Di penghujung tahun 2011, tiba-tiba masyarakatIndonesiadikagetkan dengan tragedi ambruknya jembatan Mahakam II (26/11), di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Peristiwa ini memilukan sekaligus memalukan. Betapa tidak, jika konstruksi jembatan yang dirancang dengan usia pemakaian minimal 40 – 100 tahun, harus ambruk hanya dalam hitungan 10 tahun.

Jembatan mahakam II atau lebih dikenal dengan sebutan jembatan Kukar, yang selama ini menjadi penanda sekaligus kebanggaan masyarakat Kutai Kartanegara dengan lampu warna-warni di malam hari, berubah menjadi petaka. Ambruknya jembatan Kukar telah menimbulkan kerugian berupa nyawa (sekurangnya-kurangnya 20 orang meninggal, 17 orang hilang) dan harta benda, serta terganggunya roda perekonomian masyarakat Kukar.

Secara normatif, ambruknya jembatan Kukar bukan semata-mata sebagai peristiwa “kegagalan” konstruksi. Tetapi juga merupakan peristiwa hukum. Untuk itu dalam merespon pasca ambruknya jembatan Kukar semua pihak juga harus mengedepankan budaya hukum.

Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan pasca ambruknya jembatan Kukar. Pertama, pendekatan pembelajaran (lesson learn) dalam bentuk melakukan investigasi secara mendalam, untuk kemudian hasilnya menjadi pembelajaran semua pihak agar peristiwa serupa tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Dalam melakukan investigasi, agar menghasilkan kesimpulan seakurat mungkin,  tim investigasi  perlu membuka selebar-lebarnya kepada semua pihak yang mengetahui segala aspek yang berhubungan dengan perencanaan, pembangunan, pengoperasian dan peristiwa ambruknya jembatan Kukar untuk memberikan informasi. Untuk mendapatkan informasi seluas mungkin, jika perlu ada jaminan pemberi informasi bebas dari segala tuntutan hukum.

Kedua, pendekatan penghukuman (judgement). Sebagai sebuah peristiwa hukum yang telah menimbulkan kerugian berupa nyawa dan harta benda, sudah selayaknya ada mekanisme pertanggungjawaban hukum. Adalah sebuah ironi, ketika sebuah peristiwa hukum yang menimbulkan banyak kerugian, tidak ada pihak yang bertanggung jawab dan juga tidak ada yang bersalah.

Dalam kajian pertanggungjawaban hukum, ada tiga ’wilayah’ yang bisa dikedepankan. Pertama, pertanggungjawaban pidana, baik berupa pidana umum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) berhubungan dengan hilangya nyawa dan harta benda, maupun pidana sektoral sebagaimana diatur dalam UU Jasa Konstruksi dan UU Pelayanan Publik.

Dalam pertanggungjawaban hukum pidana, polisi harus mengedepankan mekanisme pertanggungjawaban pidana korporasi. Polisi harus berani menjerat pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab atas ambruknya jembatan Kukar, seperti konsultan perencana (PT Indonesia Utama Engineering Consultant), pelaksana konstruksi (PT Hutama Karya ) dan konsultan pengawas.

Kedua, pertanggungjawaban hukum perdata menyangkut ganti rugi kepada korban/ahli waris korban pasca ambruknya jembatan Kukar. Korban atau ahli waris berhak untuk mendapatkan ganti rugi sebesar nilai kerugian riil yang diderita korban. Bukan sekedar santunan yang nilainya kadang tidak sebanding dengan kerugian korban. Harus ada jaminan kehidupan keluarga korban tidak terlantar. Untuk itu korban yang mempunyai tanggungan keluarga, berhak mendapat ganti rugi berupa jaminan hidup dan untuk anak berupa biaya pendidikan sampai mandiri.

Ketiga, pertangggungjawaban disiplin profesi insyinyur. Sebagaimana layaknya jasa profesional lainnya seperti advokat, kedokteran dan akuntan, didalamnya melekat pertanggungjawaban profesional. Untuk itu harus ada mekanisme pertanggungjawaban disiplin profesi terhadap semua insyinyur yang terlibat baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan konstruksi, pengawasan dan pengoperasional jembatan Kukar.

Data semua insyinyur yang terlibat harus dibuka, menyangkut asal universitas, sertifikat profesional yang dimiliki, termasuk rekam jejak proyek-proyek yang pernah ditangani. Apabila terbukti melakukan malpraktik profesi insinyur, peradilan disiplin profesi menjatuhkan sanksi berupa tindakan disiplin profesi, dari skors sampai pencabutan kompetensi profesional.

Untuk tindakan disiplin profesi insyinur, di Indonesia terkendala karena belum adanya UU profesi insyinur (engineer Act), sehingga tindakan disiplin profesi tidak bisa dijatuhkan. Ambruknya jembatan Kukar harus dijadikan momentum bagi pemerintah, DPR dan komunitas insinyur tentang arti pentingnya kehadiran UU profesi insinyur di Indonesia.

***

Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di majalah Warta Konsumen)

Gambar diambil dari sini