”… Subsidi (BBM) bisa mencapai 30% dari anggaran negara. Artinya sama saja kita menjadi negara komunis terbesar di dunia. Hanya negara komunis yang menyubsidi satu komoditasnya 27% dari APBN.  Dan hari ini tidak ada negara di dunia yang begitu …,” tandas mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada buku Berbekal Seribu Akal, Pemerintahan dengan Logika (2007).

Terlepas dari konteks ideologis semacam itu, membiarkan melambungnya subsidi bahan bakar minyak (BBM) adalah sebuah ketidakadilan. Bukan saja pada konteks ekonomi, sosial, kebijakan energi makro, lingkungan global, tetapi juga tidak adil dari sisi manajemen transportasi.Pada konteks manajemen transportasi, tingginya subsidi BBM jelas menimbulkan multidistorsi yang amat serius. Pertama, melambungkan penggunaan kendaraan pribadi. Contohnya di Jakarta, saat ini 98% mobilitas warga Kota Jakarta menggunakan kendaraan pribadi dan hanya 2% yang menggunakan angkutan umum.

Kini tak kurang dari 7,5 juta unit kendaraan pribadi bercokol di Jakarta, 4,5 juta di antaranya adalah sepeda motor. Padahal, eksternalitas tingginya penggunaan kendaraan pribadi sangat kentara: kemacetan, polusi, dan tingginya angka kecelakaan. Pada tahun 2011 tercatat 935 orang meninggal di jalan raya Jakarta (Ditlantas Polda Metro Jaya). Secara nasional, jumlah manusia Indonesia yang meninggal di jalan raya mencapai 31.000 per tahun atau sekitar 86 orang per hari.

Mayoritas yang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia adalah pengguna sepeda motor (76%). Kedua, eksternalitas yang paling konkret terhadap tingginya subsidi BBM di bidang transportasi adalah terbengkalainya pengelolaan angkutan umum. Terbengkalai karena pemerintah menjadi malas mengembangkan sarana transportasi publik yang nyaman, aman, dan manusiawi.

Wajah transportasi umum di Indonesia begitu buruk, bahkan mengerikan karena acap terjadi kriminalitas yang paling barbar: pembunuhan dan atau pemerkosaan. Wajar kalau kemudian secara perlahan tetapi pasti warga tidak berminat menggunakan angkutan umum dan kemudian meninggalkannya. Di Jakarta, pada 2005 kepeminatan warga Jakarta dalam menggunakan angkutan umum masih38%, tetapi pada data 2010 kepeminatan itu turun drastis, hanya 11,5%.

Sebagai kota metropolitan,tidak terlalu salah jika Jakarta diberi gelar ”kota primitif”. Pasalnya,hingga detik ini Jakarta tak punya sarana angkutan umum missal yang manusiawi. Keberadaan Transjakarta yang dulu digadang-gadang sebagai sarana angkutan umum yang mengusung budaya baru masih jauh panggang dari api.Transjakarta belum mampu mewujudkan dirinya sebagai angkutan (semi massal) yang andal, terutama dari sisi waktu tempuhnya.

Justru yang dominan terdengar di telinga publik,Transjakarta sering menabrak penyeberang jalan, mogok tanpa sebab, bahkan meledak dan terbakar! Namun, kenaikan harga BBM juga menjadi dilema bagi pengelolaan angkutan umum. Di satu sisi, akibat kenaikan harga BBM, pengusaha angkutan mesti menaikkan tarifnya. Organisasi Angkutan Darat (Organda) mengusulkan agar kenaikan tarif angkutan umum minimal 35–50%. Boleh jadi besaran usulan kenaikan tarif itu sangat rasional.

Namun besaran usulan itu justru bisa menjadi bumerang bagi angkutan umum itu sendiri. Kenaikan harga BBM yang diikuti kenaikan tarif angkutan umum menjadi sarana efektif bagi warga untuk meninggalkan angkutan umum. Untuk apa menggunakan angkutan umum yang pelayanannya jelek, macet, berpotensi dijambret atau bahkan diperkosa, lebih baik menggunakan kendaraan pribadi, terutama sepeda motor.

Saat ini, di seluruh Indonesia, tak kurang dari 62 juta sepeda motor yang dijadikan sarana angkutan alternatif bagi masyarakat. Dari 62 juta unit tersebut, lebih dari 70% bercokol di perkotaan. Apalagi jika harga BBM untuk sepeda motor tidak dinaikkan, migrasi ke sepeda motor akan makin marak. Yang pertama kali terpukul oleh maraknya migrasi ini adalah angkutan umum. Jika fenomena ini benar-benar terjadi, selain ditandai matinya angkutan umum, juga ditandai tingginya angka kecelakaan dan polusi di area perkotaan.

Perbaikan

Jadi, menaikkan harga BBM dalam konteks manajemen transportasi merupakan kebijakan yang tepat. Namun, hal ini harus dibarengi dengan perbaikan infrastruktur transportasi yang andal dan manusiawi. Oleh karena itu, seiring dengan pengurangan dan pencabutan subsidi BBM, mutlak hukumnya bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan radikal pada pengelolaan angkutan umum di kota-kota besar.

Alihkan dana kenaikan harga BBM untuk membangun sarana angkutan massal cepat dan sarana infrastruktur transportasi lain. Terwujudnya sarana transportasi yang aman, nyaman, dan manusiawi akan mendorong pengguna kendaraan pribadi berpindah (migrasi) menjadi pengguna kendaraan umum. Sebaliknya, kendati harga BBM setinggi langit, tanpa adanya fasilitas kendaraan umum yang manusiawi, penggunaan kendaraan pribadi akan kian meledak, sementara eksistensi angkutan umum akan makin tergusur,mati suri.

Jika fenomena itu terus dibiarkan,kota-kota besar kian terpolusi, angka kecelakaan lalu lintas meningkat tajam, dan pendapatan masyarakat tergerus dengan sempurna. Sudah saatnya pemerintah menelurkan kebijakan adil dan berkesinambungan di bidang transportasi. Bukan malah sebaliknya: melanggengkan pelanggaran hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan sarana transportasi publik yang nyaman, aman, dan manusiawi.

***
Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI
(Dimuat di koran Seputar Indonesia, 28 Maret 2012)
Gambar diambil dari http://archive.kaskus.us/thread/13285134/0/harga-bbm-naik-tarif-angkutan-umum-naik-35