Obat merupakan salah satu unsur penting dalam upaya menjaga kesehatan. Diawali dari pencegahan, diagnosa, pengobatan dan pemulihan, obat menjadi hal pokok yang wajib tersedia pada saat dibutuhkan. Bayangkan bila seorang pasien yang jatuh sakit, namun tidak tersedia jenis obat yang dibutuhkan.
Obat berbeda dengan komoditas perdagangan lainnya, karena terdapat ketidakseimbangan atau asimetri informasi di antara pihak – pihak yang terkait mengenai kualitas, keamanan penggunaan, khasiat, nilai rupiah dan ketepatan penggunaan yang spesifik. Disamping itu, selain merupakan komoditas perdagangan, obat juga memiliki fungsi sosial.
Satu hal lagi, perdagangan obat dan makanan tidak sama. Dalam hal produk konsumsi, seperti makanan, konsumen dapat memilih dan memutuskan mana yang paling sesuai dengan kebutuhan dan selera. Semakin banyak produk konsumsi makanan ditawarkan, artinya persaingan harga akan berlangsung. Namun, dalam hal obat, terutama obat etikal, konsumen sama sekali tidak tahu mana yang harus ia beli, mana yang paling cocok dengan jenis penyakit yang menyerangnya serta obat mana yang mutunya lebih baik. Yang menentukan adalah dokter, dan konsumen terpaksa harus membeli, berapapun harganya. Maka persaingan hanya terjadi dengan cara membujuk dokter untuk meresepkan produk tertentu. Betapapun banyaknya produk obat berkhasiat sejenis, tidak mempengaruhi harga secara langsung ke konsumen.
Kebijakan Obat Nasional
Kebijakan Obat di Indonesia selalu menarik perhatian kalangan Internasional, karena peraturannya sudah lengkap, tetapi penerapannya di pasaran berbeda. Selain itu, anggaran untuk pelayanan kesehatan publiknya termasuk rendah dibandingkan negara-nagara Asia lain yang kondisinya lebih buruk.
Berdasarkan kuisener Health Action International Asia Pacific (HAI AP) yang mencakup semua kebijakan obat di Indonesia, diperoleh hasil seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Legislasi dan Regulasi
1 | Kebijakan Obat Nasional telah diperbaharui dalam 10 tahun terakhir. |
2 | UU Obat belum ada, yang ada UU Farmasi dan belum diperbaiki selama 10 tahun. |
3 | PP tentang Obat telah ada |
4 | Memiliki Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) milik pemerintah yang bertugas memberikan registrasi dan pengawasan saat obat beredar. |
5 | Memilki PP tentang tata cara distribusi obat |
6 | Memiliki PP tentang apoteker diizinkan mengganti obat bermerek dengan obat generik |
7 | Memiliki sanksi hukum pidana untuk pelanggaran distribusi obat. |
8 | Produsen Farmasi harus memenuhi ketentuan ketentuan yang diatur dalam Cara Pembuatan Obat Yang benar. |
9 | Pengendalian mutu obat mengacu kepada Peraturan Internasional. |
10 | Promosi obat harus harus disetujui oleh Badan Pengawasa Obat dan Makanan. |
11 | Ekspor dan impor obat mengacu kepada tata cara perdagangan Internasional. |
Melalui Kebijakan Obat Nasional (KONAS) Pemerintah menjamin ada;
- Penerapan konsep obat esensial yaitu obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, memiliki rasio manfaat – risiko paling menguntungkan, memiliki rasio biaya konsumen melaui Komunikasi Informasi Edukasi (KIE).
- Akses terhadap obat terutama obat essensial merupakan salah satu hak azasi manusia.
Dengan demikian penyediaan obat essensial merupakan kewajiban bagi pemerintah dan lembaga pelayaan kesehatan baik pemerintah maupun swasta. Begitu pula pengetahuan tentang pembiayaan obat yang baik seperti anggaran untuk obat esensial generik di sektor publik yang mendekati target 1US$ perkapita/tahun.
Tabel 2. Seleksi Obat Esensial dan Registrasi Obat
1 | Memiliki daftar obat esensial atau formularium untuk obat generik maupun non generik yang menjadi acuan penggunaan obat di seluruh pelayanan kesehatan. |
2 | Ada Komite Obat yang bertugas menentukan obat obatan esensial |
3 | Daftar obat esensial diperbaharui dalamlimatahun terakhir |
4 | Sumbangan obat obatan di pelayanan umum harus sesuai daftar obat esensial. |
5 | Ada peraturan khusus tentang cara pendaftaran obat. |
6 | Adakomite obat yang menentukan layak tidaknya obat itu beredar diIndonesia. |
7 | Setidaknya setiaplimatahun obat harus di daftar ulang. |
Sejak tahun 1970-an WHO dihadapkan pada fenomena di negara berkembang yang situasi obat dan praktek pengobatannya sangat boros, karena menggunakan terlalu banyak obat-obat yang tidak esensial dan malahan tidak efektif. Hal ini terjadi karena banyak obat baru dipasarkan dalam jumlah besar, sehingga dokter sulit menilai mana yang benar-benar baik dan mana yang kurang/tidak efektif.
Dengan menerapkan kembali penggunaan obat esensial serta penilaian kembali semua obat dan melarang peredaran obat-obat yang tidak berguna, maka diharapkan pengobatan yang efisien menurut standar profesi bisa ditegakkan kembali. Keuntungan lain yang akan diperoleh ialah bahwa dengan sendirinya biaya pengobatan akan menurun secara menyolok (sekalipun dengan harga satuan obat yang tinggi).
Penggunaan obat yang tidak rasional menjadi masalah besar di seluruh dunia. WHO memperkirakan bahwa lebih dari setengah dari semua obat yang diresepkan, dibagikan atau dijual secara tidak tepat, dan bahwa setengah dari seluruh pasien tidak mengonsumsi obat dengan benar. Contoh penggunaan obat secara tidak rasional mencakup: penggunaan terlalu banyak obat per pasien (poli farmasi), penggunaan antimikroba yang tidak tepat dengan dosis yang tidak cukup, pengobatan sendiri yang tidak tepat karena membeli obat yang hanya dapat dibeli dengan resep dokter; serta tidak patuh pada batasan dosis.
Tabel 3 : Anggaran obat publik selama tiga tahun terahir
1 | Per tahun menghabiskan lebih dari 20% anggaran operasional Kementerian kesehatan |
2 | Per kapita lebih dari US $ 1 per tahun. |
3 | Pengeluaran untuk rumah sakit nasional kurang dari 40% dari total anggaran obat publik |
4 | Ada peningkatan anggaran per kapita |
5 | Adakontribusi sistem pendanaan penyediaan obat publik lain selain anggaran yang tersedia. |
Otonomi Daerah
Semenjak ditiupkannya tata pemerintahan yang bersistem otonomi daerah, telah membawa dampak perubahan di banyak bidang. Pelaksanaan pelayanan kesehatan merupakan salah satu urusan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah. Implikasinya dari semua itu, daerah berkewajiban menyediakan dana pembangunan kesehatan dari Dana Alokasi Umum (DAU) masing-masing daerah. Untuk itu, pemerintah daerah setempat telah diadvokasi agar mempunyai pemahaman mengenai pengelolaan obat secara terpadu.
Celakanya, dalam pelaksanaannya tidak seluruh Pemda menyediakan alokasi anggaran yang memadai bagi sektor kesehatan. Alokasi Dana Anggaran untuk obat sangat beragam tergantung visi dan misi pemerintah daerah tentang kesehatan. Hal ini berdampak terhadap penyediaan obat di pelayanan kesehatan dasar, sehingga kerap terjadi kekurangan obat kesehatan dasar baik provinsi maupun di kabupaten/kota tanpa terkecuali daerah pemekaran maupun induk.
Kondisi tersebut jelas akan berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan publik. Hal ini disebabkan oleh:
- Kurangnya dana alokasi untuk penyediaan obat. Setiap daerah memiliki jumlah DAU untuk kesehatan yang berbeda-beda bergantung kebijakan politis masing-masing daerah. Sehingga dikhawatirkan, terutama daerah yang tidak memiliki visi terhadap kesehatan, akan terjadi kurang alokasi dana untuk penyediaan obat.
- Terjadi penggunaan obat yang tidak rasional. Pemberian obat yang tidak sesuai peruntukkan.
- Tidak tersedianya dana operasional instalasi farmasi. Berakibat mandegnya pengembangan kesehatan di daerah.
- Penyimpanan obat tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan. Penyimpangan tidak berdasarkan skala prioritas yang dibutuhkan.
- Tidak ada dana distribusi obat di propinsi maupun kabupaten/kota. Distribusi obat menjadi tidak merata.
Harga Obat
Banyaknya jenis obat yang beredar saat ini membuat persaingan tidak sehat dan berdampak pada kekacauan dalam menentukan terapi yang efektif dan efisien. Secara ekonomis, harga obat di Indonesia dinilai mahal dengan struktur harga obat yang tidak transparan. Faktanya, pengobatan yang rasional di pelayanan publik masih diragukan, apakah pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dengan dosis yang tepat, untuk jangka waktu pengobatan yang sesuai, dan biaya yang terjangkau. Lebih penting lagi, sebagian besar masyarakat bahkan profesi kesehatanpun masih banyak yang tidak percaya khasiat obat Generik.
Penelitian WHO yang membandingkan harga obat nama dagang dan obat generik menunjukkan bahwa obat generik bukan yang termurah, meski secara umum obat generik lebih murah dari obat dengan nama dagang.
Tabel 4. Kebijakan Harga Obat
1 | Di sektor swasta tidak diatur |
2 | Tidak ada insentif bagi sektor swasta agar bisa menjual obat-obatan penting atau obat Essensial dengan harga murah |
3 | Total margin yang digunakan oleh pedagang besar dan pengecer kurang dari 35% dari harga Harga Eceran Tertinggi |
4 | Memiliki sistem untuk memantau harga obat |
5 | Obat-obatan penting atau obat essensial dengan nama generik juga dijual di apotek |
Pembangunan Kesehatan?
Pelayanan Kefarmasian belum optimal, karena yang terjadi saat ini adalah pihak pemerintah lebih memperhatikan pembangunan infrastruktur yang bersifat nyata, daripada pembangunan kesehatan masyarakat khususnya pengadaan obat-obatan publik. Kondisi ini mungkin akibat kurang maksimalnya stakeholder kesehatan dalam beradvokasi dengan pemerintah. Setelah masyarakat menerima pelayanan kesehatan beserta obat, seharusnya mendapat informasi tentang penggunaan obat agar dapat digunakan dengan benar, tepat dan aman.
Tabel 5. Informasi dan Pendidikan Penggunaan Obat
1 | Telah direvisi formularium dalam limatahun terahir yang memberikan informasi obyektif tentang penggunaan obat |
2 | Adastandar nasional panduan terapi pengobatan |
3 | Ada kurikulum penggunaan obat obat penting dalam pelatihan dasar tenaga kesehatan |
4 | Tidak ada ada kurikulum resmi lanjutan tentang sistem medis penggunaan obat rasional bagi dokter dan apoteker |
5 | Adaunit informasi obat di pusat dan daerah dan badan independent |
6 | Adakomite terapi dan pusat informasi obat di rumah sakit atau badan independen yang memberikan informasi berkala mengenai obat untuk penulis resep dan pasien |
Meskipun petunjuk penggunaan obat mudah di akses, masyarakat tetap miskin informasi. Ketakutan bertanya terhadap dokter atau apoteker masih sulit diberantas, begitu pula standar operasional yang harus ada di setiap pelayanan kesehatan sulit dikontrol. Tidak adanya kurikulum resmi lanjutan untuk dokter dan apoteker menyebabkan terjadinya pengobatan irasional karena profesi hanya mencontoh sistem pengobatan seniornya yang mungkin sudah tercemar promo industri farmasi. Kurang pengalaman dan kurangnya pemahaman kerja obat membuat profesi kesehatan tersebut kurang berani berhadapan langsung dengan pasien.
Kondisi demikian bisa berakibat buruk pada konsumen, diantaranya; Pertama, Informasi penggunaan obat yang tidak benar, tidak lengkap, dan menyesatkan sering merugikan pasien. Bukan saja pengobatan yang tidak tepat sasaran, namun dikhawatirkan akan menimbulkan efek negatif.
Kedua, Obat esensial yang belum semua tersedia dalam bentuk generik tidak mampu dikomsumsi pasien karena harga tidak terjangkau. Ketiga, Belum taatnya penyedia pelayanan kesehatan terhadap penerapan daftar obat esensial. Keempat, Swakelola rumah sakit membawa implikasi negatif pada beban konsumen.
Saran dan Harapan
Kebijakan obat nasional, idealnya tidak melepaskan unsur pendidikan bagi masyarakat. Peran serta masyarakat harus dipacu dan diapresiasi sehingga mereka mampu menjaga kesehatannya sendiri dan mendorong kehidupan yang produktif. Antara lain dengan mendayagunakan peranan Posyandu dan Dasa Wisma Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Lembaga Swadaya Masyarakat yang concern terhadap kesehatan dan paguyuban – paguyuban setempat.
Dunia usaha perlu didorong dan diberi insentif untuk ikut serta dalam upaya penyehatan masyarakat melalui kegiatan – kegiatan yang bersifat preventif dan promotif. Pelayanan farmasi, khusunya produk obat harus berdasarkan ilmu pengetahuan, integritas profesi dan moral.
Pasien pemakai obat harus dapat dijamin untuk memperoleh penggunaan farmakoterapi yang terbaik (aman, efektif, dengan efek samping yang minimal) dalam segala dimensinya antara lain mutu produk, harga, ketersediaannya dan keberlanjutannya.
Ada konsep untuk menghadapi tantangan globalisasi di bidang kesehatan yang antisipatif dan berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak. Sinergi lintas sektor untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat, seperti pendidikan, pengadaan sarana air bersih, ketersediaan makanan bergizi dan sehat serta perumahan dan lingkungan sehat.
Konsumen berharap bahwa obat yang diterimanya aman, efektif,dan bermutu. Memahami bagaimana cara menggunakan obat yang baik, dan dari segi ekonomi dapat dipertanggung-jawabkan. Distribusi obat yang sudah efisien sehingga obat esensial tersedia setiap waktu diseluruh pelosok. Pemberian obat yang rasional oleh tenaga profesi kesehatan dalam jenis, sediaan, dosis & jumlah yang tepat dan disertai informasi yang lengkap, benar, dan tidak menyesatkan.
***
Ida Marlinda, Bidang Penelitian YLKI
(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)
0 Comments on "Menelaah Kebijakan Obat Nasional"