Wabah virus corona atau Covid-19, belum terlihat kapan akan berakhir. Bahkan yang terjadi korban positif bahkan meninggal dunia, makin eskalatif, data terakhir mencapai 2.700-an orang positif Covid-19. Bukan hanya di area Jakarta dan Bodetabek saja, tetapi telah melingkupi skala nasional, 34 provinsi.

Namun ironisnya pemerintah tampak gamang, ambigu, bahkan inkonsisten dalam upaya pengendalian Covid-19. Hal ini setidaknya tecermin dalam menyikapi fenomena mudik Lebaran, Mei 2020.  Antar institusi pemerintah tidak nyambung bahkan kontradiksi, sekalipun antar institusi pemerintah pusat (kementerian), apalagi antar pemerintah pusat dengan daerah. Pernyataan pejabat pemerintah pun saling bertabrakan. Contoh, pernyataan blunder Fadjroel Rachman sebagai jubir Presiden, yang membolehkan mudik Lebaran; yang kemudian dianulir oleh Pratikno, Mensesneg. Atau bahkan Wapres Ma’ruf Amin menyatakan mudik haram, tetapi Presiden Jokowi menyatakan boleh.

Hal yang sama juga terjadi secara formal antar Kementerian. Contoh, Kementerian PAN RB mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 41/2020, yang intinya melarang ASN (Aparatur Sipil Negara) melakukan perjalanan mudik, bahkan keluar kota; selama wabah Covid-19 masih berlangsung.

Sementara itu, Kementerian Koordinator Investasi dan Maritim, masih kekeuh ingin mendorong mudik Lebaran. Setidaknya, itulah hal yang tecermin dalam public hearing Pengendalian Mudik 2020, pada Senin 06/04. Hadir dalam public hearing itu, selain pejabat publik yang berkompeten di bidangnya (seperti Dirjen, Kepala Badan, Direktur, dll), juga beberapa pengamat/pakar, seperti: Imam Prasodjo, Hikmahanto Juwono, Alvien Lie, Prof. Erani, Agus Pambagio, Tommy Suryo Pratomo, dan saya sendiri, mewakili YLKI. Desain dan ideologi  public hearing itu adalah bahwa masyarakat tetap bisa melakukan mudik Lebaran, tetapi dengan instrumen pengendalian ketat. Selain harus mengantongi izin dan persyaratan administrasi yang ketat, moda transportasi yang digunakan akan diperketat pula. Misalnya, kapasitas penumpang moda transportasi hanya memuat 50 persen saja. Ini dengan maksud agar penumpang tetap bisa melakukan phisical distancing. Demikian juga kendaraan pribadi keterisiannya juga dibatasi, misalnya maksimal penumpangnya 4 (empat) orang. Bahkan sepeda motor hanya boleh untuk satu orang saja, tidak boleh dua orang, apalagi lebih.

Terkait strategi pengendalian mudik yang digagas Kementerian Kordinator Manivest, ada beberapa catatan kritis, yakni:

  1. Orientasi pemerintah masih terlalu dominan kepentingan ekonominya. Hal ini tidak sejalan dengan protokol kesehatan sebagai upaya untuk mengendalikan virus corona. Jika pemerintah memaksakan mudik Lebaran, sekalipun dengan istilah pengendalian ketat, maka hal itu akan berisiko tinggi. Yakni, epicentrum virus corona akan menyebar dan atau berpindah ke daerah. Dampaknya akan menginfeksi petani, dan endingnya bisa mengancam pasokan logistik. Siapa yang akan memasok logistik, jika para petani tumbang, karena terinfeksi/tertular virus corona oleh para pemudik? Selain itu, masifnya infeksi virus ke daerah akan membuat sistem pelayanan RS di daerah jebol, mengingat kondisi infrastruktur dan jumlah dokter dan tenaga kesehatan yang sangat terbatas.
  2. Pengawasan di lapangan akan sulit, bahkan praktiknya nyaris tidak bisa diimplementasikan. Lazimnya mudik dalam sikon yang cenderung crowded, sehingga sangat berat untuk mengontrol protokol kesehatan yang diterapkan. Misalnya mobil pribadi maksimal harus berpenumpang 4 orang. Atau sepeda motor hanya boleh satu orang. Mudik itu acara keluarga, tak mungkin dipisahkan dengan pembatasan kapasitas penumpang kendaraan pribadi. Yang terjadi, di lapangan polisi akan kompromistis, alias membiarkan pemudik motor berpenumpang dua orang atau lebih untuk jalan terus ke kampung halamannya. Tidak tega jika suruh balik lagi ke Jakarta. Juga untuk roda empat sekalipun.

Oleh karena itu, demi menekan persebaran virus corona ke daerah, maka pemerintah harus bersikap tegas untuk melarang aktivitas mudik Lebaran. Pemerintah jangan bersikap ambigu, dan inkonsisten. Sikap semacam ini justru menjadi pelecut untuk makin masifnya persebaran virus corona ke daerah.

Pemerintah pusat seharusnya sejalan dengan kebijakan kepala daerah yang memberlakukan larangan mudik dari zona merah memasuki daerahnya. Jika akses mudik tetap dibuka maka akan berisiko bagi pemudik untuk ditolak di daerahnya, dan akan kesulitan akses untuk balik ke Jakarta lagi. Rasanya juga tidak mungkin pemudik dalam jumlah ribuan harus diisolasi selama 14 hari di rumahnya dan atau tempat tertentu yang ditunjuk.

Oleh karena itu pemerintah harus secara cepat dan akurat/tepat sasaran untuk memberikan insentif dan kompensasi pada warga yang tidak mudik, baik untuk keperluan logistik dan atau biaya tempat tinggal (sewa kontrakan), khususnya untuk kelompok menengah bawah, pekerja harian. Mereka memaksakan mudik karena di Jakarta sudah ada tidak ada pekerjaan tetap/no income.

Dan bagi kelompok masyarakat yang ngotot/nekat mudik, maka harus diberikan disinsentif. Misalnya untuk pengguna ranmor pribadi dinaikkan harga BBM-nya dan atau tarif tolnya. Untuk pengguna angkutan umum, bisa dimahalkan tarif tiketnya, misalnya menjadi dua kali lipat dibanding harga normal.

Pemerintah harus confidence untuk memberlakukan larangan mudik, demi safety dan perlindungan terhadap warga secara keseluruhan. Pemerintah jangan disandera dengan persoalan ekonomi jangka pendek. Jika virus corona sampai menyebar ke daerah-daerah secara masif, ongkos sosial ekonominya akan jauh lebih besar daripada pemerintah memberlakukan larangan mudik. **

Demikian. Terima kasih.

Wassalam,

Tulus Abadi,
Ketua Pengurus Harian YLKI

Siaran Pers 9 (Covid-19) Jakarta; 7 April 2020