Pembukaan UUD 1945 serta batang tubuh pasal 31 ayat (3) UUD 1945, mengamanatkan tentang arti pentingnya upaya pencerdasan bangsa. Salah satu langkah yang diambil tentunya dengan menyelenggarakan tempat pendidikan (sekolah). Ragam pendidikan mulai tingkat paling dasar hingga jenjang pendidikan menengah maupun kejuruan, mulai banyak dijumpai dari kota hingga daerah-daerah. Perkembangan mutu pendidikan juga meningkat secara tajam.
Dewasa ini sekolah yang lagi marak adalah sekolah berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional. Apa yang dimaksud sekolah tersebut? Menurut pemahaman masyarakat sekolah bertaraf internasional berbeda dengan sekolah pada umumnya, misalnya tentang kemampuan bahasa asing dalam pengantar pelajaran dan komunikasi interaksi setiap hari (English day). Perbedaan yang lain tentu saja bersinggungan dengan biaya pendidikan.
Jenis sekolah dengan label ”Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional” (RSBI), belakangan marak di kota-kota besar, seperti Jakarta. Ini sejalan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional yang mewajibkan penyebaran Sekolah Berstandar Internasional (SBI) didaerah. SBI merupakan kewajiban Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan. Alasan pemerintah adalah peningkatan mutu pendidikan dengan kelulusan yang lebih baik dari sekolah regular/nasional dan diperkaya melalui adaptasi terhadap standar pendidikan negara maju.
Namun, pada kenyataannya pelaksanaan RSBI yang kelak menjadi cikal bakal SBI, masih mengundang banyak kritikan. Aspek yang biasa menjadi sorotan masyarakat adalah aspek pengelolaan operasionalnya. Terutama biaya penyelenggaraan pendidikan yang mahal, sehingga mengundang diskriminasi bagi masyarakat yang menengah ke bawah. Persoalan muncul ketika tak jarang masyarakat menengah ke bawah dengan kemampuan finansial terbatas, memiliki anak yang rajin, ulet, pintar dan cerdas yang seharusnya layak duduk di bangku sekolah bertaraf internasional.
Tak pelak tudingan terhadap sekolah bertaraf internasional hanya sebatas label yang mengatasnamakan “internasional” yang hanya ingin menarik dana lebih dari masyarakat, acap pula dialamatkan. Dengan hal tersebut membawa image hanya anak-anak yang orang tuanya kaya mampu bersekolah bertaraf internasional. Padahal tidak semua anak-anak miskin/kurang mampu tidak pintar bahkan anak-anak yang kurang mampu kemampuan pendidikannya sangat menonjol, demikian sebaliknya. Jadi, bukan hanya persaingan materi semata, namun telah merambah pada ranah ’menggapai’ status sosial dan gengsi bagi masyarakat berada.
Mutu RSBI
Program RSBI sebenarnya merupakan konsep menuju Sekolah Berstandar Internasional (SBI), yang diatur dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 menegaskan pentingnya pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional. Masalahnya, RSBI yang menjamur sekarang ternyata baru internasional dalam wujud fisik, seperti sarana yang mentereng dan lengkap. Secara mutu, sekolah RSBI masih banyak yang dikelola ala kadarnya. Sekolah-sekolah tersebut belum benar-benar mengikuti standar negara-negara maju. Standar yang meliputi kompetensi kelulusan, kurikulum dan proses belajar mengajar. Semestinya pendidikan dapat membentuk karakter sebagai individu dan budaya sebagai masyarakat sehingga hal yang lebih penting dalam sebuah RSBI adalah kurikulum apa yang disampaikan pada peserta didik bertaraf internasional tersebut. RSBI seharusnya berbasis kurikulum dengan kearifan-kearifan global yang baik sehingga peserta didik tidak hanya memiliki kapasitas seorang intelektual dunia tetapi memiliki karakternya. Seharusnya yang diajarkan bukan lagi hafalan-hafalan tahun dan definisi-definisi normatif tentang sebuah objek kajian tetapi yang diajarkan adalah nilai-nilai peradaban, kemanusiaan, kesejahteraan dunia, pluralitas (bukan pluralisme), dan moral spiritual.
Dengan kesalahan paradigma ini akan tidak ada perbedaan signifikan antara siswa lulusan sekolah reguler maupun RSBI. Bahkan, lulusan RSBI sekarang lebih berpotensi menjadi lulusan yang tinggi gengsinya namun rendah daya juangnya. Hal ini dikarenakan peserta RSBI terus saja dimanjakan dengan fasilitas yang lengkap tanpa diiringi kurikulum yang mengajarkan kemandirian misalnya. Sekolah bertaraf Internasional lebih komersil, daripada kualitas pendidikan yang melanggar konstitusi. Tetapi RSBI tersebut sulit dihentikan karena jaminan dari UU Sisdiknas mewajibkan setiap kabupaten/kota harus mengembangkan sedikitnya satu satuan pendidikan yaitu minimal satu SD, SMP, SMK, dan SMA yang berlabel internasional. Karena itu, perlu peninjauan ulang pasal demi pasal yang termaktub dalam Undang-Undang Sisdiknas. Tak mungkin pemerintah akan bertindak, bila bunyi UU mengamanatkan demikian. Lebih ironis, sekolah RSBI yang menetapkan biaya masuk mencapai puluhan juta rupiah, merupakan sekolah negeri. Artinya, sekolah tersebut didanai oleh pemerintah bukan sekolah swasta.
Intinya diadakan RSBI adalah bagaimana menyiapkan peserta didik agar menjadi kontibutor-kontributor yang siap membangun peradaban dunia internasional. Bukan lagi menjadikan mereka penghafal dan tempat penyimpanan pengetahuan tanpa dikeluarkan. RSBI ini bukan hanya berdasarkan kualitas fisik semata melainkan kualitas pendidikan yang lebih baik dari sekolah biasa/regular.
Oleh karena itu, pemerintah harus lebih ketat untuk menyelenggarakan sekolah bertaraf internasionaL. Diharapkan RSBI mempunyai karakter yang lebih khusus/signifikan sehingga tidak semua sekolah mengklaim bertaraf Internasional. Klaim tersebut bisa merugikan masyarakat karena tidak sesuai dengan kualitasnya dan hanya menarik uang dari calon orang tua siswa.
Dasar penetapan status sekolah menjadi RSBI mestinya dikaji ulang. Label ini telah menciptakan diskriminasi pendidikan. Seolah-olah sekolah reguler, kendati sudah memenuhi kriteria standar pendidikan nasional, dianggap stratanya dibawah sekolah berlabel RSBI. Evaluasi ini memang tidak hanya harus dilakukan oleh pemerintah, namun perlu dipikirkan juga oleh seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Masyarakat juga jangan mudah terkecoh oleh sekolah yang berlabel internasional.
Yani Aryanti Putri – Staff YLKI
(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)
0 Comments on "Klaim Sekolah Internasional"