Beberapa hari ini, Bulog gencar mengimpor daging sapi impor bekuĀ  dari Australia. Sebanyak 3000 ton telah diimpor dan digelontorkan ke pasar-pasar di Indonesia, terutama sekali pasar Jakarta.

Impor daging sapi ini untuk memenuhi kebutuhan puasa dan lebaran yang melonjak dua kali lipat dibandingkan biasanya. Beberapa permasalahan yang melingkupi daging impor sapi beku ini diantaranya adalah penolakan pedagang. Maklum, harga sapi segar dari rumah pemotongan hewan cukup tinggi, sehingga bersaing dengan daging impor beku akan membuat mereka kehilangan keuntungan.

Selain itu, pasar tradisional tidak mempunyai cold storage untuk menyimpan daging beku tersebut. Tidak memiliki rantai dingin. Sehingga sekali lagi, jika tidak habis dalam sehari, daging beku impor tersebut bisa cepat membusuk. Selain mubazir, jika ada pedagang yang nakal tetap menjualnya, bisa membahayakan konsumen

Itu dari sisi pedagang. Sementara dari sisi konsumen, daging beku tentu berbeda kualitasnya dengan daging segar. Daging segar yang lebih fresh memang bisa jadi harganya lebih mahal dari daging beku. Kalau daging beku, bisa jadi dipotongnya berbulan-bulan yang lalu.

Selain itu, tentu yang dibutuhkan adalah sertifikasi halalnya daging tersebut. Untuk ini, Mendag menjamin bahwa daging sapi itu halal. Ehmm, sertifikatnya mana yak?

Selain itu, permasalahan yang melingkupi daging beku asal Australia ini adalah suntikan hormon yang dipakai untuk penggemukan sapi. Australia, Jepang dan Amerika Serikat (AS) adalah negara-negara yang masih mengijinkan suntikan hormon bagi penggemukan sapi. Sementara Uni Eropa melarang suntikan hormon ini. Aturan Indoensia mengikuti Uni Eropa, sejak tahun 1998, sudah ada pelarangan mengenai hal ini.

Masalahnya, tidak ada pemeriksaan mengenai kandungan residu hormon pada daging sapi ini. Semuanya masuk begitu saja ke pasar Indonesia, dengan tujuan untuk mengendalikan harga pasar.

Bahaya Hormon TBA

Dari studi yang dilakukan oleh Drh.Kisman untuk disertasi doktornya (2010) di Fakultas Kedokteran Hewan UGM, beliau mengambil sampel daging sapi australia dan ternyata mengandung hormon trenbolon asetat. Hormon ini digunakan untuk proses penggemukan sapi. Selain itu, beberapa penelitian lain yang mengambil sampel daging dari australia, positif mengandung hormon TBA ini.

Dampaknya bagi manusia adalah dapat memicu kanker prostat bagi lelaki, dan kanker payudara serta kanker rahim bagi perempuan. Selain itu, RSCM juga mencatat remaja-remaja yang cepat sekali menstruasinya sekarang ini, karena pengaruh hormon semacam ini.

Sedangkan para lelaki yang sudah mengkonsumsi daging mengandung TBA sejak dini, walah, pertumbuhannya bisa kecewe-cewe-an alias jadi banci.

Indonesia sendiri sudah melarang adanya residu hormon melalui Keputusan Mentan tahun 1994 dan Keputusan Komisi Obat Hewan tahun 1998. Tetapi sayang, sama dengan nasib impor pangan segar lainnya, Indonesia tidak punya mekanisme pengawasan/pengujian keamanan pangan di pintu masuk impornya. Jadi semua bablas masuk pasar Indonesia.

Dan sayang sekali lagi, alih-alih mengembangkan pertenakan sapi sendiri, malah impor daging sapi ini akan diperpanjang hingga Desember 2013. Padahal jika hanya untuk memenuhi kebutuhan puasa lebaran, mengapa tidak sampai hingga H+2 saja yak?

Padahal potensi peternakan sapi yang katanya dibiayai hingga Rp 10 Trilyun, tetapi tidak terserap (statement Menteri BUMN) dan pengembangan organik melalui pengembangan sapi sebesar Rp 20 trilyun, tampaknya memang tidak serius dijalankan. Senangnya emang impor sih. Padahal tingkat keamanannya belum jelas.

– Ilyani S. Andang –

Anggota Pengurus Harian – YLKI