Managemen Bandara Soetta kini sedang menerapkan uji coba penerapan sistem FIFO (First In First Out) untuk antrian taksi, diterminal 1A. Berdasar pengamatan di lapangan dan hasil survei YLKI, didapatkan beberapa persoalan, yakni:

1. Sistem FIFO hanya terjadi di pemberangkatan saja, sedangkan di pengendapan prakteknya masih pakai sistem lama, karena adanya kolusi petugas keamanan di pengendapan dengan pihak taksi tertentu. Akibatnya, sistem FIFO menjadi tidak efektif karena justru menguntungkan operator taksi yang dominan;

2. Adanya “taksi kapal keruk” sangat merugikan operator taksi lain. Taksi kapal keruk adalah free shuttle bus yang mengangkut antrian penumpang di bandara menuju buffer stock di Rawabokor. Ini dilakukan oleh taksi Blue Bird dan Ekspers. Dari situ konsumen diangkut dengan taksi non stiker bandara. Ini merugikan operator taksi lain, dan berpotensi merugikan konsumen;

Sedangkan berdasar survei onboard yang dilakukan YLKI selama seminggu (7-14 Maret 2016) dengan sebanyak 168 perjalanan ditemukan beberapa kasus, yakni:

1. Ditemukan pengemudi taksi yang menerapkan tarif tambahan (surcharge) lebih tinggi dari ketentuan yakni Rp 35.000. Padahal tarif tambahan tertinggi hanya Rp 10.500.

2. Adanya sopir taksi yang meminta tambahan sebesar Rp 10.000-30.000 jika konsumen meminta struk pembayaran dengan kwitansi. Padahal seharusnya struk pembayan bisa diprint.

3. Waktu tunggu yang masih sangat lama. Terdapat 41,7% armada taksi yang waktu tunggunya mencapai 10-40 menit. Hal ini disebabkan selain karena kemacetan juga adanya taksi stiker bandara tapi ngompreng dulu mencari penumpang diluar bandara.

4. Hal yang sepertinya sepele tetapi sangat menimbulkan rasa nyaman bagi penumpangnya, yakni mengucapkan salam. Ironisnya 55,7 persen pengemudi taksi tidak mengucapkan salam pada penumpangnya.

5. Terkait kepatuhan terhadap rambu-rambu lalu lintas, terdapat 12 persen pengemudi yang ngebut diatas 80 km/jam dan bermain handphone saat mengemudi.

6. Ditemukan adanya sopir taksi yang minta tarif borongan yakni sebesar Rp 300.000, padahal jaraknya hanya dari Bandara Soetta ke Mal Taman Anggrek.

Baik berdasar survei onboard dan opini konsumen, mengacu pada Standar Pelayanan Minimal, secara akumulatif pembobotan pelanggaran masing-masing operator taksi adalah sbb:

1. Blue Bird (12, 618),
2. Borobudur (14, 852),
3. Diamond (23,993),
4. Ekspress (15,142),
5. Gading (31,714),
6. Gamya (19,710),
7. Primajasa (19,956),
8. Taxiku (16,302).

Beberapa kesimpulan dan rekomendasi YLKI adalah sbb :

1. Sistem FIFO tidak melanggar hak konsumen taksi bandara, jika standar pelayanan masing-masing operator taksi sudah mencapai derajad yang sama. Konsumen tetap bisa menggunakan hak memilih armada taksi tertentu.

2. Sistem FIFO seharusnya diterapkan sejak di pengendapan, agar tidak terjadi kongkalikong antara petugas keamanan dengan operator taksi tertentu. Gunakan sistem IT untuk mendukung hal ini.

3. Taksi kapal keruk harus dihapuskan. Selain tidak adil bagi operator, taksi kapal keruk juga berpotensi merugikan keamanan konsumen karena konsumen diangkut dengan taksi non stiker bandara.

4. Managemen Bandara Soetta harus berani memberikan sanksi tegas bagi operator taksi yang tidak bisa memenuhi standar pelayanan minimal yang ditetapkan.

5.  Guna meningkatkan standar pelayanan, managemen operator taksi harus fokus memperbaiki sisi sumber daya pengemudi, khususnya dalam hal rekruitmen dan sistem pendapatan pengemudi.