Lazimnya dikenal terminologi politik dagang sapi, untuk menyebut para politikus yang gemar melakukan transaksi politik. Tapi kini, saat konsumen menjerit dan bahkan pedagang pun meradang karena harga daging sapi melangit, hal ini tak terlepas dari politik daging sapi. Harga daging sapi biasanya hanya Rp. 80-90 ribu per kilogram, tapi kini konsumen pun harus merogoh kocek lebih dalam, karena harganya tak kurang dari Rp.120-130 ribu per kilogram, bahkan ada yang mencapai Rp. 140 ribu per kilogram.

Ini semua bukan semata adanya mafia, tapi lebih karena politik daging sapi yang masih sangat rapuh. Pertama, politik daging sapi saat ini terlalu berpihak pada kepentingan pasar. Dengan praktek semacam ini, praktis negara tak akan mampu mengintervensi jika terjadi gangguan pasokan, dan atau gejolak harga. Paling banter, Bulog hanya mampu melakukan operasi pasar daging yang terbukti tidak ampuh. Urusan operasi pasar itu untuk mengatasi problem di hilir, sedangkan sumbu persoalan daging sapi adalah di hulunya. Kondisi saat ini lebih disebabkan oleh sangat liberalistisnya hal politik pengelolaan daging sapi.

Kedua, politik daging sapi menjadi sangat rapuh karena ternyata konsumsi daging sapi nasional sangat bergantung pada impor. Bahkan, pada era Presiden SBY (2009), impor daging sapi mencapai 40 persen lebih dari kebutuhan nasional. Saat ini kondisinya sudah menurun impornya, tapi masih sangat signifikan. Terbukti, dari 3,65 juta ekor kebutuhan sapi nasional, 750 ribu ekor di antaranya harus didatangkan dari Negeri Kangguru.

Upaya untuk mengurangi ketergantungan impor, sejak era Presiden SBY, sejatinya sudah dilakukan, yakni pemerintah kala itu berkomitmen mengurangi impor sapi bakalan 10 persen per tahun. Termasuk pada era Presiden Jokowi, komitmen itu ada. Bahkan Presiden Jokowi lebih berani, karena dari kuota impor 750 ribu ekor sapi, disunatnya hanya menjadi 400 ribu ekor. Berkurang 350 ribu ekor sapi dari kuota impor. Tapi ironisnya (bahkan tragis), niat baik ini ternyata tidak dibarengi dengan empowering peternak lokal, agar mampu berproduksi lebih banyak, dan mampu menggantikan peran daging sapi impor. Ya, pantaslah, ketika kuota impor disunat, produksi sapi lokal belum mampu menggantikannya, sehingga pastilah terjadi distorsi pasar, pasokan menyusut, dan harga melambung.

Secara normatif, gonjang-ganjingnya harga daging sapi juga merupakan tamparan keras bagi Presiden Jokowi, yang beberapa bulan lalu mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpangan Barang Kebutuhan Pokok dan Penting. Mandat dari Perpres Nomor 71/2015 adalah pemerintah mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting dengan jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau (Pasal 25).

Dalam “kondisi tertentu”, pemerintah, via Kementerian Perdagangan, akan mengeluarkan tiga jurus, yakni menetapkan harga khusus dan harga eceran tertinggi, serta memberikan subsidi. Dan, terhadap fenomena melambungnya harga daging sapi tersebut, Perpres Nomor 71/2015 terbukti telah mati muda. Kemendag pun hanya membisu, terpaku. Kenapa? Ya, karena perpres hanya mampu “menusuk” dengan intervensi harga. Bagaimana akan mampu melakukan intervensi harga kalau dari sisi hulu bermasalah dan tidak dikuasai negara?

Sumber: Kliping Media YLKI

Koran Tempo, 13 Agustus 2015 (Penulis: Tulus Abadi SH).