Pada hari Rabu, 29 Maret 2017, bertempat di The Hotel 101 Yogyakarta Tugu, YLKI mengadakan Diskusi Publik dan Media Briefing dengan tema “Dampak Penggunaan Energi Bersih dan Inklusif terhadap Kesehatan Perempuan”. Nara sumber diskusi antara lain: Kadinkes Prov DIY, perwakilan Pertamina, Ketua LKY Yogyakarta, Ketua Yayasan Kesehatan Perempuan Jakarta, Ketua IESR Jakarta, dan sharing pengalaman dari Bali. Berikut ini intisari diskusi.

Indonesia termasuk salah satu negara penghasil jejak karbon tertinggi di dunia. Pemicu utama tingginya jejak karbon di Indonesia adalah karena dominannya penggunaan energi fosil, baik untuk transportasi, industri dan bahkan untuk domestik rumah tangga. Dampak terhadap tingginya penggunaan energi fosil (dengan hasil jejak karbon), bukan hanya pada sektor lingkungan global tetapi juga kesehatan manusia. Dan ibu rumah tangga/perempuan menjadi salah satu korban utama dari dampak tersebut.

Penggunaan bahan bakar padat untuk aktivitas masak-memasak menjadi kontributor utama penyebab kesehatan perempuan terancam. Data BPS 2015 menunjukkan bahwa penggunaan bahan bakar padat di rumah tangga di Indonesia masih sangat dominan, dengan konfigurasi penggunaan bahan bakar per desa/per kelurahan sbb: gas kota 88 kelurahan, gas elpiji 41.747 desa/kelurahan, minyak tanah 4.2778 desa, kayu bakar 35.831 desa. Sehingga saat ini masih 43 persen rumah tangga di Indonesia masih menggunakan bahan bakar padat terutama kayu bakar. Dan kecenderungan ke depan masyarakat perdesaan akan terus menggunakan bahan bakar bio massa tradisional (kayu, batubara, kotoran binatang, dll) tersebut.

Ternyata penggunaan kayu bakar masih sangat tinggi di seluruh Indonesia. Padahal kayu bakar adalah jenis bahan bakar padat yang sangat tidak ramah terhadap kesehatan dan lingkungan, karena menghasilkan gas karbon 88 ppm saat memasak, dan 4 ppm saat tidak memasak. Bandingkan dengan gas elpiji, yang hanya 3 ppm saat memasak dan 2 ppm saat tidak memasak. Yang juga sangat mengkhawatirkan adalah penggunaan minyak tanah yang ternyata masih tinggi. Padahal minyak tanah pun juga jenis bahan bakar yang tidak sehat untuk perempuan karena menghasilkan gas karbon yang tak kalah tingginya yakni 13 ppm saat memasak dan 2 ppm saat tidak memasak.

Menurut data WHO 2012, secara global terdapat 4,3 juta jiwa meninggal prematur oleh penyakit akibat polusi udara rumah tangga yang disebabkan penggunaan bahan bakar padat. Sedangkan di Indonesia, diprediksi 45.000 kematian prematur pada wanita dan anak-anak,  oleh penyakit akibat penggunaan bahan bakar padat tersebut.

Terkait hal itu, pemerintah harus sangat berhati-hati dalam rencananya akan mencabut subsidi untuk gas elpiji 3 kg pada awal 2018. Sebab jika subsidi dicabut maka harga gas elpiji 3 kg akan mahal harganya dan akhirnya masyarakat miskin akan bermigrasi ke kayu bakar lagi. Ini sangat membahayakan, baik dari sisi kesehatan, lingkungan dan juga daya beli. Sebab jika subsidi dicabut maka harga gas elpiji 3 kg bisa mencapai Rp 45.000 per tabung. Tentu hal ini sangat memberatkan dan bisa memukul daya beli.

Pemerintah harus memfasilitasi masyarakat untuk penggunaan energi bersih,  ramah terhadap kesehatan masyarakat dan harganya terjangkau.  Baik dalam skala besar, seperti mengoptimalkan eksplorasi panas bumi, solar cell, dan sumber energi lain di masyarakat yang sangat melimpah. Masyarakat juga bisa memanfaatkan sumber-sumber lokal yang sebenarnya banyak bahan bakunya, seperti sampah rumah tangga yang bisa menghasilkan biogas. Upaya masyarakat harus difasilitasi pemerintah, termasuk pemerintah daerah dengan skema kebijakan/regulasi dan skema finansial yang jelas.

Tanpa upaya pengembangan dan penggunaan energi bersih untuk keperluan rumah tangga maka ancaman kesehatan terhadap perempuan dan anak-anak akan makin meluas. Apalagi jika sumber energi mainstream seperti gas elpiji kian mahal harganya. Masyarakat akan berbondong-bondong menggunakan energi yang sangat korosif terhadap kesehatannya dan bahkan lingkungan.

Yogyakarta, 29 Maret 2017