Pemerintah kelihatannya semakin serius menerapkan SNI (Standar Nasional Indonesia) wajib fortifikasi (penambahan) vit.A sintetis ke minyak goreng. SNI ini terlihat janggal, karena diputuskan di tengah kontroversi efektivitas penambahan vit.A ke minyak goreng.

Disebut kontroversi karena tadi ketika aku ikutan membahas masalah ini di BSN, beberapa pihak stakeholder masih mempertanyakan substansi SNI tersebut. Memang janggal sekali.

Diantaranya adalah: Apakah tepat minyak goreng yang difortifikasi? Karena yang membutuhkan vit.A adalah balita. Satu diantara 2 balita Indonesia kekuarangan vit. A (KVA). Apakah bayi-bayi ini dicekoki minyak goreng supaya terpenuhi vit. A nya? Setahu saya yang mempunyai ponakan usia 2 tahun, ibunya selalu memberi pangan rebusan untuk kesehatan sang bayi. Apalagi dari surveilan Kemenkes sendiri (2011), data menunjukkan 13,4% anak-anak Indonesia menderita obesitas. Dan kontributor terbesar untuk obesitas tentu adalah pangan-pangan gorengan.

Selain itu, proses penggorengan akan membuat vit. A hilang sekitar 30% (sumber: Prof. Purwiyanto dari FGD di BSN). Itu belum yang hilang karena proses penyimpanan dan distribusi. Potensi kehilangannya bisa mencapai 50%. Jadi ketika sampai kepengguna, vit. A ini tinggal berapa persen?

Yang lebih janggal lagi  adalah sebenarnya minyak goreng tidak perlu difortifikasi vit. A sintetis, jika prosesnya tidak mensyaratkan kebeningan tertentu. Minyak yang merah dari CPO (crude palm oil) mengandung betakaroten (pro vit.A) yang sangat tinggi, yaitu 500-1000 ppm. 1 L CPO dapat memenuhi kebutuhan vit. A sebanyak 1000 orang perhari (sumber: WK Nas Pangan & Gizi).

Tetapi karena faktor SNI, betakaroten yang dibutuhkan itu malah hilang. Jadi sebenarnya, jika ada inovasi yang lebih baik lagi, tidak perlu ada penambahan vit. A sintetis, minyak goreng sudah bisa cukup mengandung vit. A. Apalagi syarat yang diinginkan hanya 45 IU. Tetapi mengapa tetap dipaksakan penambahan vit. A sintetis? Berdasarkan informasi dari produsen, biaya yang dikeluarkan untuk penambahan ini sangat besar. Sekitar Rp 400/kg. Dan yang menyedihkan, vit. A sintetis yang ditambahkan tersebut dibeli dengan impor, dengan biaya $60/kilo.

Menurut berita yang dilansir oleh Sinar Harapan.com, ‘pemaksaan’ penambahan vit. A sintetis yang dibeli dengan jalan impor ini senilai Rp 200 Milyar/hari! Jika sebulan mencapai Rp 6 Trilyun dan setahun mencapai Rp 72 Trilyun! Itulah uang yang keluar untuk impor alias devisa yang keluar. Dan siapakah yang diuntungkan dengan ‘pemaksaan’ sistemik ini? Ehmm, di dunia, produksi vit. A dimonopoli oleh 2 produsen besar dari Jerman, yaitu BASF dan Roche.

Apakah penambahan vit. A sintetik yang sangat massif ini berkaitan dengan kedua perusahaan tersebut? Bukan hanya politik impor daging yang gurih. Apakah politik obat dan vitamin Indonesia juga menggiurkan sekali nilai impornya dan bisa jadi “bancakan”? Bedanya tentu yang bermain disini bukan kuota daging untuk importirnya, tetapi lobi-lobi raksasa obat dan vitamin tersebut?

Semoga SNI ini bisa direvisi atau diamandemen, sebelum menjadi masuk ke dalam Draft Permenkes mengenai fortifikasi ini yang akan segera keluar.

– Ilyani S. Andang –

Anggota Pengurus Harian – YLKI