Cukai, atau dikenal dengan istilah sin tax merupakan pajak yang dikenakan pada barang-barang yang dianggap “berdosa”. Maka cukai kerap juga disebut dengan pajak dosa, terhadap barang yang menimbulkan dampak negatif bagi pengguna atau bahkan lingkungan sekitarnya.

Barang yang dikenakan pajak dosa, secara hukum harus dibatasi (dikendalikan) penggunaanya serta distribusinya. Menurut Undang-undang No 39 Tahun 2007 tentang cukai, terdapat 3 (tiga) jenis barang yang dikenakan cukai. Barang tersebut adalah alkohol, etil alkohol, dan tembakau.

Untuk dua jenis yang pertama, boleh jadi pemerintah telah menjalankan dengan lumayan baik. Namun, pada konteks sosiologis, normatif dan atau bahkan paradigmatis, Pemerintah berdosa dengan melakukan penyimpangan serius, untuk cukai  komoditas tembakau (baca; rokok). Apa dasarnya sehingga Pemerintah dianggap berdosa? Berikut penjelasannya;

Dosa pertama, karena Pemerintah melanggar Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai (Pasal 2). Disebutkan dengan tegas bahwa barang yang dikenai cukai adalah barang yang bisa menimbulkan dampak eskternalitas, maka konsumsinya harus dikendalikan. Tetapi, dalam kasus rokok yang jelas-jelas dikenai cukai, Pemerintah praktis tidak mengendalikan (membatasi) konsumsi rokok, baik dari sisi penjualan, pemasaran, plus iklan dan promosi. Terbukti, hingga detik ini rokok masih diposisikan sebagai barang bebas: bisa dibeli dimana saja, kapan saja, bahkan dengan cara ketengan.

Padahal, sebagai barang yang dikenai cukai, seharusnya dibatasi dengan ketat, dari semua aspek. Contoh konkrit, minuman keras (miras). Secara normatif, hanya tempat berijin yang dapat menjual miras. Iklan dan promosi miras pun dilarang. Sementara rokok, selain bisa kita dapatkan dengan mudah, sebagaimana sembako, iklan dan promosinya pun mewabah dimana-mana. Dengan melakukan pembiaran (legalisasi) terhadap tembakau; secara gamblang, Pemerintah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang tentang Cukai.

Dosa kedua, pada konteks paradigmatis, Pemerintah tidak mengalokasikan sebagian dana cukai, untuk aspek pengendalian barang yang dikenai cukai; terutama pengendalian konsumsi rokok. Dana cukai dimasukkan ke kas APBN secara total dan digunakan untuk keperluan pembangunan. Seharusnya, sesuai dengan folosofi pajak dosa, sebagian dana cukai dialokasikan untuk pengendalian konsumsi.

Praktek internasional, 2 (dua) persen dana cukai untuk kesehatan secara langsung. Jadi, jika pada 2011 pemerintah meraup cukai Rp 52 trilyun, maka idealnya dua persennya untuk sektor kesehatan. Di Inggris, Australia, bahkan Thailand; dua persen dana cukai langsung dialokasikan untuk kampanye bahaya rokok dan pengobatan penyakit yang ditimbulkan oleh rokok. Di Thailand, untuk mengelola dana tersebut dibentuk sebuah lembaga independen yang bernama Thai Health Foundation.

Dosa ketiga, lebih ironis lagi, pengalokasian dana DBHCT (Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau), justru untuk pemberdayaan industri rokok, khususnya industri rokok kecil. Benar, sebagian dana juga terciprat untuk sektor kesehatan, tapi tidak secara langsung. Dana untuk kesehatan, yang jumlahnya sangat kecil tercangkok dalam sub “kesejahteraan masyarakat”. Bahkan, penulis mendapatkan informasi, khususnya dari Dinas Kesehatan Kota Bogor dan Kota Bekasi, dana DBHCT tidak boleh dialokasikan untuk sektor kesehatan. Loh, ini kebijakan macam apa? Bagaimana mungkin sebagian dana cukai yang mustinya langsung dialokasikan untuk sektor kesehatan, ini malah dilarang!

Dengan konfirgurasi persoalan yang demikian, cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi tembakau, praktis mengalami kelumpuhan. Bukti untuk menunjukkan hal itu gampang. Pertama, konsumsi rokok terus mengalami peningkatan signifikan. Bahkan, kini posisi Indonesia menempati urutan ketiga besar (setelah China dan India) untuk konsumsi rokok, yakni 70 jutaan perokok aktif.

Jika dielaborasi lebih lanjut, dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok aktif. Jumlah produksinya pun juga tak kepalang tanggung, per tahun mencapai 265 milyar batang. Secara keseluruhan, menurut analisa Lembaga Demografi Universitas Indonesia, jumlah perokok di Indonesia terus meningkat. Pada 1995 jumlah perokok di Indonesia sebesar 34,7 juta perokok, sedang pada 2007 mencapai 65,2 juta perokok. Remaja yang menderita penyakit akibat rokok (15-19 tahun) naik dari 7 persen pada 1995 menjadi 19 persen pada 2010. Seharusnya, dengan instrumen cukai, jumlah perokok dan jumlah produksi rokok  mengalami penurunan (minimal konstan).

Kedua, terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok di kalangan remaja dan anak-anak, bahkan tercepat di dunia. Yang lebih ironis lagi, fenomena baby smoker (bayi perokok) pun tak terhindarkan. Menurut pernyataan Gubernur Kalimantan Timur, saat ini di Samarinda terdapat 15.000 anak dibawah usia 9 (sembilan) tahun yang menjadi perokok aktif.

Ketiga, jumlah perokok di kalangan masyarakat miskin juga meningkat tajam. Malah, menurut Kepala BPS, mayoritas perokok di Indonesia adalah masyarakat miskin. Pantas, jika rumah tangga miskin di Indonesia justru lebih banyak mengalokasikan duitnya untuk konsumsi rokok, yakni nomor dua (12,4%), setelah konsumsi beras dan padi-padian. Seharusnya, kalau instrumen cukai efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok, maka anak-anak, remaja dan masyarakat miskin tak akan mampu mengakses rokok.

Dengan demikian, pemerintah harus mengakhiri kebijakan yang diskriminatif terhadap tembakau (rokok). Sama-sama barang yang dikenai cukai, mengapa produksi dan distribusi rokok dibiarkan melenggang menjadi barang bebas? Sekali lagi, kendalikan konsumsi rokok, larang iklan dan promosinya; sebagaimana filosofi universal cukai dan atau amanat UU tentang Cukai. Tanpa itu, pemerintah menjadi institusi kelas wahid dalam melakukan pelanggaran produk perundang-undangan, dan melakukan pembiaran praktek genosida oleh industri rokok . ***

***

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di majalah Warta Konsumen)

Gambar diambil dari sini