“Kajian Kebijakan, Regulasi & Praktik Bisnis Inklusi”.YLKI bersama Peneliti / Konsultan Independen, Pemerintah Pusat dan Daerah, Organisasi Petani (OP), Asosiasi Bisnis, Industri Retail, Pemasok dan/ Outlet, LSM Pendamping, UMKM, dan CSR Staf.
Dunia mengakui bahwa pembangunan yang berlangsung selama ini tidak berkelanjutan. Oleh karena itu ke depan harus menuju pembangunan yang lebih berkelanjutan. Indonesia pun telah menyadari hal ini. Dalam mengembangkan rencana pembangunannya didasarkan pada prinsip-prinsip pro job, pro poor, pro growth dan pro environment.
Seiring dengan itu, tentunya semua pemangku kepentingan dalam pembangunan ini memiliki perannya masing-masing. Tidak terkecuali kalangan bisnis. Bisnis yang berkelanjutan (sustainable business) merupakan suatu keniscayaan. Bisnis yang berkelanjutan memperhatikan tidak hanya dampak terhadap lingkungan, tetapi juga dampak terhadap masyarakat dan ekonomi.
Kepedulian sektor bisnis terhadap lingkungan sudah sering kita dengar. Regulasi yang mengatur dan memaksa sektor bisnis untuk peduli pada lingkungan pun tidak sedikit. Bagaimana dengan kepedulian sosial, kepedulian terhadap masyarakat berpenghasilan rendah, produsen dan penyedia produk skala kecil?
Bisnis inklusi melibatkan masyarakat kecil melalui berbagai cara, mulai dari mengambil produk dari para produsen dan petani kecil, tanpa harus melalui supplier besar, memperkerjakan masyarakat sekitar lokasi usaha, hingga menghasilkan produk-produk yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Bisnis inklusi tidak sekedar memikirkan keuntungan yang besar, tetapi berupaya mencari inistiatif-inisitatif yang dapat memberikan manfaat tidak hanya bagi perusahaan, tetapi juga bagi masyarakat kecil. Di satu sisi bisnis dapat membangun pasar dan memperkuat rantai pasoknya, di sisi lain masyarakat memperoleh produk yang dibutuhkan dengan harga terjangkau, meningkatkan produktivitas, yang pada gilirannya akan memperoleh penghasilan yang berkelanjutan.
Belakangan muncul tren konsumen untuk berkonsumsi secara berkelanjutan. Konsumen ini mengutamakan nilai-nilai yang bersifat ‘inklusi’ terhadap suatu produk, apakah produk tersebut ramah lingkungan, peduli pada masyarakat nirdaya, petani miskin atau usaha kecil menengah (UMKM). Meski masih kecil, tren ini akan tumbuh terus, dan semakin menguat seiring dengan meningkatnya daya beli konsumen, dan semakin besarnya konsumen kelas menengah-atas.
Salah satu tempat dimana konsumen bertemu secara masif dengan aneka produk adalah di ritel modern. Tren konsumen yang membeli produk di ritel modern makin tinggi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ritel modern juga sangat tinggi di Indonesia. Beberapa ritel modern sudah cukup baik melakukan pemberdayaan terhadap pemasok barangnya. Seperti melakukan kerjasama untuk memasukkan hasil karya kelompok masyarakat rentan ke ritelnya, berusaha membina petani jeruk dan petani sayur mayur, agar bisa memasok ke ritelnya, dan seterusnya.
Oleh karena itu, untuk mendukung dan memberikan rekomendasi pada berbagai pihak dalam upaya meningkatkan penghidupan para petani kecil di Indonesia melalui pengembangan bisnis yang inklusi maka perlu dilakukan sebuah kajian. Kajian ini bertujuan untuk menemukan apakah ada kebijakan atau regulasi, baik langsung maupun tidak langsung, yang mendorong penerapan prinsip-prinsip bisnis inklusi, serta praktik-praktik yang sudah berlangsung di Indonesia. Untuk mendapatkan masukan / tanggapan terkait kajian tersebut maka YLKI menyelenggarakan Diskusi Terbatas membahas hasil sementara kajian kebijakan dan praktik Bisnis Inklusi.
0 Comments on "Kajian Kebijakan, Regulasi & Praktik Bisnis Inklusi"