Di balik peristiwa kultural yang sangat positif ini, ironisnya justru ada beberapa bahaya laten yang terus mengintai para pemudik di setiap hajatan mudik Lebaran tergelar. Ini bertumpu pada belum optimalnya moda transportasi yang digunakan, khususnya transportasi darat. 

Hingar bingar puncak prosesi mudik lebaran 2015 telah purna. Tak kurang dari 20 jutaan pemudik telah kembali ke kota, bergelut dengan rutinitas mereka. Tetapi, di tengah kebahagiaan, duka masih menyelimuti prosesi mudik. Adalah kenyataan bahwa korban meninggal akibat kecelakaan dalam perjalanan mudik H-7 sampai H+7 tahun 2015 ini mencapai angka 628 korban.

1 003

Ya, dibalik peristiwa kultural yang sangat positif ini, ironisnya justru ada beberapa bahaya laten yang terus mengintai para pemudik di setiap hajatan mudik Lebaran tergelar. Ini bertumpu pada belum optimalnya moda transportasi yang digunakan, khususnya transportasi darat. Ada beberapa catatan mudik Lebaran 2015, yang sejatinya merupakan pengulangan tahun-tahun sebelumnya.

Pertama, rendahnya aspek keselamatan. Disaat mudik nyaris semua mengedepankan paradigma yang penting terangkut, sedangkan aspek keselamatan ditaruh paling belakang. Padahal dalam bertransportasi paradigma keselamatan tak boleh ada tawar menawar, dengan alasan apapun dan kondisi apapun.

Kedua, aspek pengawasan keselamatan yang turun, rendah, terutama dari regulator dan juga penegak hukum (polisi). Ada semacam fenomena mentoleransi terhadap pelanggaran demi alasan kemanusiaan: kasihan! Petugas yang minim pun menjadi alasan untuk menurunkan gradasi pengawasan di semua lini, bahkan termasuk di sektor penerbangan, penyebarangan, dan kelautan.

Ketiga, menurunnya aspek kenyamanan. Jangan mimpi mendapatkan kenyamanan saat bertransportasi di musim mudik Lebaran, sekalipun pengguna pesawat. Bandara Soekarno Hatta yang sudah over capacity, semakin penuh sesak oleh padatnya jadwal penerbangan, apalagi jika disertai delay.

Keempat, terkait sisi kenyamanan, mayoritas moda transportasi melakukan pelanggaran terhadap Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Padahal semua moda transportasi, termasuk infrastruktur pendukungnya (bandara, pelabuhan, stasiun) wajib mengimplementasikan SPM. Ironisnya regulator seolah membiarkan pelanggaran SPM dimaksud, tanpa kompensasi apapun bagi penggunanya.

Kelima, pelanggaran tarif batas. Potensi pelanggaran tarif batas atas (celling price) sangat besar, khususnya oleh bus umum, bahkan tarif pesawat. Ironisnya, ini terjadi saban tahun saat musim mudik Lebaran. Dari sisi ekonomi, saat peak sesson, sangat rasional jika semua operator transportasi umum menerapkan tarif batas atas. Tetapi di sisi lain, potensi terjadinya pelanggaran tarif batas atas tersebut juga sangat besar. Apalagi pengawasan oleh regulator tidak maksimal, bahkan lemah.

Keenam, buruknya infrastruktur jalan. Kualitas ruas jalan utama memang sudah cukup prima, tetapi jalan alternatif masih belum meyakinkan. Apalagi tidak didukung infrastruktur yang lain, seperti SPBU dan lampu penerangan jalan umum. Akibatnya, banyak pemudik yang malas menggunakan jalur alternatif.

Ketujuh, over kapasitas penumpang, khususnya untuk angkutan penyeberangan (ASDP), terutama untuk angkutan perintis. Minimnya jumlah armada, di satu sisi dan di sisi yang lain demand yang membludag, sering mengabaikan aspek keselamatan.

Kedelapan, dominannya penggunaan sepeda motor. Demi pertimbangan ekonomis, pemudik masih mengandalkan sepeda motor untuk moda transportasi mudik. Setiap gelaran mudik Lebaran, sepeda motor terus menjadi alternatif transportasi. Alih-alih berkurang, jumlah pemudik menggunakan sepeda motor terus meningkat setiap tahunnya. Sejatinya, ini hal yang sangat membahayakan, karena sepeda motor bukan untuk perjalanan jarak jauh, apalagi dengan jumlah muatan yang tidak rasional. Terbukti, jumlah korban laka lantas dengan korban jiwa sepeda motor masih sangat signifikan, lebih dari 500-an orang. Kendati angka korban mengalami penurunan, toh korban jiwa akibat laka lantas selama mudik masih merupakan jumlah yang mengerikan. Tak ada jalan lain, selain harus menekan sekeras mungkin pemudik sepeda motor, agar mau bermigrasi ke angkutan umum masal. Pemerintah bertanggungjawab untuk menyediakan angkutan masal secara gratis, bagi pemudik sepeda motor, demi keselamatan.

Kesembilan; hantu kemacetan. Benar, pemerintah telah merampungkan ruas jalan tol Cipali sepanjang 116,7 km. Jalan tol ini digadang-gadang mampu mengurangi volume lalu-lintas di jalur Pantura hingga 50 persen. Namun praktik yang terjadi hanya memindahkan kemacetan belaka, apalagi jika tidak dibarengi dengan managemen rekayasa lalu-lintas yang cerdas. Para pemudik disandera kemacetan di tol Pejagan-Brebes, jawa tengah, khususnya Brebes sampai Tegal, dan bahkan Brebes-Prupug ke arah Purwokerto.

Kesepuluh, angkutan mudik gratis. Fenomena angkutan mudik gratis seolah merupakan oase bagi sebagian warga pemudik. Mereka bisa menggunakan angkutan secara nyaman, aman dan dimanjakan pula oleh penyelenggara. Selain gratis, pemudik biasanya diberikan bonus berupa topi, kaos, snack bahkan uang saku oleh penyelenggara. Namun, harap diingat, mudik gratis bukan tanpa persoalan. Tahun lalu (2014), ratusan pemudik terlantar karena armada bus tidak datang. Bagi operator angkutan umum reguler, mudik gratis adalah praktik ampuh untuk menggerus penumpang umum bus reguler. Pantas, selama beberapa tahun terakhir penumpang dan pendapatan pengelola bus reguler, karena penumpangnya disedot oleh pengguna sepeda motor, dan pemudik gratis. Pemerintah harus mengatur keberadaan penyelenggaraan mudik gratis.

SIMPULAN

Mudik ke kampung halaman, adalah hak warga, yang secara sosio kultural terbilang sangat positif. Bahkan secara ekonomis juga demikian. Namun, faktanya, prosesi mudik juga mengantongi beberapa persoalan krusial yang jika tidak dikelola secara serius justru akan melahirkan multi distorsi bahkan bencana bagi pemudik.

Tingginya laka lantas, dengan jumlah ratusan korban meninggal dunia, adalah fenomena yang seharusnya tidak boleh terjadi lagi. Pemerintah punya tanggung jawab besar untuk mendorong dan menciptakan rasa aman, nyaman dan selamat bagi pemudik dengan cara menyediakan angkutan umum yang manusiawi. Para pemudik pun juga harus bertindak rasional dan cerdas, dengan tetap mengutamakan keselamatan. Bagaimanapun keselamatan bertransportasi adalah diatas segalanya. Tak boileh sedikitpun dikompromikan, apalagi digadaikan.

(Penulis : Tulus Abadi)