Mudik Lebaran seolah menjadi mantra yang amat sakti. Begitu saktinya, masyarakat, sektor swasta, dan juga pemerintah seperti tersihir. Tak aneh jika secara psikologis-sosiologis, mudik Lebaran menjadi ritual yang tak terpisahkan dengan puasa Ramadan.

Dalam konteks manifestasi ritual itulah secara empiris akan banyak bersentuhan dengan berbagai sektor pelayanan publik. Semua lini pelayanan publik akan teruji keandalanya pada momen mudik Lebaran. Namun, pelayanan publik yang paling krusial pada arus mudik Lebaran adalah sektor transportasi, baik sektor darat, laut, penyeberangan, dan udara.

Sektor transportasi, khususnya yang dikelola BUMN, menjadi garda depan dalam setiap prosesi mudik Lebaran guna menciptakan kenyamanan, keamanan, dan kelancaran bagi pemudik.

Bagaimana potret masing-masing sektor transportasi tersebut? Sektor transportasi udara relatif tidak ada persoalan. Selain kapasitas yang cukup, juga sisi safety yang tak ada kompromi, bahkan performanya banyak meningkat.

Bahkan International Civil Aviation Organization (ICAO) telah meningkatkan peringkat keselamatan penerbangan Indonesia menjadi nomor 52 di dunia. Cukup meyakinkan. Wajar jika beberapa maskapai di Indonesia sudah bisa terbang kembali ke Eropa.

Guna menyongsong mudik Lebaran 2018, pemerintah juga akan menambah 14.000 extra flight di seluruh Indonesia. Hal ini sudah seharusnya dilakukan karena rasio pertumbuhan pemudik di sektor udara adalah tertinggi, sekitar 20%. Seiring dengan makin banyaknya akses penerbangan dengan tarif terjangkau, kian banyak pemudik menjadikan transportasi udara sebagai pilihan.

Namun, terkait dengan extra flight itu, sisi On Time Performance harus benar-benar diperhatikan.

Penambahan extra flight di tengah kapasitas bandara yang terbatas bisa menyebabkan padatnya trafik di bandara, khususnya dari sisi udara. Sebagai contoh di Bandara Soekarno Hatta, konsumen sering menjadi korban delay berjam-jam hanya karena padatnya trafik di Bandara Soetta.

Betapa tidak, jika dalam satu jam terdapat 850 pergerakan pesawat. Upaya membangun runway ketiga di Bandara Soekarno Hatta juga menjadi keniscayaan. Apalagi jika jumlah pergerakan pesawat akan ditingkatkan menjadi 114 pergerakan per jamnya.

Tantangan Terberat

Ada pun tantangan terberat pada prosesi mudik Lebaran adalah di sektor transportasi darat dan juga penyeberangan, khususnya pelayaran rakyat. Pelayaran rakyat kondisinya sangat mengkhawatirkan. Bukan saja dari sisi keandalan/kelayakannya, tetapi kapasitasnya.

Sering karena alasan kebutuhan mendesak, kapal-kapal rakyat yang sangat diragukan kelaikannya itu mengangkut penumpang melebihi kapasitas. Akibatnya, kerap terjadi malapetaka. Oleh karena itu Dinas Perhubungan di masing-masing daerah harus bekerja keras untuk melakukan pengawasan pelayaran rakyat ini.

Selama ini, pengawasan dan standardisasi pelayanan, keamanan dan keselamatan pada pelayaran rakyat nyaris nihil. Padahal sektor inilah yang dijadikan tulang punggung masyarakat untuk mobilitas, karena tidak ada pilihan lain.

Tantangan terberat di sektor darat adalah sisi safety, terutama dari sisi penggunaan sepeda motor untuk mudik. Dari sisi safety, sepeda motor adalah moda transportasi yang paling rendah untuk bertransportasi, apalagi untuk perjalanan jarak jauh. Terbukti, 76% korban fatal lakalantas pada setiap mudik adalah pengguna sepeda motor. Sungguh tragis.

Upaya pemerintah untuk mendorong agar masyarakat tidak mudik dengan sepeda motor sejatinya sudah cukup serius. Selain dengan sosialisasi, pemberian sanksi, juga memfasilitasi pemudik motor dengan mudik gratis, baik dengan bus umum, kapal laut, kereta api, bahkan truk.

BUMN yang bergerak di sektor pelayanan publik pun telah memfasilitasi mudik gratis bagi pemilik sepeda motor, mulai dari pelayanan Angkasa Pura di bandara, kapal Pelni, dan Kereta Api Indonesia. Tujuannya agar mereka tidak menggunakan motor. Namun tentu saja ini tak cukup signifikan untuk menekan jumlah pemudik sepeda motor.

Pada konteks kemudahan akses dan juga ekonomi, sepeda motor sebagai sarana mudik bisa dipahami. Tak ada yang lebih ekonomis daripada sepeda motor.

Hal krusial lain di sektor darat adalah isu kemacetan panjang (gridlock), yang lazimnya terjadi di jalan tol. Memang, adanya sinergi yang kuat dari pemerintah, sandera kemacetan parah di jalan tol pada mudik Lebaran 2017 relatif bisa diminimalisasi. Ini hal positif yang harus diapresiasi.

Tersambungnya tol Trans-Jawa dan fasilitasnya, terutama yang dikelola BUMN, sepanjang sekitar 1.000 km dan menghubungkan lintas Merak hingga Surabaya, bisa dimaknai sebagai keberhasilan mengatasi potensi gridlock itu. Kemacetan yang mengunci menjadi momok menakutkan saat mudik Lebaran. Bahkan tiga tahun lalu, fenomena Brexit (‘Brebes Exit’), menjadi tragedi kemacetan yang paling mengerikan. Dalam konteks itu, tersambungnya tol Trans-Jawa bisa menjadi juru selamat untuk memangkas potensi gridlock, khususnya di jalan tol.

Namun, hal itu bisa dimaknai dengan perspektif berbeda, yakni mendorong eforia masyarakat untuk mudik melewati jalan tol. Potensi bangkitan lalu lintasnya bisa lebih besar daripada mudik Lebaran tahun lalu. Tol Trans-Jawa justru bisa memicu kemacetan baru yang lebih parah.

Harus diwaspadai potensi terjadinya gridlock di tol Trans-Jawa, khususnya di titik-titik persimpangan yang rawan macet seperti exit Pejagan, Brebes.

Jangan lupa, manajemen traffic di rest area jalan tol harus lebih kreatif dan cerdas sebab faktanya rest area secara empiris justru memicu kemacetan parah. Sejatinya prosesi mudik Lebaran adalah sebuah batu uji yang paling konkrit dan komprehensif. Pertama, batu uji terhadap keandalan infrastruktur publik yang tersedia. Bukan saja jalan tol dan atau sarana angkutan umum, tetapi juga keandalan infrastruktur lain seperti kesiapan distribusi dan inovasi layanan oleh Pertamina, sektor telekomunikasi, sektor ketenagalistrikan, bahkan sektor pariwisata.

Semua sektor tersebut akan mengalami heavy traffic yang sangat dramatis. Oleh karenanya, kualitas dan keandalan infrastruktur public services tersebut akan teruji oleh fenomena mudik Lebaran. Saat Lebaran, kemacetan juga terjadi di sektor telekomunikasi. Akibatnya, pesan pendek tidak terkirim, terkirim tapi delay, atau bahkan gagal sambung.

Kedua, manajemen mudik Lebaran juga menjadi batu uji bagi pejabat publik, apakah melakukan sinergi atau tidak. Minimnya koordinasi dan sinergi bisa menjadi petaka bagi pemudik, minimal petaka kemacetan.

Ketiga, mudik Lebaran juga menjadi batu uji bagi masyarakat konsumen. Bagaimana kepatuhan konsumen terhadap regulasi yang ada. Pasalnya, berbagai kejadian, insiden, bahkan petaka saat mudik Lebaran bermula dari ketidakpatuhan/pelanggaran terhadap peraturan.

Pada akhirnya, menjadi tugas dan kewajiban negara untuk menyediakan public services yang andal selama mudik Lebaran. Menjadi hak masyarakat, sebagai pemudik, untuk mendapatkan pelayanan publik yang aman, nyaman, dan tarif terjangkau agar selamat sampai tujuan.

Mari kita wujudkan mudik Lebaran yang manusiawi.

*)Artikel dimuat di koran Bisnis Indonesia edisi Rabu 30 Mei 2018

*)Juga dapat dibaca di sini

TULUS ABADI
Ketua YLKI