Sebelum memasuki swalayan ternama, Ibu Hindun dicegat oleh sales promotion girls yang menawarkan berbagai peralatan rumah tangga. Hebatnya barang yang ditawarkan selain terbilang modern, juga dengan mudah dapat diperoleh secara kredit. Tertarik dengan penawaran ditambah dengan penawaran mudah, Ibu Hindun memutuskan untuk mengambil kredit barang.
Kendati hanya sebuah ilustrasi, namun gambaran diatas menunjukkan bahwa kredit saat ini tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Budaya kredit nampaknya menjadi hal lazim yang bukan lagi dianggap aib. Kredit alias utang yang dulu menjadi simbol ketidakmampuan (baca : kemiskinan) kini justru telah tumbuh subur menjadi salah satu metode untuk mendapatkan barang atau jasa.
Jika dulu orang berhutang karena keterpaksaan ekonomi atau menjadi alternatif terbaik diantara terburuk manakala sumber dana lain sudah mengering, saat ini hutang justru menjadi simbol status sosial. Kartu kredit, misalnya, yang sebenarnya “kartu hutang” justru menjadi instrumen finansial mapan dan bergengsi, kaum profesional, dan simbol kesuksesan. Ironisnya, sebagian orang justru setuju dan berlomba-lomba mengejar status sosial ekonomi dengan cara berhutang.
Tidak bertepuk sebelah tangan, nafsu konsumtif ini difasilitasi oleh lembaga keuangan maupun perusahaan penydia jasa kredit yang syaratnya ringan, proses cepat, dan angsuran fleksibel. Bermodal kartu tanda penduduk, kartu keluarga, rekening listrik dan slip gaji (untuk pegawai) seseorang suah lolos administrasi untuk mendapatkan kredit yang diinginkan. Pun demikian dengan model angsuran yang bisa disesuaikan berdasar kemampuan konsumen baik dari segi jumlah maupun tenggang waktu.
Secara riil, jumlah konsumen yang mengajukan kredit konsumsi memang sulit dihitung. Namun meningkatnya jumlah penghutang dari tahun ke tahun dapat dilihat dari makin banyaknya perusahaan penyedia kredit serta ragam kredit yang ditawarkan.
Bunga Tinggi
Kemudahan kredit berbanding lurus dengan tingginya bunga. Sebagai contoh di Adira (sumber flyer Adira Kredit) untuk menilai pembiayaan sebuah alat elektronik seharga Rp 4 juta, maka konsumen dikenakan angsuran sebesar Rp 747.000 (waktu 6 bulan), Rp 413.000 (12 bulan), Rp 247.000 (24 bulan). Jika dihitung-hitung bunga yang ditanggung konsumen antara 1,8 hingga 4 peren per bulan dengan perhitungan secara rata-rata.
Sementara untuk bunga kartu kredit yang dipatok oleh Bank berkisar 2 hingga 3,5 persen per bulan dengan perhitungan bunga efekif (mengambang) yaitu bunga dihitung dari saldo terakhir, bukan berdasarkan total kredit pembelian. Jadi, pada kartu kredit, kebanyakan nilai pokok pinjaman sebagai dasar pengalihan bunga terus berkurang.
Bila dibandingkan dengan kartu krdit memang kredit konsumsi terasa lebih mahal. Namun, bila keinginan sudah membucah, banyak yang tidak peduli dengan beban bunga tinggi. Pertimbangan rasional kadang-kadang terabaikan hanya karena dorongan ego untuk segera memiliki barang sudah tak bisa ditahan.
Selain bunga tinggi, konsumen juga mengahadapi resiko lain. Misalnya penarikan barang jika menunggak angsuran dalam waktu tertentu. Praktek-praktek semacam ini yang luput dari perhatian konsumen akibat kondisi psikologis yang telah terbentuk sedemikian rupa ketika dihadapkan pada keinginan memiliki sebuah barang. Dorongan emosional konsumen acapkali diperkuat dengan kemampuan petugas pemasaran yang memikat dalam mengambil keputusan kredit konsumsi.
Secara normatif, pembelian dengan kredit memiliki nilai tawar berbeda dengan pembelian kontan. Posisi tawar pembelian kontan jelas lebih tinggi sehingga konsumen tak mudah didekte penjual. Sebaliknya pembelian secara kredit membuka peluang bagi penyedia jasa kredit untuk mengajukan syarat-syarat mengikat. Dalam hal inilah konsumen dituntut lebih kritis dan teliti terhadap informasi kartu konsumsi.
Kredit konsumsi memang sebuah dilema. Disatu sisi, nafsu konsumen untuk segera mendapatkan barang sesuai keinginannya segera terpenuhi meskipun dengan uang pas-pasan. Namun, disisi lain kredit konsumsi juga akan menjadi beban tambahan secara finansial bagi konsumen. Dibutuhkan kearifan rasionaltias berpikir konsumen.
***
Agus Sujatno, Staff YLKI
(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)
0 Comments on "Awas Jerat Kredit Konsumsi!"