Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) no. 64/ 2013 mengenai Syarat dan Tata Cara Penerapan Sistem Pertanian Organik akan mulai diberlakukan bulan Mei 2014 ini. Dengan sistem ini, produk hasil pertanian organik memiliki standar yang jelas, pakem, jika akan memperoleh sertifikasi organik.
Jadi, dalam ketentuan ini, jika ada seorang petani beralih ke sistem pertanian organik, maka harus ada jarak atau transisi dari konvensional ke lahan organik, sekian tahun. Kemudian, benih yang digunakan tidak boleh benih rekayasa genetik, tidak menggunakan pupuk kimia, dan tidak menggunakan pestisida kimia.
Sebenarnya, jika petani menerapkan sistem pertanian organik, biaya pupuk kimia dan pestisida otomatis bisa berkurang drastis. Hanya diperlukan ‘investasi’ awal dimana ada masa transisi, hasil pertanian akan drop dulu karena produktivitas menurun, hama menyerang. Ini saja bagi petani kecil jika akan beralih ke pertanian organik akan kelimpungan. Untung ada beberapa koperasi, maupun LSM pendamping petani yang bisa memberikan ‘pinjaman’ awal bagi petani, sehingga cash untuk kebutuhan sehari-hari terpenuhi saat panen anjlok.
Nah, yang semakin bikin kelimpungan jika sudah beralih ke pertanian organik, maka petani kecil ini tidak bisa sembarangan mengklaim bahwa produknya organik. Sertifikasi organik sangat mahal. Sertifikasi ini harus dilakukan oleh pihak ketiga yang telah diakreditasi oleh KAN (Komite Akreditasi Nasional). Jadi personil, sistem, dan laboratorium lembaga yang melakukan sertifikasi sudah harus terakreditasi. Mahalnya ini bisa mencapai puluhan juta. Darimana biaya ini bisa didapatkan petani?
Ketentuan wajibnya pemakaian sertifikasi dan penggunaan Logo Organik ini dengan jelas tercantum didalam Permentan 64/2013 tersebut. Ketentuan inilah yang digugat, karena tidak berpihak terhadap petani kecil.
Padahal di dunia internasional sendiri, ada sistem yang disebut Penjaminan Berbasis Komunitas (PBK) atau Parcipatory Guanrantee System (PGS). Sistem ini tidak diakui didalam Permentan, semata hanya sertifikasi oleh pihak ketiga saja. PBK mengandalkan komunitas yang terpercaya untuk melakukan pengawasan dan pengendalian mutu terhadap sistem pertanian organik yang diterapkan. PBK tentu berada dibawah pengawasan Dinas terkait didaerah masing-masing, dan memiliki sistem akuntabilitasnya sendiri.
Yang perlu diingat oleh Menteri Pertanian, pak Suswono, berdasarkan data BPS 2013, ada sekitar 14,25 juta Rumah Tangga (RT) petani gurem yang hanya memiliki lahan kurang dari 2 ha. Selama ini kemiskinan sudah sangat menjerat petani. Jika dilihat kepedesaan, masih banyak petani yang rumahnya bahkan masih beralaskan tanah. Aduh, sebelum melihat dengan mata kepala sendiri, tadinya saya gak percaya di Indonesia masih ada rumah yang beralaskan tanah. Tetapi setelah melihat sendiri dan ternyata masih buanyakk, semakin menyadari betapa dalamnya kesenjangan kesejahteraan di Indonesia.
Padahal dengan sistem pertanian yang menghasilkan produk pertanian organik ini, petani bisa mendapatkan harga yang sangat bagus, disamping bisa mengesampingkan biaya pestisida dan pupuk kimia yang sangat mahal.
Jadi ingat presentasi seorang Doktor dari Undip mengenai dampak pestisida terhadap petani Brebes. Penyakit degeneratif (kanker, stroke) menerpa petani, IQ anak-anak turun, penyakit gondongan menimpa lebih dari 90% siswa SD. Bahkan satu desa di Batu, anak-anaknya terkena dampak cacat, terkebelakang mental, akibat penggunaan pestisida yang massif. Yang saya lihat juga di presentasi tersebut adalah, rumah-rumah petani yang teramat sederhana, berdinding bambu dan beralaskan tanah, sementara biaya yang dikeluarkan untuk membeli pestisida mencapai puluhan milyar setiap tahun.
Jadi, sistem pertanian organik merupakan salah satu cara untuk merubah nasib petani, meningkatkan taraf kesehatannya dan kesejahteraan petani. Jadi mohon agar pak Suswono sebagai otoritas yang menanda tangani Permentan ini mau merevisi (sebelum lengser, hehe) dan memasukkan PBK ke dalam legalitas produk Organik ke pasar. Berpihaklah pada petani kecil pak, kelompok yang termasuk dhuafa ini!
Jakarta, 1 April 2014
Ilyani S. Andang
0 Comments on "Penjaminan Berbasis Komunitas (PBK) Pangan Organik; Harga Terjangkau bagi Konsumen & Kesinambungan Petani Kecil"