Sejatinya, bukanlah hal yang ahistoris jika Presiden Joko Widodo berkeinginan Indonesia segera memiliki kereta cepat. Sebab, sektor perkeretaapian di Indonesia seharusnya sudah semaju (setara) negara-negara yang kini memiliki kereta cepat itu. Jepang dengan shinkansen-nya, Prancis dan negeri Eropa Barat dengan kereta Maglev-nya, dan cina, yang kini juga sukses berselancar kereta cepatnya. Kenapa? Sejarah sektor perkeretaapian di Indonesia amat panjang. Sejak Belanda meninggalkan Indonesia, panjang rel yang dibangun tidak kurang dari 6.110 kilometer, yang tersebar di seantero Nusantara, khususnya Jawa, Sumatera, Sulawesi, bahkan Kalimantan.
Namun, sejak era kemerdekaan, era Orde Baru, dan bahkan era reformasi, sektor perkeretaapian tak beranjak, mandek. Bahkan jumlah panjang relnya pun menyusut, tinggal 4.000-an kilometer saja. Pengelolaan secara keseluruhan pun tampak sempoyongan. Saat ini saja sektor perkeretaapian mulai menggeliat, terutama dari sisi pelayanan bagi penggunanya.
Meskipun demikian, jika Presiden Jokowi tetap berkeras membangun kereta api cepat, terdapat beberapa kelemahan mendasar. Pasalnya, Indonesia nihil pengalaman, bahkan mengelola kereta api konvensional pun tampak belum optimal. Kisah sukses yang kini dicapai, terutama setelah ditukangi Ignasius Jonan, belum mampu menjadi standar yang meyakinkan. Fokus dulu pada pengelolaan keretaapi yang saat ini ada, jangan keburu nggege mongso.
Presiden Jokowi boleh sesumbar bahwa pembangunan kereta cepat yang menelan biaya hingga Rp.60 triliun tidak akan membebani APBN. Oh ya, oke, tetapi jika dana segunung itu didapat dari utang, apa hebatnya? Belum lagi jika nanti pengelolaan kereta api cepat itu gagal, apakah pihak swasta mau menanggungnya? Ah, dana APBN juga yang pada akhirnya tergerus.
Apalah artinya kecepatan dua jam Jakarta-Bandung dengan kereta api cepat jika untuk menuju stasiun kereta api waktu tempuhnya lebih dari dua jam, karena disandera oleh kemacetan? Akan lebih bermartabat jika kemacetan di Jakarta (dan Bandung) dibereskan dulu. Lagi pula, dari sisi manajemen transportasi, pembangunan kereta cepat berkarakter kanibalistik dengan sektor transportasi lainnya. Kini kereta Argo Gede mampu menempuh tiga jam Jakarta-Bandung. Kalau kereta api cepat hanya mampu dua jam, selisih waktu tempuh yang hanya satu jam itu tidak setara dengan biaya yang dikeluarkan. Dan, jalan tol Cipularang pun bisa jadi kolaps karena sebagian penggunanya beralih ke kereta api cepat.
Semangat untuk mempunyai kereta cepat agar kita setara dengan negara maju patut diapresiasi. Itu hal yang progresif, bahkan revolusioner, mungkin. Tapi, bertindaklah dengan kebijakan transportasi yang rasional, terukur, membumi, dan tidak diskriminatif. Problematika transportasi kita bukan ada atau tidaknya kereta cepat. Itu sangat tidak mendesak bagi kebutuhan transportasi saat ini. Belum lagi kalau hal itu hanya akan menciptakan bom waktu atas potensi kegagalan dalam pengelolaannya. Urgensi saat ini adalah bagaimana pemerintah mewujudkan jaringan dan sistem transportasi yang efisien, terjangkau, dan terintegrasi bagi warganya. Pembangunan kereta cepat hanyalah wujud konkret dari politik mercusuar dan/atau memanjakan kepentingan investor belaka.
Sumber: Kliping Media YLKI
Koran Tempo, 2 September 2015 (Penulis: Tulus Abadi).
1 Comment on "Politik Mercusuar Kereta Api Cepat"
Budi Sasmiko
November 6, 2015Proyek kereta api cepat jakarta-bandung belum urgent sekali karena :
1. Karena sekarang banyak alternatif warga yang suka menggunakan tol cipularang
2. Kereta api cepat jakarta-bandung penumpangnya tidak signifikan karena kebutuhannya tidak terlalu mendesak
untuk itu yang lebih penting sekarang fokus di angkutan massal di jakarta yang sdh sangat padat dan macet, maka sebaiknya anggaran proyek kereta cepat itu dialihkan untuk pemerintah DKi memperbaiki infrastruktur kereta api massal untuk daerah penyangga seperti jabodetabek, maka peningkatan kapasitas layanan KRL jabodetabek dengan membuat jaringan KA terpadu, dengan membuat jalur kereta sejajar dengan jalan tol yang ada sekarang sehingga kemacetan dan kepadatan kendaraan di jakarta bernagsur-angsur bisa dikurangi terkait pindahnya orang bawa mobil pribadi menjadi pengguna moda kereta api