VIVAnews – Kebijakan pemerintah yang berencana membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dinilai berpotensi memunculkan gejolak sosial terutama di daerah. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, mengatakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi justru akan berdampak pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Menurutnya, kebijakan pemerintah itu hanya menyulitkan masyarakat karena tidak siapnya infrastruktur sejauh ini. “Ini menyulitkan pengguna. Infrastruktur gas tidak tersedia. Social impact jauh lebih besar daripada kenaikan harga,” ujarnya dalam acara diskusi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu 7 Januari 2012.

Pembatasan penggunaan subsidi, lanjutnya, akan menimbulkan distorsi sosial yang lebih besar karena sampai saat ini harga BBM subsidi di daerah juga jauh lebih mahal dari harga aslinya. “Terdapat kesulitan akses BBM subsidi. Ada disparitas harga. Di Kalimantan, banyak BBM diselundupkan. Harganya juga tinggi. Kalau nanti diputuskan pembatasan, distorsi sosial akan lebih besar ketimbang pemerintah menaikkan harga secara elegan,” katanya.

Sosialisasi program pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akan segera dimulai pekan depan. Namun, menurut Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Widjajono Partowidagdo, opsi tersebut bukan yang terbaik. Pilihan terbaik adalah menaikkan harga.

Kebijakan itu diterapkan untuk menghemat pemakaian BBM dan mengurangi beban anggaran. Masyarakat pun bisa beralih ke energi alternatif lain, misalnya gas. “Sebisa mungkin jangan pakai BBM,” ujarnya di diskusi yang sama di Warung Daun.

Sumber : Vivanews.com