Jika berbicara tentang angkutan umum di Jakarta, sudah sepantasnya jika mengelus dada. Bukan saja pelayanannya yang yak memuliakan pengguna, perilakunya juga tak beradab bahkan cenderung biadab. Pemerkosaan dan pembunuhan yang terjadi secara berurutan di kwartal terakhir tahun 2011 adalah cermin konkrit yang tak bisa dibantah.

Tindakan primitif tersebut tentu saja mengagetkan masyarakat Jakarta, bahkan seluruh penjuru negeri. Potret karat marut angkutan umum Jakarta pun semakin kelam di mata publik. Namun demikian, buruknya kualitas pelayanan angkutan umum bukan saja menjadi tipikal kota Jakarta. Hampir seluruh kualitas layanan angkutan umum di kota besar Indonesia menampakkan wajah serupa, amburadul dan tak manusiawi.

Kenyamanan, keamanan dan keselamatan sebagai hak dasar konsumen pengguna angkutan umum hanya teronggok di tong sampah. Padahal secara normatif hak pengguna angkutan umum di Indonesia mendapatkan jaminan yang amat kokoh. Mulai dari Undang-undang No.8 TAHUN 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No.22 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Tak ketinggalan regulasi teknis pendukung lainnya. Lantas, masih adakah yang kurang untuk melindungi hak konsumen pengguna angkutan umum?

Kendati demikian, menimpakan kesalahan hanya pada Dinas Perhubungan dan Pengusaha Angkutan Umum bukanlah tindakan bijaksana. Buruknya kualitas pelayanan angkutan umum di Jakarta khususnya tidak bisa dilihat secara sektoral saja. Pemerintah Pusat, bahkan pula ketidakmampuan pemimpin lokal/daerah wajib memikul tanggung jawab itu.

 

Pemerintah Malas

Besarnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang digerojogkan, jelas berakibat masyarakat tidak berminat menggunakan angkutan umum. Kenapa harus berdesak-desakan dalam angkutan umum yang panas, jika menggunakan kendaraan pribadi lebih nyaman, murah dan efisien, baik dari sisi biaya operasional maupun waktu tempuhnya. Alhasil, masyarakat lebih familiar dengan kendaraan pribadi dibandingkan angkutan umum.

Bayangkan saja jika saat ini subsidi Pemerintah yang mengalir untuk BBM tidak kurang dari angka Rp 123 triliun!. Sementara subsidi untuk transportasi publik seperti kereta api melalui dana public service obligattion (PSO) hanya dikisaran angka Rp 632 miliar,tak lebih. Bandingkan berapa kali lipatnya!

Subsidi BBM mengakibatkan Pemerintah Pusat maupun Daerah menjadi malas mengembangkan sarana transportasi publik (massal). Pemerintah tidak mau bersusah payah mengelola sarana transportasi publik yang biasanya dibayang-bayangi oleh biaya operasional yang tinggi, bahkan merugi. Jika begini, siapa yang diuntungkan? Industri otomotiflah yang bersorak gembira dan berpesta pora dengan fenomena ini. Pertanda permintaan kendaraan bermotor akan terus meningkat setiap tahun.

 

Pungutan Liar

Nyaris tidak ada sektor yang tak terkontaminasi dengan pungutan liar (pungli) di negeri ini. Organda mengestimasi dalam setahunnya tak kurang dari 200 triliun hilang percuma sebagai tumbal pungutan liar. Ini menjadi benalu yang setiap saat terus membebani dan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi bagi sektor transportasi darat.

Eskalasi pungli begitu luas, tak hanya preman di lapangan saja, “Preman Birokrasi” pun tak kalah kejamnya. Ironisnya, pungli justru dilegalisasi dengan bungkus peraturan daerah. Efeknya pun sangat jelas, secara beramai-ramai pengusaha menurunkan tingkat kualitas pelayanan dan kehandalan bahkan keamanan. Pantas banyak angkutan umum yang mengalami kecelakaan dengan korban massal. Efek pungli juga sangat mungkin merember menjadi kenaikan beban konsumen berupa kenaikan tarif.

 

Kalah Bersaing

Semakin terpuruknya angkutan umum memang tidak bisa dilepaskan dari makin membengkaknya pengguna kendaraan pribadi, tak terkecuali sepeda motor. Tak bisa dipungkiri, selain menjadi “mesin pembunuh” bagi penggunanya, sepeda motor ternyata efektif menjadi instrumen “pembunuh” keberadaan angkutan umum.

Do kota-kota besar dunia, yang notabene tempat berdirinya industri otomotif, pertumbuhan sepeda motor di jalan justru dibatasi, bahkan lebih ekstrim lagi, dilarang masuk ke pusat kota. Sementara pemasaran sepeda motor di Indonesia justru dibuka seluas-luasnya. Dengan bermodal ratusan ribu rupiah, seseorang bisa mendapatkan sepeda motor.

 

Kesimpulan

Mengobati sarana angkutan umum yang mulai sekarat dengan merazia sopir tembak, mencopoti kaca film yang tidak sesuai dengan aturan, atau bahkan pembenahan ijin trayek yang gencar dilakukan oleh Dinas Perhubungan dan Kepolisian, bukanlah obat mujarab. Ini hanya mengalihkan permasalahan yang sebetulnya terletak di dalam sistem tata kelola transportasi menjadi permasalahan teknis semata. Selain tidak nyambung, juga tidak akan efektif.

Jika Pemerintah konsisten dengan kebijakan yang berkelanjutan di bidang energi dan transportasi, maka sarana mobilitas bagi warga perkotaan adalah dengan sarana transportasi publik bukan dengan kendaraan pribadi. Membenahi wajah angkutan umum dari sisi hilir memang harus dilakukan. Tetapi jika persoalan dari sisi hulu yang menyangkut subsidi BBM, pungli dan pertumbuhan sepeda motor tidak pernah dibongkae ulang. Sebaliknya, kebijakan yang terjadi di lapangan justru saling berkongsi untuk menenggelamkan angkutan umum. Akibatnya angkutan umum terus terlupakan, tidak popular dan akhirnya mati ditinggal penggunanya. Hak-hak konsumen sebagai pengguna angkutan umum pun makin termarginalisasi. Alih-alih mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan, kehormatan dan nyawa pun justru dipertaruhkan.

***

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)

Gambar diambil sini