Masih ingatkah Anda dengan kecelakaan maut di Tugu Tani Januari lalu? Kecelakaan yang kemudian dikenal dengan “Tragedi Tugu Tani” merenggut nyawa 9 orang melayang dan beberapa luka-luka. Tentu saja ini menjadi hari kelam, khususnya bagi keluarga ahli waris korban meninggal.

Namun, terlepas dari tragedi yang memilukan atau si pelaku yang layak mendapat hukuman setimpal, sejatinya terdapat persoalan yang lebih mendasar dan seharusnya dicatat sebagai sebuah pelajaran yang amat berharga. Apa sajakah itu?

Pertama, rendahnya aspek keselamatan di jalan raya. Data menunjukkan begitu murahnya nyawa manusia Indonesia di jalan raya. Dalam konteks kecelakaan lalu-lintas (laka lantas) di Jakarta, Polda Metro Jaya mencatat setidaknya 935 orang meninggal akibat laka lantas pada 2011 kemarin. Dalam konteks nasional, Mabes Polri juga mencatat tidak kurang dari 20 ribu orang meninggal dunia di jalan raya akibat laka lantas. Bahkan, angka tersebut masih dianggap terlalu konservatif. Sebab jika disandingkan dengan data korban di rumah sakit-rumah sakit, atau santunan yang diberikan oleh PT Jasa Rahardja, jumlahnya bisa mencapai 40 ribuan.

Dalam hal rendahnya keselamatan di jalan raya memang bukan monopoli Indonesia saja. Fenomena serupa juga terjadi dibelahan negara lain, khususnya di negara-negara berkembang. Menurut catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO), di seluruh dunia pada 2004, minimal terdapat 1,3 juta nyawa melayang akibat laka lantas. Dan sekitar 50 juta orang mengalami cedera. Itu artinya, setiap hari 3.500 nyawa hilang di jalan raya. Atau, satu kematian di setiap 30 detik! Namun demikian, fenomena di Indonesia tergolong sangat tinggi. Kematian akibat laka lantas di Indonesia adalah delapan kali lipat lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi di Australia. Dan dua kali lipatnya jika dibandingkan di Malaysia.

Jika dilihat faktanya laka lantas terjadi atas tiga faktor, yakni faktor manusia (human factor), faktor kendaraan dan faktor jalan. Ketiganya bisa berdiri sendiri atau bahkan saling bertemali. Namun, faktor manusia menempati rangking tertinggi sebagai penyebab utama kecelakaan. Bahkan, terkait dengan kasus “Tragedi Tugu Tani”, sangat relevan dengan kasus yang terjadi di Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam, laka lantas yang disebabkan oleh pengaruh penggunaan alkohol menduduki rangking tertinggi, kemudian disusul soal kecepatan berkendara, plus, tidak menggunakan sabuk keselamatan.  Konfigurasi kasus yang demikian ternyata juga terjadi di Indonesia.

Kedua, rendahnya penghormatan terhadap sesama pengguna jalan; khususnya pengguna kendaraan pribadi terhadap pejalan kaki. Fenomena menunjukkan, perilaku pengguna jalan di Indonesia secara umum masih memprihatinkan. Masih saling serobot, terbiasa melanggar traffic light, dan melabrak hak-hak pejalan kaki. Sangat jarang pengguna kendaraan pribadi memberikan kesempatan pada pejalan kaki yang akan menyebrangi jalan, sekalipun sudah berada di area zebra cross. Ironiknya, pejalan kaki pun harus menaruh kewaspadaan tinggi sekalipun telah berjalan di trotoar, karena area trotoar diserobot pengguna sepeda motor.

Ketiga, buruknya infrastruktur atau fasilitas pejalan kaki (pedestrian way). Kasus Tugu Tani juga tak bisa dilepaskan oleh masalah buruknya fasilitas pejalan kaki. Seharusnya, jika fasilitas pejalan kaki memadai (lebih tinggi dan lebih lebar), maka aksi seruduk mobil maut akan tertahan oleh marka trotoar. Ini sebenarnya bukan tipikal kota Jakarta saja, tetapi juga tipikal kota-kota lain di Indonesia.

Keempat, rendahnya santunan bagi korban laka lantas. Faktor rendahnya santunan juga tak bisa dianggap enteng. Bahkan ini menjadi isu yang krusial. Berdasarkan survei dari Bank Dunia, umumnya laka lantas mengakibatkan keluarga ahli waris yang ditinggalkan jatuh miskin. Ini terjadi karena mayoritas korban laka lantas adalah pilar utama dalam rumah tangga (pencari nafkah).

Sementara nilai santunan dari PT Jasa Rahardja pada korban laka lantas maksimum hanya Rp 25 juta, untuk korban meninggal dunia dan atau cacat tetap. Bandingkan dengan hal serupa di Malaysia, yang besarnya Rp 1,3 miliar; atau bahkan di Amerika Serikat sebesar Rp 3 miliar. Dengan santunan sebesar itu, maka ahli waris yang ditinggalkan secara ekonomis dan psikologis akan merasa “tenang”.

Kesimpulan  

Berdasar pada konfigurasi tersebut, seharusnya Tragedi Tugu Tani  menjadi tonggak sejarah untuk segera mengakhiri jalan raya sebagai “mesin pembunuh”. Idealnya ada langkah komprehensif untuk membalikkan fenomena tersebut; yaitu  lakukan perbaikan infrastruktur, khususnya infrastruktur jalan dan juga fasilitas pedestrian. Jika fasilitas ini dibangun secara optimal, maka bisa menjadi instrumen untuk menekan tingginya laka lantas yang mencerabut nyawa korban.

Akses pedestrian bahkan bukan semata untuk aspek keselamatan, tetapi juga untuk mengurangi kemacetan. Sebagai contoh, di Bogota, Kolombia, Amerika Latin, 13 persen mobilitas warganya dilakukan dengan berjalan kaki. Dalam konteks tata ruang kota, pengadaan fasilitas pedestrian juga untuk mendorong terwujudnya Jakarta sebagai kota layak huni dan kota manusiawi (human city).

Tak boleh ditinggalkan adalah perbaikan infrastruktur angkutan umum. Buruknya angkutan umum, menjadikan masyarakat malas menggunakan angkutan umum, dan kemudian menggunakan kendaraan pribadi. Padahal, kendaraan pribadilah yang terbukti menyumbang paling banyak laka lantas dengan korban meninggal (terutama sepeda motor).

Aspek edukasi pada sisi sumber daya manusia, khususnya para pengguna kendaraan pribadi, juga menjadi hal yang krusial. Ini sangat penting, karena terbukti tingkat kepatuhan mereka terhadap hukum dan etika berlalu-lintasnya masih tergolong rendah. Nyaris pelanggaran hak terhadap sesama pengguna jalan, apalagi terhadap pejalan kaki, adalah suatu kelaziman.

Perlindungan terhadap korban, terkait dengan besaran santunan yang diberikan, harus ada terobosan kebijakan baru yang lebih manusiawi. Ahli waris korban seharusnya tidak terlantar (jatuh miskin) dikarenakan kecilnya nilai santunan bagi korban meninggal, cacat tetap. Tanpa langkah perbaikan yang konkret dan komprehensif dimaksud, maka fenomena jalan raya sebagai killing field tak akan bisa dibendung.

***

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

Gambar diambil dari sini