Telaah - Form Pengaduan

Ketika terjadi permasalahan dalam proses transaksi antara konsumen dengan pelaku usaha, konsumen memiliki hak untuk mengadu dan didengar keluhannya. Secara normatif, hak ini termaktub dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal 4 butir (d) UUPK menyebutkan bahwa konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Lebih lanjut konsumen juga berhak mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut (butir (e)). Sebaliknya, bagi pelaku usaha dan pemerintah wajib mendengarkan, merespon, dan menindaklanjuti keluhan dan atau pengaduan konsumen.

Namun, secara faktual hak konsumen tersebut belum dilaksanakan secara utuh seperti mandat UUPK, baik oleh konsumen, produsen maupun pemerintah. Alih alih mendapatkan jaminan advokasi, sebaliknya konsumen kerap mendapatkan perlakukan hukum yang timpang ketika harus berhadapan dengan pelaku usaha maupun pembuat kebijakan. Sebagai contoh ialah munculnya kasus gugatan balik terhadap konsumen rumah sakit yang berusaha mendapatkan hak-haknya. Jelas ini akan berpengaruh secara psikologis pada konsumen lain untuk berjuang mendapatkan hak-haknya.

Disisi lain, jumlah konsumen yang berani mengadu (komplain) masih sangat rendah dibandingkan dengan konsumen yang terenggut haknya. Lebih banyak konsumen yang tidak menggunakan hak untuk mengadu ketika menjumpai satu kasus. Sikap pasrah dan mengalah muncul sebagai karakteristik mayoritas konsumen Indonesia. Keberanian konsumen untuk mengadu juga terkendala akses dan minimnya tindaklanjut dari produsen. Konsumen belum yakin jika pengaduannya akan ditindaklanjuti dan diselesaikan dengan layak.

Meski demikian, keberanian konsumen untuk mengadu patut diapresiasi. Grafiknya terus meningkat. Baik yang langsung mengadu ke produsen/pemerintah, ke media cetak/online, maupun mengadu ke lembaga-lembaga konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional) atau Badan Penyelesai Sengketa Konsumen (BPSK) yang keberadaanya telah ada di banyak kabupaten/kota.

Langkah konsumen merebut haknya tak berhenti hanya sampai disini; secara berkelompok maupun individu konsumen mulai berani melakukan gugatan hukum. Tak sedikit kasus yang mampu dimenangkan konsumen. Gugatan class action konsumen terhadap Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Garut tahun 2013, misalnya, berhasil dimenangkan konsumen melalui putusan PN Garut Nomor 12/PDT.G/2013/PN.GRT Tahun 2013. Atau gugatan konsumen terhadap operator parkir atas hilangnya kendaraan di area parkir. Masih banyak contoh-contoh gugatan hukum yang dimenangkan oleh konsumen ketika berperkara merebut haknya.

Pengaduan di YLKI

Dalam kontek menjembatani konsumen dan produsen, juga pemerintah, kehadiran lembaga-lembaga konsumen menjadi penting. Aspek inilah yang coba diperankan oleh YLKI dalam 43 tahun keberadaanya. Bahkan ada kecenderungan peningkatan jumlah dan ragam pengaduan.

Pada 2013 misalnya, YLKI menerima pengaduan dari konsumen sebanyak 934 kasus. Jumlah ini meningkat menjadi 1192 kasus (2014) dan 1030 kasus pada 2015. Pengaduan masuk melalui surat, datang langsung, dan telepon/faksimil. Sementara pengaduan melalui email, jejaring sosial facebook, twitter maupun website YLKI belum masuk dalam hitungan.

Peningkatan jumlah pengaduan yang masuk YLKI dapat dimaknai dua hal; pertama bahwa complain habbit konsumen Indonesia mulai terbangun. Keberanian konsumen untuk merebut hak dan mengadukan permasalahannya mulai tumbuh. Ini ditunjang dengan akses pengaduan yang semakin beragam. Kedua, meningkatnya jumlah pengaduan juga dapat dimaknai terjadi kemerosotan kualitas layanan pelaku usaha kepada konsumen. Sikap kritis konsumen yang kemudian mengadukan permasalahannya.

Dari 1030 kasus yang diadukan ke YLKI tahun 2015, tersebar ke dalam 28 komoditas dengan pengaduan tertinggi terjadi pada bulan Oktober dengan 174 (16,89%) kasus diadukan. Sedangkan pengaduan terendah terjadi pada bulan Desember dengan 25 kasus.

Jika dilihat dari jenis komoditas yang diadukan, perbankan menduduki peringkat teratas dengan 17,09 persen. Posisi ini tidak bergeser dengan tahun 2014. Peringkat kedua ialah kasus perumahan (15,53%) yang menggeser kasus telekomunikasi. Adapun sepuluh besar komoditas yang paling banyak diadukan ke YLKI seperti dalam tabel.

10 Besar Pengaduan

Dalam dua tahun terakhir, permasalahan perbankan menduduki peringkat teratas komoditas yang paling banyak diadukan. Jika dielaborasi, kasus yang diadukan juga memiliki kemiripan, tentang kartu kredit. Namun, kasus pembobolan kartu kredit lebih mendominasi di 2015 dengan 27 kasus. Disusul masalah bunga dan denda kartu kredit (13 kasus), sistem transaksi dan gagal bayar masing-masing dengan 6 kasus. Selain kartu kredit, tabungan dan pinjaman juga menjadi kasus yang cukup banyak diadukan konsumen ke YLKI. Bunga cicilan menjadi kasus yang sering diadukan konsumen (10 kasus) menyusul gagal bayar (8 kasus) dan pendebetan sepihak oleh bank dengan 7 kasus diadukan.

Peringkat kedua kasus terbanyak diadukan ke YLKI, mengalami pergeseran. Tahun 2014 dihuni oleh komoditas komunikasi dan multimedia, sedangkan 2015 kasus perumahan lebih banyak. Kasus perumahan didominasi oleh aduan tentang pembangunan bermasalah (24% – 37 kasus), meliputi kualitas bangunan, spesifikasi tidak sesuai dan sebagainya. Disusul masalah pengelolaan perumahan oleh developer sebanyak 24 kasus (16%) dan keterlambatan serah terima sertifikat dari pengembang (developer) kepada konsumen 13 persen (20 kasus).

Pengaduan telekomunikasi menjadi tiga tertingi kasus yang banyak diadukan di 2015. Bergeser dari tahun sebelumnya yang didominasi oleh fenomena pepenipuan via sms, tahun ini aduan lebih didominasi oleh penerapan tarif yang tidak transparan 15 kasus (18%), disusul masalah jaringan, penyedotan pulsa, dan konten premium yang masing masing ada 11 kasus (13%). Sedangkan ketidakpuasan terhadap layanan dari customer service juga diadukan dengan 7 kasus (8%).

Kasus Baru

Perkembangan teknologi nampaknya membawa perubahan dalam hal terjadinya transaksi antara konsumen dan pelaku usaha. Ini nampak dari semakin maraknya berdagang dan berbelanja secara online (e-commerce). Hanya dengan menggunakan smartphone, konsumen leluasa berbelanja dari ”satu mal ke mal yang lain” secara online. Kehadiran e-commerce disatu sisi memang menguntungkan konsumen, terutama yang tidak banyak memiliki waktu berbelanja ke mal/pasar konvensional. Namun, di sisi lain model belanja online juga membawa cacat yang berpotensi merugikan konsumen.

Salah satu tengara munculnya permasalahan belanja online adalah aduan yang masuk ke YLKI. Jika tahun 2014 aduan tentang belanja online tidak masuk dalam 10 besar pengaduan, tahun 2015 belanja online bahkan menduduki peringkat ke-4 kasus yang paling banyak diadukan. Ini dapat dimaknai dari 2 (dua) hal; pertama bahwa belanja online telah mampu menarik minat konsumen, kedua; ketiadaan regulasi khusus yang mengatur e-commerce menempatkan konsumen pada posisi yang sangat lemah.

Dari 77 (tujuh puluh tujuh) kasus terkait belanja online yang diadukan ke YLKI, 20 persen (16 kasus) diantaranya tentang refund bermasalah, informasi produk yang tidak sesuai dengan barang 13 kasus (16%), dan proses pengiriman lama 12 kasus (15%). Konsumen dalam posisi sangat lemah ketika barang yang ditawarkan melalui internet ternyata tidak sesuai dengan barang yang dikirim. Dalam kondisi seperti ini, konsumen sebenarnya memiliki opsi untuk membatalkan. Namun, realitanya konsumen akan kesulitan untuk menarik kembali (refund) biaya yang telah disetorkan.

Sebuah keniscayaan bahwa teknologi akan semakin mendekatkan konsumen dan pelaku bertransaksi, bahkan tidak harus dalam nominal jutaan rupiah. Namun, tanpa hadirnya regulasi yang memayungi – terutama perspektif perlindungan konsumen – memungkinkan munculnya sengketa, baik di skala nasional maupun lintas negara.

Kesimpulan

Sepanjang terus terjadi kontak antara konsumen dengan produsen (pelaku usaha), maka keluhan dan pengaduan konsumen tidak akan pernah berhenti. Bahkan potensinya terus membesar, seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Apalagi di era pasar bebas, dimana barang impor dari berbagai negara bebas masuk ke Indonesia. Dengan kenyataan yang demikian, pelanggaran hak konsumen juga semakin tinggi. Untuk menjembatani pengaduan konsumen, jelas tak akan mampu jika hanya bertumpu pada satu lembaga.

Beruntung, saat ini telah lahir berbagai lembaga konsumen yang jumlahnya mencapai ratusan. Lembaga ini perlu diberdayakan untuk mendampingi konsumen. Di ranah sengketa konsumen, berbagai kabupaten/kota di Indoensia telah muncul Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), konsumen bisa menyalurkan permasalahannya melalui lembaga ini. BPSK merupakan lembaga independen yang struktur keanggotaannya terdiri atas multi stakeholders.

Secara nasional, terdapat institusi yang bernama BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional). Dalam menjalankan fungsinya, institusi ini bertanggungjawab langsung pada Presiden. Dari sisi kapabilitas, BPKN cukup kredibel untuk memberikan perlindungan konsumen. Sudah seharusnya jika BPKN lebih powerfull dalam memberikan perlindungan konsumen Indonesia. Sayangnya, lembaga ini masih asing dari telinga konsumen Indonesia.

Bagaimanapun juga, peran konsumen sangatlah vital. Seperti apa yang pernah diucapkan oleh mendiang John F Kennedy “konsumen merupakan kelompok ekonomi terbesar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan ekonomi pemerintah maupun swasta. Namun mereka adalah satu-satunya kelompok penting, yang pendapatnya sering tidak didengar”

Penulis : Agus Sujatno

Sumber : Data Pengaduan Konsumen dan Hukum