Ketika membicarakan layanan publik sebuah kota, yang tergambar adalah layanan transportasi publik, pedestrian, taman kota, tempat parkir, maupun fasilitas untuk pengguna khusus (penyandang cacat, manula, wanita hamil dan anak-anak). Ini tidak salah, tetapi tidak cukup. Satu hal yang sangat vital dibutuhkan namun acapkali terlupakan untuk dibicarakan adalah fasilitas toilet. Sementara fasilitas toilet ini mutlak dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan kebutuhan dasar manusia.

Salah satu siklus yang selalu dialami setiap orang, selain makan dan minum adalah buang air besar (defecate) atau buang air kecil (urinate). Untuk memfasilitasi hal ini, ada kebutuhan akan tempat defecate/urinate berupa toilet. Ketika ada di rumah, kebutuhan ini bukan menjadi masalah serius, karena setiap rumah pasti ada fasilitas toilet. Mulai dari yang sederhana sampai yang super mewah dengan harga jutaan, dibangun untuk menyalurkan kebutuhan ini.

Namun bagaimana jika keinginan defecate/urinate itu muncul ketika kita sedang di jalan, di taman, atau di ruang  terbuka? Kemana harus defecating/urinating? Permasalahan ini menjadi serius – bahkan bagi sebagian orang akan sangat serius – untuk segera menyalurkan “keinginan mendesak” tersebut. Tidak aneh apabila dibeberapa lokasi jembatan penyeberang di jalan protokol Jakarta (seperti jalan Thamrin depan Sarinah), tersebar aroma pesing menyengat.

Defecate/urinate sembarangan memang tindakan yang kurang berbudaya. Namun menyalahkan warga yang buat hajat sembarangan, juga tidak fair karena memang tidak tersedia fasilitas toilet umum di sepanjang jalan protokol di Jakarta. Toilet umum agaknya belum menjadi layanan publik yang harus disediakan di kota-kota besar Indonesia, termasuk Jakarta. Sepanjang jalan Thamrin, Sudirman, Rasuna said dan sebagainya, sulit ditemukan adanya toilet umum.

Bandingkan dengan sejumlah kota besar seperti di Hongkong atau Singapura. Walikota ke dua kota tersebut merasa bertanggung jawab untuk menyediakan toilet umum di sejumlah lokasi tempat berkumpul atau beraktivitasnya masyarakat di ruang terbuka. Mereka paham betul pentingnya toilet umum untuk memenuhi kebutuhan warga maupun turis asing defecating/urinating ketika berada di ruang terbuka.

Tidak hanya itu, kalau kita amati map (peta) ke dua kota tersebut – yang dengan mudah dapat ditemukan di bandara – dalam legenda peta, terdapat petunjuk lokasi dimana saja tersedia rest area dalam kota. Artinya bahwa di kedua kota tersebut, rest area sudah menjadi kebutuhan warga. Dengan begitu informasi lokasi ketersediaan toilet umum masuk dalam legenda sebuah peta kota.

Syarat Toilet Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam laporannya menyebutkan bahwa sebanyak 2,6 miliar orang di dunia ini tidak memiliki akses sanitasi yang layak, termasuk tidak terpenuhinya akses defecate/urinate pada tempatnya. Tidak tersedianya toilet umum di tempat terbuka, juga akan menambah daftar buruk akses sanitasi.

Ketersediaan publik toilet memang mutlak dibutuhkan.  Namun menyediakan begitu saja tanpa memperhatikan hal-hal penting juga akan berdampak buruk. Tidak saja akan sia-sia keberadaanya, justru merusak pemandangan, sumber penyakit dan bau.

Toilet umum tak hanya berarti tempat defecate/urinate saja, tetapi juga menyangkut beberapa aspek lain, yakni; aspek kemudahan pengguna, aspek kesehatan, aspek pemeliharaan, aspek lingkungan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan sebuah toilet umum. Pertama, ketersediaan akses akan toilet umum. Selain ada toilet umum, hal yang juga tidak kalah penting adalah keberadaan toilet umum tersebut terinformasi kepada masyarakat luas, baik dalam bentuk penunjuk arah dan penandaan. Letak toilet umum tidak harus persis di pinggir jalan protokol, ini justru akan mengganggu. Namun keberadaanya harus terinformasi dengan jelas. Penandaan atau penunjuk arah menjadi penting dalam hal ini.

Kedua, desain toilet umum. Berbeda dengan toilet pribadi di rumah, dimana pengguna toilet hanya orang tertentu, pengguna toilet umum adalah masyarakat yang selalu berganti-ganti. Direkomendasikan seminim mungkin ada sentuhan tangan. Misalnya keran air secara otmatis, desain pintu utama model letter L, U atau S. Menghindari banyak sentuhan, efektif untuk mencegah masuknya kuman penyakit.

Ketiga, pengelolaan toilet umum. Jamak ditemui toilet umum yang justru bau, jorok dan mempengaruhi psikologis pemakai. Untuk itu dibutuhkan perawatan dan pembersihan yang dilakukan secara berkala, dikerjakan oleh tenaga yang terlatih, serta menghindari penggunaan bahan kimia secara berlebihan dalam proses pembersihan untuk mencegah pencemaran lingkungan dan efek kesehatan bagi manusia.

Keempat, charging (bebayar). Idealnya publik toilet tidak dikenakan biaya, karena ini bagian dari layanan publik sebuah kota. Kendati demikian, bila harus dikenakan biaya, prinsipnya adalah full cost recovery, yaitu sebagai pemulihan biaya pengadaan dan perawatan. Bukan malah dianggap sebagai revenue center, untuk mengeruk keuntungan dan sumber pendapatan.

Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)

Gambar diambil dari sini