Acap kita dengar adanya kasus dugaan malpraktik dokter terhadap pasien, yang merenggut korban fatal atau bahkan meninggal dunia. Termasuk tiga orang pasien yang meninggal di sebuah rumah sakit di Lampung, baru-baru ini. Kasus demi kasus itu tidak bisa serta merta karena faktor personal profesi dokter, atau bahkan pihak rumah sakit saja. Hal ini harus dilihat secara komprehensif, termasuk dari sistem pendidikan kedokteran yang akhir-akhir mengalami “booming”. Sebagai bukti, kini kita telah memiliki 75 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia. Bahkan, pada tahun ajaran 2016, akan dibuka lagi 8 fakultas kedokteran. Tetapi ironisnya, dari 75 fakultas kedokteran (FK) tersebut patut diduga kualitasnya masih meragukan, karena terbukti yang terakreditasi A hanya 14 FK (19%), terakreditasi B sebanyak 31 FK (41%) dan bahkan 30 FK dengan akreditasi C (40%).
Dalam pandangan YLKI, seharusnya kalau mau konsisten dengan mutu pendidikan kedokteran dan lulusannya, maka fakultas kedokteran yg akreditasi C sebaiknya ditingkatkan terlebih dahulu (menjadi akreditasi B). Atau jika FK dengan akreditasi C tersebut tidak mampu meningkatkan performanya, maka bukan hal yang mustahil untuk dieliminasi saja, sehingga tidak berpotensi merugikan mahasiswa dan masyarakat.
Dengan kondisi yang demikian, bisa jadi hal ini menabrak Pasal 4 UU 20/2013 tentang Pendidikan Dokter yang menyebutkan bahwa Pendidikan kedokteran bertujuan antara lain menghasilkan dokter dan dokter gigi yang berbudi luhur, bermartabat, bermutu, berkompeten, berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi, profesional, berorientasi pada keselamatan pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistis, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan berjiwa sosial yang tinggi. Atau bahkan, dalam konteks perlindungan konsumen, hal ini juga patut diduga melanggar UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang menjual barang/jasa dibawah standar, sehingga sangat mungkin fakultas kedokteran dengan akreditasi C adalah jasa yang dibawah standar itu.
Karut marut pendidikan kedokteran tersebut pada akhirnya akan berdampak dan merugikan calon mahasiswa kedokteran dan berimbas pula pada rendahnya kualitas dokter. Dan endingnya akan berdampak pada perlindungan konsumen jasa kesehatan dan mengancam keselamatan pasien (patient safety). Argumen Indonesia saat ini kekurangan profesi dokter juga tidak tepat, karena rasio kecukupan dokter di Indonesia adalah 40:100.000. Sedangkan saat ini sudah mencapai 40,5:100.000 (baca: sudah terlewati!). Yang menjadi persoalan justru soal distribusinya karena lebih dari 50 persen dokter berada di Pulau Jawa dan Bali. Ini yang secara urgen harus dilakukan pembenahan oleh Kemenkes/KKI, agar distribusi dokter merata, khususnya dokter spesialis. Bukan terus menerus membuka fakultas kedokteran tanpa standar dan akreditasi yang jelas;
Masyarakat dan calon mahasiswa, sebaiknya berhati-hati dalam memilih fakultas kedokteran yang ada, agar tidak terkecoh seperti kata pepatah “membeli kucing dalam karung”, terjebak pada fakultas kedokteran yang kualitasnya meragukan (akreditasi C). Apalagi, menurut aturan Kemenpan, alumni dari perguruan tinggi dengan akreditasi C, apa pun fakultasnya, tidak bisa dìterima sebagai PNS dan atau pegawai BUMN. Seharusnya pemerintah membuka informasi tersebut kepada publik, FK mana saja yang status akreditasinya C.
0 Comments on "Siaran Pers YLKI: Masyarakat Agar Berhati-hati Memilih Fakultas Kedokteran"