Secara sosiologis, bahkan kultural, masyarakat Indonesia adalah friendly smoking.
Tak kurang dari 68 juta rakyat Indonesia adalah perokok aktif (sekitar 30 persen ” dari total populasi). Bahkan dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok.

“Siap tindak lanjut, perlu “Se waktu pelan-pelan, tapi yakinlah saya tegas dalam memberi sanksi.“Begitu pesan pendek (SMS) yang penulis terima dari Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) terkait dengan implementasi larangan merokok di kereta api. SMS Direktur Utama PT KAI itu merupakan respons atas SMS penulis tentang pengaduan konsumen di kereta api Kahuripan tujuan Kediri, yang di dalamnya masih ditemukan adanya orang merokok di kereta api, dan didiamkan oleh petugas kereta api (kondektur). Merokok di kereta api umumnya hal yang jamak dilakukan, bukan hanya oleh penumpang kereta api, tapi juga awak kereta api, seperti kondektur, atau bahkan masinis saat menjalankan kereta. Penumpang kereta api eksekutif antarkota pun akan menyempatkan diri merokok di sepanjang perjalanan, sekalipun harus menyelinap di antara bordes (sambungan gerbong).
Namun, berdasarkan Instruksi Direksi PT KAI Nomor 4/LL.006/KA-2012, yang diberlakukan per 1 Maret 2012, siapa pun dilarang merokok di kereta api, termasuk para awak kereta api.

Sudah bisa diduga, beleid baru manajemen PT KAI melahirkan reaksi publik. Bagi yang kontra, kebijakan ini dinilai melanggar hak (asasi) perokok. Karena itu, biar adil, mereka meminta manajemen PT KAI menyediakan gerbong khusus untuk merokok. Sebuah permintaan yang tak mungkin dipenuhi.
Bagi yang pro, upa ya inovatif manajemen PT KAI disambut dengan gegapgempita bak “mimpi indah“untuk mendapatkan pelayanan kereta api yang nyaman, aman, selamat, dan manusiawi bagi penggunanya. Salah satunya terbebas dari racun asap rokok.

Dalam konteks normatif, upaya manajemen PT KAI tersebut mempunyai sandaran yang amat kuat. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan jelas menegaskan angkutan umum adalah area kawasan tanpa rokok. Demikian halnya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, yang mengukuhkan hal yang sama.
“Haram“hukumnya menyediakan smoking room di dalam angkutan umum.
Relevan dengan hal itu, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengamanatkan konsumen sebagai pengguna barang dan/atau jasa (kereta api) mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan.

Pelaku usaha (PT KAI) pun wajib menyediakan jasa yang memenuhi stan dar. Bahkan PT KAI sebagai sarana angkutan publik juga tunduk pada UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan, organisasi pelayanan publik (PT KAI) wajib membuat standar pelayanan, dan standar pelayanan itu wajib dimaklumatkan. Lebih konkret lagi, sebagai tindak lanjut UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan juga mewajibkan adanya standar pelayanan minimal (SPM) bagi sektor perkeretaapian, baik SPM di area stasiun maupun di kereta api.

Larangan merokok di kereta api sejatinya juga mengantongi dukungan sosiologis yang amat kuat. Berbagai survei yang dilakukan oleh banyak institusi mengindikasikan hal itu. Misalnya, survei oleh YLKI (2008) terhadap 1.000 responden di Jakarta (400 di antaranya perokok), 88 persen mendukung ditegakkannya larangan merokok di tempat umum. Bahkan, relevan dengan hal itu, menurut survei YLKI di sepuluh kota di Indonesia (di delapan provinsi), lebih dari 75 persen mendorong pemerintah agar serius melindungi perokok pasif yang selama ini sering menjadi korban perokok aktif saat berada di tempat tempat umum. Maka, pada konteks normatif dan/atau sosiologis, upaya manajemen PT KAI itu mempunyai legitimasi yang amat kokoh. Nyaris tak ada ruang untuk menolaknya! Kendati mempunyai legitimasi kokoh, bukan perkara mudah menegakkan ketentuan ini. Bahkan bak menegakkan benang basah! Mengapa? Secara sosiologis, bahkan kultural, masyarakat Indonesia adalah friendly smoking.
Tak kurang dari 68 juta rakyat Indonesia adalah perokok aktif (sekitar 30 persen dari total populasi). Bahkan dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok. Dengan konfigurasi statistik semacam itu, sangat boleh jadi lebih dari 30 persen penumpang kereta api adalah perokok. Apalagi lamanya waktu tempuh kereta api menjadi tantangan tersendiri bagi perokok untuk tidak merokok di sepanjang perjalanan.
Namun, khususnya bagi penumpang muslim, hal itu bukanlah kendala berarti, karena toh pada saat Ramadan, bisa berpuasa merokok hingga lebih dari IMAM YUNNI (TEMPO) 14 jam! O) 14 jam! Konklusi Diperlukan kon sistensi yang tinggi dan sanksi tegas bagi pelanggarnya, sebagaimana dika takan Direktur Utama PT KAI.

Tanpa itu, aturan manajemen PT KAI hanya akan menja di macan kertas dan bahkan menja di bahan tertawaan belaka. Selain itu, diperlukan contoh konkret dari awak kereta api. Jangan lah awak kereta api memberi contoh buruk dengan me langgar ketentuan ini (merokok di ke reta api). Fenomena kolusi antara oknum petugas dan konsumen yang melanggar juga harus dihindari. Namun yang tak boleh dilupakan adalah bagaimana manajemen PT KAI melibatkan masyarakat dan penumpang kereta untuk turut mengontrol pelaksanaan di lapangan.

Tanpa partisipasi masyarakat, ketentuan ini tak akan efektif. Petugas kereta api sangat terbatas, dan bukan hal yang berlebihan jika masih diragukan komitmennya. Idealnya, manajemen PT KAI menyediakan akses seluas mungkin bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam pengawasan. Jika perlu, masyarakat yang terlibat aktif diberi reward, misalnya tiket gratis naik kereta api.
Akses itu bukan hanya berupa telepon hotline service atau kotak surat, tapi juga akses via jejaring sosial, semacam Facebook dan Twitter. Sudah saatnya negara ini memfasilitasi terwujudnya “mimpi indah“pelayanan kereta api yang nyaman, aman, selamat, dan manusiawi bagi konsumennya, bukan malah sebaliknya.

***

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Koran Tempo 12 Maret 2012)