Awal bulan mei, bertempat di Pantai Samas Yogyakarta, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencanangkan rencana pemerintah untuk membangun pembangkit listrik 35 ribu Mega Watt (MW), selama lima tahun ke depan. Presiden Jokowi mengklaim, ini rencana pembangunan pembangkit listrik yang paling besar di Indonesia, karena sejak Indonesia merdeka sampai sekarang (70 tahun) hanya mampu membangun pembangkit listrik 50 ribu MW saja!

Dalam banyak hal, rencana pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan sektor ketenagalistrikan dengan membangun pembangkit 35 ribu MW, patut di apresiasi. Setidaknya ada dua argumen bahwa rencana itu memang merupakan on the track policy. Argumen pertama, saat ini kondisi ketenagalistrikan di Indonesia dalam kondisi (nyaris) kritis, setidaknya telah masuk zona “lampu kuning”. Bahkan di beberapa daerah sudah mengalami krisis listrik, seperti di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Pekan Baru, dan sebagian Kalimantan. Ini karena pasokan energi listrik yang dibangkitkan dari pembangkit PLN sudah minim. Banyak area pelayanan PLN yang sudah tidak mampu melakukan sambungan baru lagi, khususnya untuk sektor pelaku usaha. Bagaimana sektor ekonomi riil mau bertumbuh dengan cepat, mencapai 7-8 persen, jika energi listrik sebagai infrastruktur utama tidak ada? Energi listrik adalah prasyarat utama untuk menggerakkan sektor ekonomi riil.

Argumen kedua, ratio elektrifikasi di Indonesia masih sangat rendah, saat ini baru mencapai 82 persenan. Dan ini merupakan terendah di ASEAN. Rendahnya ratio elektrifikasi ini karena minimnya pembangunan pembangkit di seluruh Indonesia, apalagi daerah yang remote area. Berdasar pada dua hal itu saja, percepatan pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak.

TERANCAM MANGKRAK

Namun demikian, rencana ini juga harus disorot dengan serius, jika tidak ingin mengalami kegagalan dan menjadi “benalu baru” bagi managemen PT PLN, dan klimaksnya mengorbankan konsumen. Beberapa hal krusial berikut ini patut menjadi perhatian. Pertama; apakah rencana pembangunan pembangkit ini sejalan dengan kebijakan energi primer nasional? Membangun pembangkit secara teknis adalah gampang, tetapi pasokan energi primernya darimana? Mengingat, hingga detik ini, energi primer kita lebih banyak diekspor; seperti gas alam, atau bahkan batu bara. Dengan kata lain, rencana pembangunan pembangkit 35 ribu MW ini harus dibackup dengan review terhadap kebijakan energi primer terlebih dahulu. Energi primer seharusnya untuk kebutuhan dalam negeri (DMI / Domestic Market Obligation).

Presiden Jokowi harus berani melakukan stop impor gas alam dan juga batu bara, minimal moratorium, dan langsung didedikasikan untuk keperluan sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Jika hal ini tidak dilakukan, maka tak ada gunanya membangun pembangkit listrik 35 ribu MW. Dan justru akan menjadi ongkos kemahalan yang sangat tinggi, jika ujung-ujungnya pembangkit baru tersebut dipasok dengan bahan bakar minyak (fuel).

Kedua, darimana pemerintah akan mendatangkan mesin pembangkit tersebut? Dari China? Pengalaman pada proyek pembangkit listrik 10.000 MW jilid 1 dan jilid 2 (yang sebagiannya mengkrak) patut diwaspadai. Faktanya, mesin pembangkit dari China, yang levelnya memang KW 2, terbukti cepat rusak. Pemerintah tidak bisa mengejar percepatan pembangunan pembangkit, tetapi dengan menggunakan mesin pembangkit dengan kualitas abal-abal. Terkait hal ini, managemen PT PLN telah memprotes Pemerintah China melalui Dubesnya di Indonesia, tetapi dijawab dengan enteng oleh dubes, bahwa karena anggarannya sedikit, maka kualitas mesin yang didapat juga rendah. Jika hal itu diulang lagi pada pembangunan pembangkit 35 ribu MW, maka akan menghadapi persoalan laten yang sangat serius. Jadi pemerintah seharusnya tidak mencari atau membeli mesin pembangkit dengan kualitas abal-abal, sebagaimana pada pembangunan pembangkit 10.000 MW jilid 1 dan jilid 2.

Ketiga, seharusnya, basis pembangunan pembangkit 35 ribu MW adalah dengan energi baru dan terbaharukan (renewable energy). Misalnya, geothermal (panas bumi). Faktanya, kendati perut bumi kita mengantongi 40 persen cadangan panas bumi dunia, tetapi hingga detik ini kurang dari 4 (empat) persen saja yang telah dimanfaatkan. Namun, dari sisi regulasi, bukan hal gampang untuk mengeksplorasi panas bumi sebagai energi primer. Mayoritas lokasi sumber panas bumi di area hutan lindung, yang oleh regulasi UU Kehutanan, tidak boleh ada aktivitas pertambangan. Dan karena itulah rencana membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), akhirnya banyak yang mangkrak. Dengan demikian, kalau ingin mengoptimalkan energi panas bumi, maka, harus melakukan harmonisasi regulasi terlebih dahulu. Kasus PLTP begudul di Bali, yang tidak berfungsi, juga harus menjadi pelajaran berharga.

Dan keempat, kita sepakat Presiden Jokowi mendorong para pemimpin daerah untuk mempercepat pembebasan lahan untuk area pembangunan pembangkit. Hal inilah yang menjadi kendala utama. Namun, jangan dilupakan juga upaya penolakan oleh (oknum) masyarakat yang areanya akan dijadikan lokasi pembangunan. Kasus PLTU Batang, yang hingga detik ini masih mangkrak karena ditolak sebagian masyarakat, harus menjadi contoh konkrit. Bisakah pemerintah menumpas makelar-makelar tanah yang hobby menggoreng harga tanah yang akan dibebaskan?

Intinya, kebijakan membangun pembangkit baru bagi sektor ketenagalistrikan di Indonesia adalah kebutuhan mutlat. Fenomena krisis listrik di berbagai daerah, harus segera diselamatkan. Ratio elektrifikasi harus segera di tingkatkan, energi listrik adalah kebutuhan dasar warga, dan wajib disediakan oleh negara. Target pertumbuhan ekonomi 7-8 persen, akan menjadi mimpi di siang bolong jika energi listriknya endut-endutan. Sukses tidaknya membangun pembangkit baru, apalagi dengan skala yang sangat besar, tidak serta merta faktor teknis dan finansial belaka. Aspek kebijakan energi primer, dan juga aspek sosiologis, akan menjadi faktor penentu untuk mewujudkan pembangkit baru yang efisien dan berkelanjutan.

Penulis : Tulus Abadi SH (Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia)

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen YLKI)