususnya rokok apabila melanggar ketentuan pasal 114 tentang peringatan kesehatan bergambar pada kemasan produk rokok.
Dengan gamblang, majelis hakim MK yang dikomandani Mahfud MD menyatakan tidak ada diskriminasi terhadap produk tembakau sebagai zat adiktif. MK juga menegaskan peringatan kesehatan pada bungkus rokok selain dengan tulisan yang jelas jga harus disertai gambar dan bentuk lainnya.
Putusan MK ini menjadi sangat penting untuk fundamen hukum pengendalian tembakau di Indonesia, sebab merupakan harga mati untuk industri rokok berkelit dengan regulasi, khususnya yang diusung oleh Undang-undang Kesehatan. Tidak ada lagi celah hukum bagi kubu pro rokok untuk mengutak atik pasal tentang kategorisasi tembakau zat adiktif. Putusan MK bersifat final, artinya tak ada upaya banding atau kasasi. Bahkan putusan MK telah menyelamatkan muka Indonesia di mata Internasional.
Mengesahkan RPP
Dengan putusan MK ini, seharusnya pemerintah melalui Kementrian Kesehatan bertindak cepat melaksanakan tahap akhir pembahasan dan segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai zat adiktif. Tak ada lagi ruang untuk memperdebatkan substansi yang diakomodasikan oleh RPP, khususnya mengenai peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning), sebesar 50 persen pada bungkus bagian depan dan atau bagian belakang.
Keberatan dari industri rokok dengan alasan penambahan biaya, tidak masuk akal. Toh, selama ini industri rokok telah mengekspor produk rokoknya ke berbagai negara di dunia dengan menggunakan peringatan kesehatan bergambar. Artinya, mereka membuat standar ganda, dengan menyantumkan peringatan bergambar terhadap produknya yang dikirim ke luar negeri tetapi tidak demikian dengan produk yang dipasarkan ke dalam negeri.
Berbasis putusan MK, industri rokok tak punya argumen lagi untuk menghentikan langkah pembahasan dan pengesahan RPP Pengamanan Produk Tembakau sebagai zat adiktif. Seharusnya RPP tersebut sudah disahkan pada 2010 yang lalu. Mandat Undang-undang disahkan diberlakukan. Kini RPP dimaksud telah tertunda satu tahun.
Waspadai Intervensi
Kendati telah diputuskan oleh MK, namun perjuangan belum berakhir. Sifat industri rokok yang licin bahkan cenderung culas dengan menghalalkan segala cara perlu diwaspadai. Masih banyak peluang bagi kubu industri rokok untuk terus melakukan intervensi, baik secara legal maupun ilegal. Badan Lesgislatif DPR (Baleg) DPR kini sedang membahas Rancangan Undang-undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau bagi Kesehatan (RUUPDPT).
Setidaknya ada dua hal- secara kasat mata- yang telah dilakukan kubu industri rokok untuk mengintervensi RUU Pengendalian Dampak Produk Pengendalian Tembakau dari daftar RUU yang akan dibahas di masa sidang 2011-2012.
Kedua, membuat RUU tandingan. Bekerjasama dengan Lembaga Peneliti Ekonomi Kerakyatan UGM, kini AMTI (Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia) telah menggagas RUU yang “serupa tapi tak sama”. RUU versi AMTI ini telah diseludupkan ke Baleg DPR. Dalam konteks ini sebagian besar Baleg DPR plus akademisi UGM diduga telah “terbeli” oleh manuver kubu industri racun ini baik dari sisi pemikiran (paradigma) maupun material.
Seharusnya Pemerintah Indonesia menlorkan produk regulasi yang komprehensif untuk melindungi masyarakat Indonesia dari dampak merusak produk tembakau. Presiden Yudhoyono boleh saja berpesan agar kampanye bahaya rokok terus digalakkan. Tapi pesan saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan tindakan apapun untuk melindungi masyarakat dari gempuran racun rokok. Jika ini terjadi, sama artinya Presiden melalukan pembiaran (ommision) terhadap pembunuhan massal dan sistematis oleh industri rokok terhadap rakyatnya.
***
Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI
0 Comments on "Angin Segar dari Mahkamah Konstitusi"