Biasanya layanan konsumen dari suatu produk atau layanan jasa, disediakan melalui jalur khusus oleh pihak perusahaan. Konsumen yang ingin komplain tentang produk atau layanan tersebut bisa menghubungi alamat kontak yang disediakan si perusahaan. Tapi kini, dengan adanya media sosial, komplain bisa terjadi di sana dan bisa dilakukan kapan saja. Tidak jarang perusahaan memiliki akun di media sosial, tetapi tidak ada administrator yang mengendalikan akun tersebut. Komplain konsumen bukannya terselesaikan, malah bisa jadi meluas karena dialog di media sosial – seperti diskusi di dinding Facebook atau lewat linimasa Twitter – bisa terpantau publik, sehingga pasti berpengaruh terhadap citra si perusahaan.
Munculnya teknologi web 2.0 telah melahirkan revolusi di bidang internet. Semula informasi dari website berjalan searah, tapi sekarang semua orang bisa menjadi kreator konten di internet dengan berkembangnya layanan seperti blog dan situs jaringan sosial. Majalah Information Week (09/2007) menjelaskan “Web 2.0 is all the Web sites out there that get their value from the actions of users”. Jadi inti dari sebuah web 2.0 adalah keterlibatan user dan kecanggihan web tersebut dalam kolaborasi, interaksi dan melayani user.
Implikasi dari Web 2.0 adalah lahirnya Social Media atau Media Sosial yang kini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perkembangan teknologi internet. Beragam aplikasi internet berbasiskan media sosial kian marak dan mampu menyihir para pengguna internet di seluruh dunia. Dengan media sosial, setiap individu dapat saling berbagi cerita dan informasi dengan menggabungkan teknologi berupa tulisan, gambar, video maupun audio.
Jika dulu suatu produk informasi hanya bisa dipublikasikan oleh produsen saja, maka kini setiap individu bisa mempublikasikan informasinya sendiri atau dikenal dengan istilah User Generated Content (UCG). Setiap individu juga bisa langsung memberikan tanggapan atau komentar atas informasi yang dia peroleh dari media sosial. Hal ini membuat interaksi sosial antara satu individu dengan individu lain menjadi lebih cepat dan juga lebih murah.
Sosial media sejatinya adalah sebuah bentuk budaya yang dinamakan dengan budaya partisipasi. Tanpa adanya partisipasi dari pengguna, sebuah situs jejaring social belum pantas disebut sebagai social media walaupun situs tersebut dilengkapi fasilitas user generated content / consumer generated media. Mengapa demikian? Karena social media sangat menekankan pada aspek conversation, yang akan menentukan tinggi atau rendahnya budaya partisipasi yang terbentuk dalam social media tersebut. Blog, Social Networking, Social Blog, Forum, Micro-Blogging, apapun bentuknya apabila tidak memiliki budaya partisipasi yang memadai maka, social media tersebut akan menemui kegagalan.
Menurut data Markplus Insight penggunaan Internet di Indonesia sudah mencapai 55 juta orang dan 87 persen digunakan untuk chatting, Facebook, twitter, dan game.
Fenomena Social media secara fundamental mengubah cara perusahaan berkomunikasi. Maraknya Facebook, Twitter, Plurk, blog, wiki, youtube dan lainnya memaksa perusahaan meningkatkan cara komunikasi yang semula satu arah dan dua arah menjadi segala arah. Di tengah maraknya fenomena itu, praktisi Public Relation masa kini harus menghadapi publisher baru. Mereka adalah para blogger, para facebookers, para plukers serta pemilik akun di Web 2.0 lainnya. Mereka adalah para konsumen. Internet memang telah mengubah posisi konsumen di mata perusahaan.
Di era Internet Web 2.0, konsumen melemparkan kekecewaan dengan menulis blog atau mem-posting-nya di berbagai milis serta social networking. Internet membuka banyak kanal untuk memprotes produsen. Di era ini, konsumen bebas menyampaikan pendapat dan melakukan percakapan secara horisontal satu sama lain di dunia maya, yang dikenal dengan era Web 2.0.
Namun sayangnya, Profesional PR masih lamban mengadaptasi perubahan konsumen di era digital ini, terutama yang didorong maraknya Web 2.0, para praktisi PR di Indonesia masih berkutat pada sebuah strategi PR yang menempatkan middle man, yakni para jurnalis, sebagai penyampai pesan. Padahal, dengan memanfaatkan web 2.0 untuk mencapai lebih jauh, lebih efektif dan tentunya juga lebih efesien dari segi biaya. Jadi, public relation bukan lagi sekadar mengelola jurnalis, tetapi juga mengelola konsumen yang mampu menjadi publisher di dunia maya. Posisi konsumen kini sudah naik pangkat. Mereka tidak lagi sekadar konsumen, tapi juga publisher dan influencer.
Untuk mengadaptasi perubahan konsumen di era social media. Sudah seharusnya bagi Praktisi PR lebih kreatif untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak yang merugikan perusahaan. Lalu apa yang sebaiknya harus dilakukan seorang PR?
Jika sebelumnya para humas lebih banyak bersentuhan dengan media (melalui strategi Media Relations), dengan pemerintah (melalui Goverment Relations) dan sedikit bersentuhan dengan konsumen melalui Marketing PR, maka kini mereka harus bersentuhan langsung dengan publik dan konsumen di dunia maya.
Konsumen yang bergabung di social media tidak butuh bahasa yang manis dan formal ala siaran pers. Yang mereka butuhkan adalah juru bicara perusahaan yang mengerti kebutuhan mereka dan sekaligus merespon keluhan mereka secepat mungkin. Konsumen juga butuh seorang praktisi PR yang bisa berinteraksi langsung dengan mereka dan melakukan percakapan. Tentu saja, ini bukan pekerjaan mudah. Apalagi praktisi PR itu wajib “berbicara” sesuai brand personality yang diwakilinya.
Jadi, PR bukan lagi sekadar mengelola jurnalis, tetapi juga mengelola konsumen yang mampu menjadi publisher di dunia maya. Praktisi PR pada akhirnya harus update dengan teknologi terbaru. Mereka harus terus mengikuti perkembangan teknologi. Bila sekarang sedang tren Twitter, maka mereka harus terjun ke dalamnya biar mengerti bagaimana sebenarnya Twitter itu. Apa yang bisa dilakukan, aplikasi apa saja yang ada di Twitter yang bisa mendukung pekerjaan mereka.
Selain itu, Praktisi PR juga wajib adaptif terhadap perkembangan media social seperti Facebook, twitter dan media social lainnya diantaranya memahami apa beda Profile Page, Fans Page, Groups, dan Causes di Facebook, termasuk memantau perkembangan yang sangat pesat. Fans Page Facebook misalnya, terus menerus mengalami perubahan dan perbaikan yang bermanfaat untuk komunikasi merek. Pada saat yang sama praktisi PR juga perlu memahami aplikasi Facebook yang juga berkembang sangat cepat.
Dengan memahami teknologi ini, praktisi PR diharapkan memahami implikasi aplikasi baru tersebut terhadap perusahaan dan merek yang ditangani. Selain itu, pemahaman user behavior lokal mutlak diperlukan untuk membangun strategi Public Relation di dunia maya dengan target konsumen Indonesia. Dengan demikian, secara praktis hal tersebut membuat kerja praktisi PR masa kini mengalami perubahan yang sangat luar biasa. PR masa kini bukan hanya harus cerdas berhubungan dengan influencer, termasuk media, tetapi juga dituntut untuk fasih berhubungan langsung dengan konsumen. Dan kita semua paham, karakter konsumen maya sudah pasti tidak sama dengan karakter jurnalis, media atau industri media, atau karakter medium dan influencer lain.
0 Comments on "Menyikapi Perubahan Konsumen di Era Media Sosial"