Tak disangkal lagi jika di Indonesia kaya akan kuliner jajanan. Hampir di setiap daerah memiliki ciri khas jajanan masing-masing. Begitu mudah jajanan tersebut ditemukan. Di warung-warung, kios, toko kecil, tak terkecuali gelaran pedagang kaki lima di sepanjang jalan raya maupun jalan sempit.  Bahkan, di sekitar lokasi sekolah-sekolah, tidak sulit menemukan pedagang jajanan. Pertanyaannya, bagaimana dengan keamanan, kebersihan, dan kesehatan jajanan tersebut?.

Secara normatif, keamanan dan kesehatan jajanan diatur dalam Kepmenkes RI NO.942/MENKES/SK/VII/2003 mengenai pedoman persyaratan higienis sanitasi makanan jajanan. Maksud makanan jajanan disini adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau di sajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah makan/restoran, dan hotel.

Keputusan Menteri Kesehatan tersebut juga menyantumkan syarat-syarat penjamah makanan, yaitu pedagang atau orang yang berhubungan dengan makanan dan peralatannya. Seperti termaktub dalam pasal 2 dan 13, maka penjamah makanan adalah orang yang tidak menderita penyakit mudah menular, misalnya; batuk, pilek, influenza, diare, penyakit perut sejenisnya. Penjamah makanan juga harus menutup luka seperti bisul atau luka lainnya. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku, dan pakaian, memakai celemek, tutup kepala, mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan.

Penjamah makanan harus memakai alat/perlengkapan atau dengan alas tangan, tidak sambil merokok, menggaruk anggota badan seperti telinga, hidung, mulut atau bagian lainnya. Ketika batuk atau bersin, penjamah makanan tidak boleh di hadapan makanan jajanan yang hendak disajikan.

Untuk meningatkan mutu dan higienis sanitasi makanan jajanan, dapat ditetapkan lokasi tertentu sebagai sentra pedagang makanan jajanan. Sentra pedagang makanan jajanan tersebut lokasinya harus cukup jauh dari sumber pencemaran atau dapat menimbulkan pencemaran makanan jajanan seperti pembuangan sampah terbuka, tempat pengolahan limbah, rumah potong hewan, jalan yang ramai dengan arus kecepatan tinggi. Sentra jajanan harus dilengkapi dengan fasilitas sanitasi seperti air bersih dan tempat penampungan sampah, saluran pembuangan air limbah, jamban dan peturasan, fasilitas pengendalian tikus. Keputusan ini juga menjelaskan bahwa penjamah makanan wajib memiliki pengetahuan tentang higienis sanitasi makanan dan gizi serta menjaga kesehatan. Pengetahuan mengenai hygienis sanitasi dan gizi diperoleh melalui kursus.

Tidak hanya itu, dalam Kepmenkes tersebut juga mencantumkan pembinaan dan pengawasan seperti tertera pada pasal 15 sampai 19. Di dalam pasal tersebut menyebutkan pembinaan dan pengawasan makanan jajanan dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan dilakukan pendataan terhadap sentra pedagang makanan dan jajanan serta sarana penjaja. Terhadap sentra penjaja makanan jajanan dapat di berikan tanda telah terdaftar atau stiker telah didaftar. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota secara berkala menyampaikan laporan pelaksanaan pembinaan dan pengawasan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota secara berjenjang.

Macan Kertas

Jika mengacu pada regulasi yang sedemikian rinci ini, sejatinya sangat cukup untuk melindungi kesehatan masyarakat konsumen. Celakanya, apa yang terjadi di lapangan tidak demikian. Kerap dijumpai pedagang yang berjualan makanan sambil merokok, tidak memakai celemek dan tutup kepala, mencuci piring dengan satu ember, memegang jajanan dengan tangan langsung. Boleh jadi, regulasi hanya sebagai macan diatas kertas, jika tanpa sosialisasi dan penindakan yang lebih tegas.

Tak berlebihan jika lantas konsumen dirugikan akibat rendahnya tingkat higienitas jajanan. Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Badan POM. Dalam penelitian yang mengambil sampel jajanan di 30 Kota Indonesia dengan melibatkan 886 Sekolah Dasar (SD), menemukan bahwa 35 persen makanan jajanan tidak memenuh syarat. Bahkan Tim Ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), memaparkan beberapa zat berbahaya yang terkandung dalam jajanan anak sekolah. Zat-zat dimaksud seperti; formalin sebesar 27.3 persen methanol yellow (10,2%), rhodamin (10.9%) dan boraks hingga 56,7 persen.
A
ngka ini sangat mengejutkan betapa berisikonya jika anak-anak mengonsumsi jajanan tersebut. 

Menyalahkan anak membeli atau pedagang kecil jelas bukan tindakan bijaksana. Idealnya ada edukasi secara berkelanjutan kepada anak sebagai konsumen maupun pedagang (produsen) tentang pentingnya jajanan sehat dan higienis. Penting juga ada akses pengaduan bagi konsumen (anak maupun orang tua) untuk mendapatkan informasi tentang jajanan sehat.

Rosita Eva