Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan jaminan bahwa setiap konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa. Konsumen juga berhak didengar keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan dan advokasi dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen secara patut. Sebaliknya, produsen (pelaku usaha) dan pemerintah wajib menedengarkan, merespon, dan menindaklanjuti keluhan atau pengaduan konsumen (Pasal 4, UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen). Tetapi alih alih mendapatkan jaminan keamanan dan kenyamanan, konsumen acapkali dihadapkan pada persoalan-persoalan mendasar yang mengesampingkan hak-haknya. Setidaknya ini terlihat dari data aduan yang masuk ke YLKI. Sepanjang 2016, YLKI menerima 781 aduan tertulis dan 1038 aduan via telepon.
Tak beda jauh dari tahun sebelumnya, dari jumlah aduan tersebut Jasa Keuangan, Property dan E-commerce masih mendominasi pengaduan hingga mencapai 56 persen. Jika dielaborasi lebih dalam industri jasa keuangan yang diadukan konsumen meliputi 3 (tiga) komoditas utama, yakni perbankan (160 aduan), leasing/pembiayaan (57) dan asuransi (32). Tingginya aduan jasa perbankan masih didominasi masalah klasik, diantaranya; masalah gagal bayar, pembobolan kartu ATM / kartu kredit, perhitungan bunga dan layanan lain yang disediakan perbankan.
Permasalahan yang terus berulang – dari tahun-tahun sebelumnya – patut diduga kuat sektor perbankan belum memiliki improvisasi dan itikad baik dalam memperbaiki core bisnisnya. Sebagai contoh, maraknya kasus gagal bayar menunjukkan adanya keitdakcermatan pihak bank dalam melakukan analisis kredit, serta edukasi untuk menumbuhkan budaya literasi konsumen perbankan.
Misteri Biaya Tarik
Sedangkan kasus leasing/ pembiayaan juga mengalami peningkatan. Jika tahun 2015 masih di kisaran 6,4 persen dari total aduan masuk ke YLKI, pada 2016 meningkat menjadi 7,3 persen. Celakanya, kasus leasing tidak hanya didominasi masalah-masalah lama seperi tindakan dan perilaku debt collector yang menjurus premanisme, atau tunggakan angsuran, aduan kasus leasing 2016 juga diramaikan dengan masalah biaya tarik. Ibarat jatuh terhimpit tangga, konsumen yang menunggak dan ditarik oleh pihak leasing atau debt collector dibebankan biaya tarik.
Pelaku usaha memanfaatkan celah hukum terkait industri leasing seperti, UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Peraturan OJK No. 29/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan yang tidak mengatur secara jelas dan rinci perihal pedoman penagihan dan instrumen biaya tarik yang selama ini menjadi fenomena di masyarakat.
Secara faktual biaya tarik yang dibebankan kepada konsumen tidak memiliki formula perhitungan yang jelas dan bahkan jumlahnya tidak masuk di akal. Beban biaya tarik ini menjadi preseden buruk bagi financial services yang tak kunjung berpihak kepada konsumen, dan luput dari pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator.
Lampu Kuning
Menduduki peringkat teratas aduan konsumen di YLKI dalam 5 tahun terakhir, menjadi bukti telanjang bahwa financial services sejauh ini belum consumer oriented. Kehadiran OJK yang digadang-gadang mampu mengurai benang kusut layanan jasa keuangan, nampaknya masih jauh panggang dari api dalam upaya melindungi kepentingan masyarakat konsumen.
Benar, tingginya kasus financial services tak lepas dari perkembangan sektor ekonomi yang dinamis dan tingkat kebutuhan masyarakat yang terus meningkat, namun hal ini tidak dapat menjadi pembenaran atas pelanggaran hak-hak masyarakat konsumen. Di beberapa negara, seperti Singapura dan Hongkong, jasa keuangan bahkan tidak masuk 10 (sepuluh) besar pengaduan. Padahal sudah jadi rahasia umum bahwa sistem pembayaran di kedua negara tersebut jauh lebih besar dan kompleks ketimbang Indonesia.
Sudah saatnya pemerintah mulai waspada dan bertindak tegas kepada para pelaku usaha yang menggunakan berbagai modus, mulai dari memanfaatkan kontrak baku (standard contract) hingga memanfaatkan celah hukum seperti modus biaya tarik yang merugikan konsumen secara massif dan terstruktur. Jika hal ini dibiarkan berlarut, bukan tidak mungkin semakin menimbulkan masalah di kemudian hari.
Selaku regulator, pemerintah dan OJK berkewajiban melindungi masyarakat konsumen melalui instumen peraturan yang berorientasi pada konsumen. Segera menerbitkan aturan terkait sistem eksekusi dan penarikan objek jaminan fidusia serta ketentuan perhitungan biaya tarik hingga pelaksanaan lelang kendaraan, adalah upaya dalam memberikan kepastian hukum konsumen. Sebagai lembaga yang salah satu fungsinya memberikan perlindungan konsumen jasa keuangan, OJK cukup kapabel. Maka, sudah seharusnya OJK lebih powerfull dalam memberikan perlindungan pada konsumen.
Konsumen Cerdas
Sepanjang terus terjadi kontak antara konsumen dengan pelaku usaha – sektor jasa keuangan, maka keluhan dan pengaduan konsumen tidak akan pernah berhenti. Bahkan jika tidak diantisipasi potensinya terus membesar, seiring dengan meningkatnya peran industri jasa keuangan yang kompleks dan kemudahan layanan beragam transaksi. Apalagi di era pasar bebas, dimana dimungkinkan layanan jasa dari berbagai negara bebas masuk ke Indonesia. Dengan kenyataan yang demikian, pelanggaran akan hak konsumen juga makin tinggi. Untuk menjembatani pengaduan konsumen, jelas tak akan mampu jika hanya bertumpu pada YLKI.
Cukup beruntung, saat ini telah lahir berbagai lembaga konsumen di daerah yang jumlahnya mencapai ratusan. Lembaga ini perlu diberdayakan untuk mendampingi konsumen, khususnya untuk kasus-kasus lokal. Selain itu, pada ranah sengketa konsumen, di berbagai kabupaten/kota di Indonesia telah muncul Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Di tingkat nasional, konsumen bisa menyalurkan permasalahannya melalui Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN). Sayangnya, lembaga ini masih asing dari telinga konsumen Indonesia.
Di satu sisi, acapkali kasus jasa keuangan muncul akibat kurangnya edukasi dan pemahaman konsumen. Butuh edukasi konsumen dalam hal product knowledge, serta ketegasan regulator dalam memberikan sanksi terhadap penyedia jasa keuangan yang terbukti menyalahi aturan dalam melakukan proses bisnisnya. Sebagai konsumen cerdas sektor jasa keungan, penting untuk diingatkan tentang hak-kewajibannya diantaranya:
- Mempelajari dan mereview seluruh kontrak perjanjian dengan pelaku usaha jasa keuangan (PUJK), baik kontrak pembiayaan, simpanan, maupun fasilitas alat pembayaran menggunakan kartu (APMK). Apabila dirasakan ada klausul perjanjian yang kurang adil dan berat sebelah maka konsumen wajib melaporkan kepada OJK;
- Bertanya kepada pegawai lembaga keuangan terkait profil, karakteristik dan risiko produk jasa keuangan yang hendak dikonsumsi dan merekam pernyataannya sebagai dokumen bukti apabila dibutuhkan suatu saat;
- Jangan mudah tergiur dengan keuntungan dari fasilitas pembiayaan dan fasilitas lain yang ditawarkan, fokuslah pada risiko yang mungkin timbul dikemudian hari;
- Jangan pernah memalsukan data dan informasi pribadi meskipun ditawari oleh tenaga pemasar lembaga keuangan terkait;
- Selalu berdiskusi dengan keluarga perihal produk keuangan yang akan dikonsumsi;
- Pahami mekanisme dan alur penyelesaian sengketa konsumen, mulai dari proses bipartite, tripartite hingga alur persidangan;
- Selalu beritikad baik dalam melakukan transaksi dengan PUJK dan konsekuensi terhadap hak dan kewajiban yang disepakati.
Mustafa Aqib Bintoro
0 Comments on "Lampu Kuning Financial Services"