Beberapa hari yang lalu (12-15 September 2012) YLKI mengikuti acara yang dihadiri berbagai organisasi petani yang peduli terhadap pertanian organik atau pertanian yang ramah lingkungan dan peduli terhadap peningkatan mutu hasil pertaniannya di Malang, Jawa Timur.

Organisasi petani ini berasal dari macam macam kelompok, yaitu dari Aliansi Petani Indonesia (API), Aliansi petani organik Boyolali, Solo, kelompok petani kopi dan kakao NTT dan Sulawesi.

Hal menarik yang dapat di lihat adalah beberapa produk yang punya nilai tambah, hasil dari produksi petani petani tersebut. Terutama untuk petani kakao di Sulawesi. Sudah umum di kalangan petani kakao, bahwa selama ini mereka hanya memproduksi kakao saja. Tetapi malah tidak pernah mengkonsumsi coklatnya. Coklat bagi mereka sudah seperti produk ekslusif yang mahal.

Padahal, Indonesia itu penghasil kakao no.3 terbesar di dunia, setelah Pantai Gading dan Ghana. Dan 70% penghasil kakao Indonesia itu ada di Sulawesi. Tetapi penghasil produk coklat terbesar di dunia itu malah Amerika Serikat, Jerman, Swiss dan Belgia.

Petani juga mempunyai posisi tawar yang sangat rendah. Karena harga ditentukan oleh pembeli. Bukan penjual. Ini juga karena Indonesia tidak punya organisasi petani per-komoditas pertanian yang kuat.

Nah, suatu ketika, hasil jualan kakao petani Sulsel ini ditolak oleh pengepul di Makassar yang akan mengekspor kakao tersebut ke luar negeri. Disinilah petani menyadari betapa lemahnya posisi tawar mereka.

Jadi, dimotori oleh beberapa petani, akhirnya mereka membentuk Kelompok Usaha Bersama Sibalireso di Luwu Utara, Sulsel. KUB ini kemudian mencoba mencari alat untuk memproduksi coklat. Dapatlah dari Dinas Perindustrian setempat, alat idle yang tidak terpakai lagi.

Dari coba coba produksi, akhirnya petani berhasil memproduksi coklat ini. Kemasannya juga sudah sangat menarik. Bahkan produk coklat ini sudah dilirik oleh suatu perusahaan di timur tengah, untuk produk coklat yang diisi kurma itu. Sementara respon pasar lokal juga sangat baik.

Memang, dari segi rasa, para petani ini masih trial and error. Dan skala produksinya juga masih sedikit, hanya 50 kg/hari. Bandingkan dengan kapasitas produksi biji kakao petani yang puluhan ton perhari itu.

Dari segi harga, petani yang memasukkan biji kakaonya kesini, mendapat selisih harga Rp 2500/kg, dibandingkan dijual ke pengumpul untuk eskpor. Jadi lebih menguntungkan memang. Selain itu, karena usaha ini bentuknya koperasi, hasil keuntungan produksi coklat ini tentunya juga akan kembali ke petani sebagai anggota koperasi, dalam bentuk SHU (sisa hasil usaha) setiap akhir tahun.

Walau, kekhawatiran efisiensi tetap ada. Namanya usaha kecil, tentu kurang bisa efisien dibandingkan perusahaan besar. Tetapi jika sudah ‘menguasai hulu’, tinggal bagaimana untuk memperbesar alat produksi ditambah sistem manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik. Ini yang perlu didampingin oleh pihak atau otoritas terkait.

Dukungan Konsumen bagi Pengembangan Kakao yang Berkelanjutan

Yang menarik, mengapa YLKI juga hadir pada pertemuan ini? Bukankah konsumen hanya peduli pada kualitas produk akhir? Tidak perlu harus memikirkan bagaimana petani memproduksi?

Memang, jika hanya diingat hak hak konsumen, maka yang perlu diperhatikan atas suatu produk adalah hak atas kebutuhan pokok, hak atas keamanan, hak informasi, hak untuk memilih, hak perwakilan, hak atas ganti rugi, hak atas pendidikan konsumen, dan hak atas lingkungan hidup yang sehat.

Di dalam hak atas kebutuhan pokok, konsumen seharusnya terpenuhi kebutuhan dasarnya seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan dan sanitasi. Kenyataan di Indonesia, petani adalah konsumen yang paling lemah. Untuk itu, solidaritas konsumen juga dibutuhkan agar konsumen petani ini mampu meningkatkan daya belinya, melalui sinergi konsumen petani tadi.

Selain itu, konsumen juga mempunyai tanggung jawab untuk mempunyai: kesadaran kritis, bertindak yang memperjuangkan nasibnya, mempunyai kepedulian sosial (termasuk juga permasalahan yang dihadapi konsumen-petani kakao), kesadaran lingkungan (termasuk cara produksi yang lebih ramah lingkungan), dan kesetiakawanan atau solidaritas.

Tanggung jawab ini membuat konsumen akan selalu mendukung dan mendorong agar petani kakao meningkatkan kualitas produknya, dan jikapun sudah memiliki nilai tambah produknya, konsumen dapat mengapresiasinya, dalam bentuk dukungan konsumsi pangan lokal. Konsumsi coklat lokal, hasil karya petani kakao lokal Indonesia sendiri.

Jakarta, 21 September 2012

–   Ilyani Sudardjat –