Hasrat pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tampaknya tak terbendung lagi. Kendati, riak-riak penolakan mulai menguat, baik dari kalangan mahasiswa, maupun beberapa fraksi di parlemen (DPR). Sementara itu, para ekonom independen, pemerhati di bidang transportasi dan energi, umumnya bisa memahami upaya pemerintah untuk menekan tingginya subsidi BBM pada APBN 2012. Bahkan, sebagian pengamat mendorong agar pemerintah menekan secara signifikan alokasi subsidi di sektor energi (BBM dan sektor ketenagalistrikan), yang jumlahnya tak kurang dari Rp 270 triliun.
Pada akhirnya, masyarakat konsu men juga yang terkena dampak konkret dari kenaikan itu. Kenaikan harga kebutuhan pokok, sebagaimana yang di nya takan Apindo, minimal mencapai 10 persen. Bahkan, untuk tarif angkutan umum, Organda meminta kenaikan tarif antara 35-50 persen. Benar, atas kenaik an harga BBM itu, kita semua akan me ra sakan beban ekonomi yang lebih berat dari biasanya. Bukan hanya harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan umum, melainkan berbagai komoditas lain juga akan mengalami kenaikan, termasuk harga obat generik, bahkan harga bahan-bahan bangunan.
Namun, dalam berkonsumsi, baik barang maupun jasa, idealnya konsumen tidak hanya memikirkan dirinya, ansich.  Idealnya, konsumen juga mulai memikirkan dengan perspektif yang lebih me luas. Tidak saja memikirkan dari sisi harga atau bahkan kualitas belaka, tetapi juga melihat pada konteks sosial, ekonomi, budaya, dan bahkan lingkung an global. Karena itu, kebijakan peme rintah menaikkan harga BBM, idealnya diletakkan dalam kerangka ini. Cara berkonsumsi yang demikian, lazim disebut konsumsi berkelanjutan (sustainable consumption). Lalu, mengapa kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM mesti kita dekati dengan kerangka berpikir konsumsi berkelanjutan?
Pertama, mitos kalau perut bumi Indonesia dikatakan kaya-raya dengan cadangan minyak bumi. Faktanya, ca dangan minyak bumi di perut bumi Indonesia hanya 1,3 persen dari cadangan minyak bumi dunia. Dengan fakta semacam ini, bahkan, sangat boleh jadi Indonesia sejatinya termasuk “negara miskin” cadangan minyak bumi. Kini cadangan terbukti (proven) minyak bumi di Indonesia hanya 4 miliar barel dan akan habis hingga 12 tahun ke depan.
Bandingkan dengan cadangan minyak Arab Saudi yang mencapai 265 miliar barel! Kalau cadangan yang amat minim ini terus dikuras tanpa kendali, lalu ge nerasi mendatang mendapatkan apa? Hanya gigit jari, karena pasokan minyak bumi di Indonesia telah habis. Ini sangat tidak adil, di tengah ketidakmampuan pemerintah mengembangkan sumber energi lainnya, yang sejatinya sangat melimpah.
Kedua, mitos pula kalau produksi minyak kita melimpah. Terbukti, produksi minyak kita tak mampu lagi memasok kebutuhan nasional. Saat ini, kebutuhan nasional BBM mencapai 1,3 juta barel per hari. Sedangkan produksi nasional minyak di Indonesia hanya mampu memasok 850 ribu barel per hari. Jadi, sisanya, berkisar 450 ribu-500 ribu barel, diimpor (nett oil importer). Sangat ironis, jika sebuah komoditas yanng diimpor malah disubsidi. Seharusnya, suatu komoditas impor justru diberikan beban harga/tarif yang mahal (diberikan disinsentif).
Ketiga, sebuah komoditas yang menimbulkan dampak eksternalitas, seharusnya diberikan disinsentif bagi penggunanya. Disinsentif itu bisa berupa harga/tarif mahal atau bahkan dikenakan pajak atau cukai. BBM adalah komoditas yang menimbulkan dampak eksternalitas bagi lingkungan yang amat serius. Saat ini sedang hangat-hangatnya isu perubahan iklim global (global climate change). BBM (dan energi fosil lainnya) berkontribusi paling besar terhadap fenomena perubahan iklim global itu. Penggunaan BBM, baik untuk sektor transportasi, industri, maupun untuk keperluan domestik rumah tangga, berkontribusi langsung terhadap kerusakan lingkungan. Dengan demikian, kebijakan subsidi terhadap komoditas BBM sama saja pemerintah mendukung kerusakan lingkungan. Bahkan, pemberian subsidi BBM bertentangan secara diametral dengan janji Presiden Yudhoyono untuk menekan produksi gas karbon hingga 26 persen. Dengan basis semacam ini, kebijakan yang relevan adalah memberikan disinsentif (harga mahal) untuk komoditas yang bernama BBM. Di negara-negara Eropa, BBM justru diberikan pajak (gasoline tax).
Lagi pula, subsidi juga akan mendorong perilaku boros konsumen. Harga BBM masih dianggap murah (sangat terjangkau). Karena itu, praktis tidak ada upaya konsumen untuk berhemat. Jadi, jangan mimpi pemerintah mampu mendorong masyarakat berperilaku he mat dalam menggunakan BBM, jika harga BBM masih disubsidi. Para pengguna kendaraan pribadi, yang merupakan 90 persen penikmat BBM bersubsidi, akan berparadigma “semau gue” dalam menggunakan kendaraan pribadinya.

Pada akhirnya, pola konsumsi masya rakat konsumen, idealnya bukan hanya dilandasi oleh sikap “mampu membayar” dan atau aspek kualitas. Aspek sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan seharusnya menjadi basis kuat untuk menentukan pola konsumsinya itu. Subsidi BBM jelas berlawanan dengan pola konsumsi yang berkelanjutan. Namun, kebijakan pemerintah harus juga bersifat adil dan komprehensif. Setelah subsidi BBM dikurangi (dicabut), perbaikan dan pembangunan sarana prasarana di bidang transportasi menjadi prasyarat mutlak. Wujudkan angkutan umum publik massal yang aman, nyaman, dan manusiawi. Mobilitas warga, khususnya di kota-kota besar, seharusnya berbasis angkutan umum massal (mass rapid transportation). Terwujudnya angkutan umum massal yang nyaman, aman, dan manusiawi, tidak hanya pro terhadap lingkungan global dan konsumsi berkelanjutan, tetapi juga pro terhadap aspek keselamatan bagi penggunanya.

***

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Koran Republika, 27 Maret 2012)