Sudah tak terhingga artikel ilmiah yang menyatakan bahwa rokok berdampak buruk pada kesehatan. Gulungan tembakau ini memiliki 60 zat yang memicu terjadinya kanker (karsinogen). Rokok juga mengandung 6000 zat berbahaya lainnya. Dari hasil penelitian ilmiah, sebatang rokok mengandung zat arsenik (racun seranggaa), zat ammonia (bahan pembersih lantai), methanol (bahan bakar roket), butane (bahan korek api) dan masih banyak lagi.

Tak mengherankan jika kemudian hampir seluruh negara-negara di dunia mulai membatasi peredarannya. Secara khusus badan kesehatan dunia (WHO) mengatur dalam sebuah konsensi internasional yang tertuang dalam framework convention on tobacco control (FCTC). Konvensi ini kemudian diadopsi oleh 147 negara dan menjadi hukum internasional. Di lingkup Asia Tenggara, hanya Indonesia yang belum menandatanganinya.

Kendati demikian, beberapa daerah di Indonesia yang peduli terhadap kesehatan, berupaya menuangkan sebuah regulasi yang melindungi masyarakat dari paparan asap rokok orang lain (AROL). Jakarta misalnya, kendati belum secara spesifik mengatur tentang Kawasan Dilarang Merokok, namun telah memiliki Perda No.2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Sesuai pasal 13 mengatur pentingnya udara bersih dari paparan asap rokok. Pasal ini menjadi pijakan untuk mengatur terciptanya udara bersih di tujuh area yang memang harus terbebas dari asap rokok.

Secara spesifik, Gubernur Jakarta mengeluarkan sebuah peraturan yang tertuang dalam Pergub No 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok yang kemudian disempurnakan dengan Pergub No 88 Tahun 2010 tentang hal yang sama. Sejalan dengan Perda No 5 Tahun 2005, tercakup dalam pergub tujuh kawasan dilarang merokok diantaranya tempat umum, tempat kerja, angkutan umum, tempat ibadah, arena kegiatan anak-anak, tempat proses belajar mengajar dan tempat pelayanan kesehatan.

Masuk dalam kategori tempat umum diantaranya hotel dan restoran. Sebagai area Kawasan Dilarang Merokok (KDM), artinya hotel dan restoran di Jakarta merupakan area yang dinyatakan sebagai tempat dilarang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan rokok. Celakanya, dari survei yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pada Juni 2011, lebih dari setengah hotel obyek survei (57%) melanggar Pergub 88 Tahun 2010. Demikian juga restoran (47%) melanggar titah Gubernur.

Kekhawatiran akan menurunnya tingkat kunjungan konsumen menjadi alasan yang mencuat dikemukakan pengelola hotel dan restoran untuk menerapkan Pergub tersebut. Dari konfigurasi permasalahan tersebut serta untuk mendapatkan gambaran secara jernih, faktual dan berimbang, YLKI kembali mencoba melakukan riset dengan mengkaji dari sisi ekonomi

Seratus Hotel

Dalam survei yang bertajuk ”Kajian loyalitas kunjungan konsumen di hotel dan restoran terhadap implementasi Kawasan Dilarang Merokok, dilaksanakan pada 1 – 7 Desember 2011 dengan melibatkan 15 orang surveyor yang melakukan wawancara langsung di lapangan, yaitu di 100 (seratus) hotel dengan kriteria bintang 3, 4 dan 5 serta 100 (seratus) restoran besar maupun kecil tetapi berjejaring, yang tersebar di seluruh Jakarta. Sedangkan sasaran survei adalah konsumen yang berkunjung di hotel/restoran tersebut dan dipilih secara acak. Di setiap hotel atau restoran, hanya dibatasi masing-masing 5 (lima) responden. Dari seratus hotel dan restoran, YLKI berhasil mengumpulkan 1000 responden laki-laki/perempuan dewasa, dengan data valid 994.

Dari kategori hotel bintang 3 (tiga) responden yang dikumpulkan sebanyak 240, bintang 4 (empat) 164 responden dan bintang 5 (lima) 95 responden. Perbedaan signifikan ini lebih karena perbedaan jumlah hotel berbintang yang ada di Jakarta yang lebih didominasi bintang 3, dibanding 4 atau 5 .

Terhadap kebiasan merokok, dari seluruh responden diperoleh hasil; 61 responden hotel bukan perokok, 26% perokok sesekali dan 13% perokok berat. Sementara responden restoran 71% bukan perokok, 22% perokok sesekali, serta hanya 7% yang mengatakan sebagai perokok berat. Kriteria perokok berat diambil ketika seseorang menghabiskan lebih dari satu bungkus (12 batang) setiap harinya. Dari hasil ini, dapat ditarik kesimpulan, pengunjung hotel dan restoran mayoritas justru bukan perokok.

Berdasarkan tujuan utama seorang responden berkunjung ke hotel maupun restoran diketahui sebanyak 310 (62%) responden hotel menyatakan karena urusan pekerjaan, 103 (21%) menjawab urusan keluarga serta 87 (17%) menyebutkan hal lain seperti liburan, bertemu teman, jalan-jalan dan lain-lain. Sedangkan tujuan utama responden restoran terungkap sebanyak 316 (64%) hanya semata untuk makan, 54 (11%) makan dan urusan pekerjaan, 34 (7%) makan dan keluarga serta 18% (90) sisanya menyebut hangout, reuni, jalan-jalan.

Konsumen dalam memilih barang atau jasa selalu didasari pertimbangan tertentu. Tak terkecuali konsumen hotel dan restoran. Ketika ditanyakan alasan konsumen memilih hotel/restoran maka diketahui alasan-alasan yang mengemuka/

Tentang pengetahuan responden terhadap Kawasan Dilarang Merokok (KDM), sebanyak 86% (481) responden mengetahui bahwa hotel merupakan KDM, hanya 14% (69%) sisanya yang belum mengetahui. Hasil yang hampir sama juga temukan pada responden restoran yang 82% (403) mengetahui bahwa restoran merupakan bagian dari KDM. Sementara hanya 18% sisanya tidak mengetahui restoran sebagai Kawasan Dilarang Merokok.

Pengetahuan responden tentang KDM sejalan dengan tingkat gangguan responden terhadap asap rokok orang lain (AROL). Sebanyak 252 (50%) responden mengaku terganggu dengan asap rokok, bahkan 25% (126) lainnya menyatakan sangat terganggu. Sisanya 118 (24%) yang merasa tidak terganggu dan hanya 4 (1%) responden merasa sangat tidak terganggu dengan paparan asap rokok orang lain di hotel. Hal sama juga terjadi di restoran, ketika 143 (49%) responden merasa terganggu dengan AROL, bahkan 31% (126) merasa sangat terganggu. Responden restoran, yang merasa tidak terganggu terhadapa AROL sebanyak 19% (95) dan 1% (6) lainnya merasa sangat tidak terganggu.

Kendati demikian, sikap konsumen yang terganggu asap rokok orang lain masih bersifat defensif. Artinya, konsumen lebih memilih menghindar atau membiarkan dibanding bersifat ofensif dengan menegur langsung atau melaporkan pihak hotel/restoran

 

Mitos Atau Fakta

Kegamangan pengelola hotel dan restoran dalam mengimplementasikan Pergub No 88 tahun 2010 adalah munculnya kekhawatiran akan penurunan tingkat kunjungan konsumen. Lantas benarkah menerapkan kawasan dilarang merokok di dua entitas bisnis tersebut mampu menurunkan tingkat kunjungan konsumen dan lebih ekstrim lagi mematikan industri hotel dan restoran? Sekedar mitos atau faktakah?.

Dari hasil survei yang dilakukan YLKI, diketemukan fakta bahwa 95% (476) responden tetap akan mengunjungi hotel tersebut kendati diterapkan peraturan dilarang merokok secara tegas sekalipun. Hanya 5% (24) responden yang menyatakan akan berpindah ke hotel lain. Sejalan dengan hasil temuan di restoran yang menemukan mayoritas konsumen (93%) tetap akan berkunjung ke rumah makan tersebut meski diberlakukan KDM. Sementara 7% (36) responden lainnya menyatakan akan berpindah ke restoran lain. Hasil ini menunjukkan tingkat loyalitas kunjungan konsumen ke hotel/restoran kendati menerapkan peraturan sebagai Kawasan Dilarang Merokok, bahkan secara ketat sekalipun.

Temuan ini konsisten, khusunya bagi responden hotel yang mayoritas menyatakan setuju jika KDM juga diterapkan di tempat hiburan yang ada di hotel, seperti pub, caffe, diskotik, karaoke dan tempat hiburan lain dalam hotel.

 

Di Denda

Dukungan dan tingkat loyalitas konsumen terhadap implementasi KDM juga terlihat dari pernyataan responden tentang pentingnya sanksi atau denda kepada pelanggar KDM di hotel maupun restoran. Sebanyak 66% (330) responden hotel setuju diberikan denda/sanksi pada para pelanggar. Bahkan 10% (53) menyatakan sangat setuju. Sementara hanya 22% (109) responden yang menyatakan tidak setuju pemberian denda/sanksi, dan 2% (8) lainnya menyatakan sangat tidak setuju. Hal sama juga diketemukan pada responden restoran yang menyatakan 328 (66%) responden setuju denda/sanksi dan 71 (14%) sangat setuju. Hanya 77 (16%) responden yang tidak setuju serta 18 (4%) lainnya menyatakan sangat tidak setuju.

Responden juga menyebut kisaran denda yang harus ditimpakan kepada pelanggar Kawasan Dilarang Merokok. Besaran denda memang jauh dari yang tertuang dalam Perda yang menyentuh angka 50 juta rupiah. Namun angka yang disebutkan oleh responden justru terkesan lebih realistis.

Mayoritas responden hotel (55%) menyebut angka Rp 250 ribu – Rp 500 ribu sebagai besaran denda bagi para pelanggar KDM di hotel. Dan 18% responden menyebut angka Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta, serta 27 % lainnya setuju denda diatas Rp 1 juta.

Sedangkan 51% responden restoran menganggap angka Rp 100 ribu – 300 ribu merupakan denda yang pantas bagi para pelanggar KDM di restoran. Dan 19% menyebut angka Rp 300 ribu – Rp 500 ribu sebagai denda, serta 30% lainnya mengganggap perlu denda diatas Rp 500 ribu bagi mereka yang kedapatan melanggar KDM di restoran.

 

Kesimpulan dan Saran

Kekhawatiran pengelola tempat umum (khususnya untuk hotel dan restoran) dalam menerapkan kawasan dilarang merokok tak lepas dari mitos yang selama ini berkembang bahwa penegakkan kawasan dilarang merokok di restoran dan hotel akan merugikan industri jasa dan pariwisata karena akan ditinggal oleh pelanggannya.

Mitos, hanya sekedar mitos yang perlu ditepiskan. Hasil survei YLKI mengungkap fakta penerapan Kawasan Dilarang Merokok bahkan secara ketat sekalipun, tidak menimbulkan efek negatif pada aspek ekonominya. Artinya bisnis tetap berjalan seperti biasa, bahkan ada kecenderungan meningkat.

Sebanyak 70% responden hotel dan 80% responden restoran yang merasa terganggu dengan asap rokok orang lain menjadi salah satu bukti. Bahkan secara tegas 95% responden menyatakan akan tetap mengunjungi hotel tersebut kendati diterapkan KDM. Sedangkan responden restoran sebanyak 93% yang menyatakan tetap akan memilih restoran tersebut meskipun diterapkan KDM. Responden juga setuju diberikannya denda/sanksi bagi para pelanggar.

Dengan tingkat keloyalan konsumen, artinya bahwa penerapan hotel dan restoran sebagai Kawasan Diarang Merokok (KDM) tidak akan mengganggu aktivitas ekonomi dan tidak menggoyahkan industri hotel dan restoran. Dengan kata lain, sudah sewajarnya bila pengelola hotel dan restoran menerapkan KDM diwilayah mereka tanpa harus ada keraguan.

***

Agus Sujatno, Staff YLKI

Sumber data: YLKI

Gambar diambil dari sini