Beberapa hari lalu Menteri Perhubungan berwacana untuk menerapkan sistem dual tarif pada Commuter Line, KRL di Jabodetabek. Dual tarif itu didasarkan pada status sosial ekonomi penumpang: mampu tidak mampu, kaya non kaya.

Terhadap wacana tersebut, YLKI berpendapat, sebaiknya Menteri Perhubungan membatalkan wacana kebijakan untuk menerapkan dual tarif di dalam tarif Commuter Line/KRL, dengan alasan:

  1. Secara paradigmatis hal tersebut bermasalah, khususnya dari sisi politik managemen transportasi publik. Subsidi utk transportasi masal hrs dilakukan, dan merupakan insentif untuk para pengguna kendaraan pribadi yang migrasi ke KRL;
  2. Sistem dual tarif tidak lazim dalam sistem transportasi masal bersubsidi manapun di dunia;
  3. Sistem tersebut secara operasional sulit diimplementasikan dan sangat sulit menentukan mana konsumen mampu/kaya, dan mana konsumen tidak mampu;
  4. Sistem dual tarif di lapangan akan menciptakan ketidakadilan baru dan bahkan berpotensi menimbulkan chaos dalam pelayanan;
  5. Sistem dual tarif jika diterapkan merupakan suatu kemunduran (setback) yang cukup serius.

Oleh karena itu, hal yg paling rasional adalah: mereview tarif eksisting KRL Jabodetabek. Survei YLKI menunjukkan ada ruang bagi pemerintah utk menaikkan tarif KRL Jabodetabek sebesar Rp 2.000 untuk 25 km pertama. Atau, jika tidak naik tarif, pemerintah musti menggelontorkan dana PSO pada managemen KCI, karena sesungguhnya tanggungjawab menyediakan transportasi publik adalah domainnya regulator.

Dalam pada itu, hal yang juga sangat urgent adalah mendorong managemen PT. KCI sebagai operator Commuter line, agar berupaya keras untuk meningkatkan pendapatan dari non tarif (non fare box revenue), seperti naming right pada stasiun, iklan komersial, sewa tenan, dll. Jadi tidak hanya mengandalkan pada tarif revenue saja. *

Demikian,

Tulus Abadi,
Ketua Pengurus Harian YLKI