Belum juga tuntas mewacanakan pembatasan harga bahan bakar minyak bersubsidi, kini pemerintah menabuh genderang untuk menaikkan tarif dasar listrik per 1 April 2012. Konteks persoalannya pun sama, yakni subsidi yang dipagu untuk sektor ketenagalistrikan pada nota Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 hanya Rp 45,09 triliun. Sementara itu, keseluruhan subsidi yang diperlukan untuk memasok biaya operasional PT PLN mencapai Rp 65 triliun. Jadi terdapat selisih (kekurangan) subsidi sekitar Rp 8,9 triliun. Angka Rp 8,9 triliun itulah yang akan disokong dengan kenaikan tarif dasar listrik 10 persen. Ada dua skenario yang ditawarkan untuk menaikkan tarif dasar listrik, yaitu konsumen dengan daya terpasang 450 VA tidak dinaikkan (hanya konsumen 900 VA ke atas yang dinaikkan), atau kategori 450 VA tetap dinaikkan jika melewati pagu pemakaian 60 kWh per bulan.
Pada konteks empiris, bahkan normatif, wacana kenaikan tarif dasar listrik memang mempunyai basis rasionalitas yang cukup absah. Sejak 2003, tarif dasar listrik belum pernah mengalami kenaikan berarti. Hanya pada 2010 kenaikan sempat diberlakukan sebesar 24 persen, itu pun hanya untuk golongan konsumen 1.300 VA ke atas. Akibatnya, makin tinggi kesenjangan antara biaya pokok penyediaan energi listrik dan tarif yang dibayar konsumen. Menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, biaya pokok penyediaan energi listrik kini mencapai Rp 1.210 per kWh. Tapi faktanya konsumen listrik hanya membayar kurang dari separuhnya. Untuk menambal tingginya kesenjangan yang dimaksud, pemerintah mesti menggelontorkan subsidi yang per tahun terus melambung.
Memang, melambungnya angka subsidi bukan hanya karena makin tingginya kesenjangan biaya pokok penyediaan energi listrik, tapi dipicu oleh faktor lainnya. Misalnya, pasokan gas di pembangkitan yang menurun, mundurnya pengoperasian pembangkit batu bara, plus tingginya penggunaan mesin pembangkit diesel. Saat ini sebaran penggunaan energi primer di pembangkit PT PLN meliputi batu bara 43 persen, bahan bakar minyak 23 persen, dan gas 22 persen. Faktor teknis empiris itulah yang menjadikan wacana kenaikan tarif dasar listrik cukup absah (pantas).
Kendati demikian, kepantasan itu tidak berarti dibiarkan melenggang tanpa catatan kritis. Mengapa? Pertama, terdapat ironi antara struktur tarif yang diberlakukan untuk sektor rumah tangga dan sektor industri-bisnis. Saat ini persentase struktur tarif untuk industri-bisnis jauh lebih tinggi dibanding tarif untuk sektor rumah tangga. Kebijakan semacam ini, selain melanggar pakem kebijakan energi makro, bahkan kontraproduktif. Listrik untuk kegiatan produktif (industri-bisnis) idealnya struktur tarifnya lebih rendah, murah. Adapun listrik untuk kegiatan konsumtif (konsumen rumah tangga) struktur tarifnya lebih mahal. Bahkan, jika perlu diberi “disinsentif” untuk mendorong perilaku hemat energi listrik. Lagi pula kebijakan tarif mahal untuk sektor industri-bisnis pada akhirnya akan ditimpakan kepada konsumen, berupa kenaikan harga produk barang, khususnya kebutuhan bahan pangan. Akibatnya, beban pengeluaran konsumen rumah tangga meningkat. Dan niat pemerintah membantu masyarakat (bawah) malah tidak tercapai.
Kedua, skenario pemerintah tidak menaikkan golongan konsumen 450 VA juga tidak tepat. Sebab, faktanya, yang menjadi pokok persoalan melambungnya subsidi listrik adalah golongan 450-900 VA, yang besarannya mencapai lebih dari 80 persen dari total pelanggan PT PLN. Adapun golongan 1.300 VA ke atas praktis sudah mendekati tarif keekonomiannya. Menjadi sangat tidak adil kalau golongan ini terus dibebani tarif tinggi, sedangkan golongan 450-900 VA tidak pernah disentuh. Karena itu, akan lebih pantas jika pemerintah memberi pagu maksimum 60 kWh untuk golongan 450-900 VA. Jika melewati pagu tersebut, golongan 450-900 VA akan terkena kenaikan.
Secara ekonomi, skenario semacam ini lebih adil, bukan hanya untuk golongan konsumen 1.300 VA ke atas, tapi juga untuk golongan masyarakat yang belum menikmati listrik. Ingat, saat ini rasio elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 66 persen dari total populasi. Plus skenario ini juga berfungsi mengedukasi agar perilaku konsumen lebih hemat listrik. Dari sisi aksesibilitas, pagu 60 kWh masih lebih tinggi dibanding rata-rata nasional pemakaian per bulan. Menurut hasil studi konsorsium tiga universitas (Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Teknologi Bandung), rata-rata nasional pemakaian listrik golongan 450 VA hanya 42,5 kWh per bulan.
Selebihnya, terlepas dari konteks ketenagalistrikan, pemberlakuan kenaikan tarif dasar listrik tidak secara serentak dengan kebijakan pengurangan subsidi bahan bakar minyak. Seyogianya pemerintah mendahulukan kenaikan harga bahan bakar minyak. Atau setidaknya kenaikan tarif dasar listrik diberlakukan tiga-enam bulan setelah kenaikan harga bahan bakar minyak. Hal ini dimaksudkan agar tidak memukul daya beli konsumen dan melemahkan purchasing power masyarakat secara keseluruhan.
Merujuk pada kebijakan energi nasional, bahkan global, subsidi di sektor energi memang tidak boleh terlalu dominan, termasuk subsidi di sektor ketenagalistrikan. Apalagi dengan rasio elektrifikasi yang masih tergolong rendah, menjadi tidak adil jika subsidi di sektor ketenagalistrikan hanya dinikmati oleh konsumen yang sudah mendapatkan akses tenaga listrik. Sementara itu, lebih dari 35 persen masyarakat Indonesia masih terperangkap dalam kegelapan karena belum mendapatkan akses tenaga listrik. Karena itu, sebagian besar dana yang diperoleh dari kenaikan tarif dasar listrik tersebut seharusnya langsung didedikasikan untuk mempercepat rasio elektrifikasi. Tanpa terobosan semacam itu, rasio elektrifikasi akan melamban, dan masyarakat yang belum mendapatkan akses listrik akan terus terpasung dalam kegelapan.
***
Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(Dimuat di Koran Tempo, 14 Februari 2012)
0 Comments on "Menakar Kepantasan Kenaikan Tarif Dasar Listrik"