Limbah merupakan sisa dari suatu usaha/kegiatan. Dikatakan limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya) jika mengandung bahan-bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat atau konsentrasi serta jumlahnya, dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup, mengganggu kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Bila hendak dibuang ke lingkungan, penanganannya harus mengikuti ketentuan peraturan limbah B3 dan tata cara dalam perizinan. Ini dimaksudkan agar pencemaran lingkungan serta gangguan kesehatan terhadap manusia dapat dihindari.

Di Indonesia, selain merujuk pada konvensi Basel, penanganan limbah B3 diatur dalam beberapa peraturan antara lain; Kerpres 61/1993 tentang Ratifikasi Konvensi Basel, Perpres 47/2005 tentang Ratifikasi Ban Ammendement, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP Nomor 18/1999 jo PP Nomor 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah B3, UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Bahaya E-waste

Limbah elektronik (electronic waste/e-waste) adalah barang elektronik yang dibuang karena sudah tidak berfungsi atau sudah tidak dapat digunakan lagi. E-waste perlu diwaspadai karena mengandung 1000 material. Sebagian besar dikategorikan sebagai bahan beracun dan berbahaya, seperti logam berat (merkuri, timbal, kromium, kadmium, arsenik, perak, kobalt, palladium, tembaga dan lainnya).

Beberapa limbah B3 dengan paparan risikonya, antara lain;

  1. PCBs: banyak digunakan pada bahan plastik, perekat, trafo, kapasitor, sistem hidrolis, ballast lampu, dan peralatan elektronik lainnya. Risiko: persisten di lingkungan, mudah terakumulasi dalam jaringan lemak manusia dan hewan. Mengganggu sistem pencernaan dan bersifat karsinogenik.
  2. Arsenik: digunakan dalam industri elektronik, di antaranya pembuatan transistor, semikonduktor, gelas, tekstil, keramik, lem hingga bahan peledak. Risiko: menimbulkan gangguan metabolisme di dalam tubuh manusia dan hewan, mengakibatkan keracunan bahkan kematian.
  3. Kadmium: digunakan untuk pelapisan logam, terutama baja, besi dan tembaga. Juga dalam pembuatan baterai dan plastik. Risiko: jika terisap bersifat iritatif. Dalam jangka waktu lama menimbulkan efek keracunan, gangguan pada sistem organ dalam tubuh manusia dan hewan.

Peningkatan konsumsi alat elektronik akan mengakibatkan terjadinya lonjakan e-waste di masa yang akan datang. Di Afrika Selatan dan China, diprediksi akan terjadi lonjakan e-waste hingga 200 – 400 persen pada tahun 2020. Tak terkecuali Indonesia, jika tanpa kendali dipastikan terdapat lonjakan e-waste.

Meningkatnya jumlah limbah elektronik di Indonesia dikarenakan beberapa faktor, antara lain: (1) Minimnya informasi mengenai limbah e-waste kepada publik; (2) Belum adanya kesadaran publik dalam mengelola e-waste untuk penggunaan skala rumah tangga (home appliances); (3) Pemahaman yang berbeda antar institusi termasuk Pemerintah Daerah tentang e-waste dan tata cara pengelolaannya; (4) Belum tersedianya data yang akurat jumlah penggunaan barang-barang elektronik di Indonesia; serta (5) Belum tersedianya ketentuan teknis lainnya, semisal umur barang yang dapat diolah kembali.

Menurut data dari UNEP (Program Lingkungan Hidup PBB) secara global e-waste tumbuh 40 juta ton setiap tahunnya. Sampah ponsel dan komputer personal sebagai penyumbang terbesar. Limbah emas dan perak 3%, palladium 13% dan kobalt 15%, setiap tahunnya.

Lonjakan e-waste yang paling sensasional terjadi pada produk telepon seluler (ponsel). Saat ini hampir setiap orang memiliki sebuah ponsel atau bahkan lebih, ini tentu akan mempengaruhi jumlah e-waste yang dihasilkan. E-waste tertinggi berikutnya adalah televisi yang kemudian diikuti oleh kulkas. Artinya bahwa meningkatnya jumlah e-waste terkait erat dengan peningkatan penggunaan alat elektronik yang saat ini sudah menjadi gaya hidup masyarakat dunia.

Secara rerata, volume e-waste terus mengalami peningkatan 3 – 5 % per tahun. Jumlah ini tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan limbah jenis lain. Saat ini saja, 5% limbah padat yang dihasilkan dunia adalah e-waste. Jumlah ini hanya bisa disaingi oleh jumlah limbah kantung plastik. E-waste bersifat toksik karena kandungan timbal, berilium, merkuri, kadmium, BFRs (Brominated Flame Retardants) yang merupakan ancaman bagi kesehatan dan lingkungan.

E-waste di Indonesia

Parlemen Uni Eropa dalam instruksinya No. 2002/96/EC menggolongkan jenis-jenis limbah elektrikal dan elektronik yang termasuk dalam e-waste, antara lain:

  1. Peralatan rumah tangga berukuran besar (Large household appliances, berlabel LargeHH). Masuk kategori ini diantaranya mesin pendingin ruangan (AC), mesin cuci, lemari es, kulkas, oven.
  2. Peralatan rumah tangga berukuran kecil (Small household appliances, berlabel small HH), seperti kipas angin, kompor, blender, toaster, vacuum cleaner.
  3. Peralatan komunikasi dan teknologi informasi (IT & telecommunications equipment, berlabel ICT). Komputer, laptop, printer, telepon, modem, handphone, mesin fax, mesin scan, baterai, kalkulator masuk dalam kategori ini.
  4. Peralatan hiburan elektronik (Consumer equipment, dengan label CE); yaitu TV, radio, pemutar DVD/VCD.
  5. Perlengkapan pencahayaan (Lighting equipment, dengan label Lighting).
  6. Alat-alat listrik dan elektronik (Electrical and electronic tools, with the exception of large scale stationary Industrial tools, dengan label E&E tools). Masuk kategori ini salah satunya adalah mesin bor.
  7. Mainan elektronik dan peralatan olahraga (Toys, leisure and sports equipment, dengan label Toys).
  8. Perangkat medis (Medical devices-with the exception of all implanted and infected products, dengan label Medical Equipment).
  9. Alat monitoring dan alat kontrol (Monitoring and control instrument, dengan label M&C).

Semua jenis yang dikelompokan oleh Uni Eropa, merupakan hal yang jamak diketemukan di rumah tangga Indonesia. Artinya, secara langsung Indonesia juga bertanggung jawab dengan keberadaan e-waste.

Berdasarkan data BPS tahuin 2012, produksi elektronik dalam negeri untuk 2 (dua) jenis saja yaitu televisi dan komputer, jumlahnya cukup mencengangkan. Indonesia mampu memproduksi televisi sebanyak 12.500.000 kg/tahun. Jumlah televisi impor; 6.687.082 kg/tahun.

Dari jumlah tersebut, televisi berpotensi menghasilkan e-waste sebanyak 12.491.899.469 kg/tahun. Sementara untuk komputer, Indonesia mampu memproduksi 12.491.899.469 kg/tahun, dengan jumlah impor 35.344.733 kg/tahun. Dan potensi e-waste yang dihasilkan mencapai 36.020.493.768 kg/tahun. Padahal komposisi dalam sebuah komputer banyak mengandung silica/glass, palstik, ferrous metal dan lain-lain.

Dengan jumlah sebesar itu, celakanya Indonesia belum memiliki perhatian yang tinggi terhadap sampah elektronik. Pemahaman masyarakat, produsen dan bahkan pemerintah terbilang masih sangat rendah terhadap dampak e-waste. Pemerintah seharusnya membuat peraturan yang jelas, dimana para produsen barang elektronik harus tetap bertanggung jawab atas produknya yang beredar baik pada saat produk elektronik (e-product) itu dibuat, didistribusikan dan jika sudah tidak digunakan lagi. Sehingga produsen itu menegtahui mata rantai produksi dan distribusi dari produknya.

Sebagai contoh, penerapan EPR (Extended Producer Responsibility) dianggap sangat penting dikarenakan ini merupakan tanggung jawab produsen yang diperluas pada mata rantai produksi secara fisik dan pembiayaan hingga pada tahap setelah pemakaian/penggunaan oleh konsumen.

Dengan demikian, tanggung jawab produsen tidak hanya terhadap emisi, effluent dan limbah yang dihasilkan selama proses produksi, tetapi juga bertanggung jawab memasukkan manajemen produk terhadap produk yang telah dibuang oleh konsumennya.

Selain pemerintah, tanggung jawab juga dibebankan kepada masing-masing kelompok terkait. Produsen, misalnya; bertanggung jawab untuk memonitor distribusi produk dan bertanggung jawab untuk menangani limbah elektroniknya, mengelola limbah elektronik yang dihasilkan serta Bertanggung jawab untuk menghasilkan produk ramah lingkungan.

Sedangkan kelompok konsumen dan distributor bertanggung jawab untuk melakukan pemilahan terhadap limbah elektronik yang dihasilkan, membawa limbah elektronik tersebut ke tempat penampungan yang sudah ditetapkan serta tidak menjual langsung limbah elektronik ke pengumpul yang tidak berizin.

Dalam hal kelompok Penampung, perlu melakukan kerjasama dengan produsen dan Pemda untuk menyediakan lokasi penampungan limbah elektronik. Membantu pelaksanaan mekanisme insentif untuk konsumen yang mengembalikan barang/limbah elektroniknya.

Sedangkan industri rekondisi, bertanggung jawab melakukan rekondisi dengan kriteria produk yang dapat dipertanggungjawabkan. Serta bertanggung jawab untuk mengelola limbah dan sampah yang dihasilkan (sesuai dengan Permen LH No.18/2009 tentang Tata cara perizinan pengelolaan Limbah B3)

Persentase Perlakuan terhadap Produk Elektronik Bekas Milik

Merujuk data dari Dr. I Made Wahyu Widyasana ini terlihat bahwa menjual kembali produk bekas milik serta tukar tambah merupakan persentase terbanyak yang dilakukan konsumen Indonesia. Agaknya ini terkait dengan perilaku sebagain masyarakat yang masih mengakomodir pembelian barang bekas milik.

Dari uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam meminimalisir limbah elektronik:

  1. Adanya satu pemahaman antar instansi terkait dalam mengelola limbah elektronik.
  2. Memberikan kesadaran kepada masyarakat umum untuk mengelola limbah elektroniknya sehingga tidak membuangnya secara sembarangan dengan memberikan solusi tatacara pengumpulan dan trade in mechanism limbah elektronik; dan menyiapkan serta menyediakan fasilitas pengumpulan, fasilitas pembuangan dan fasilitas 3R (recycle, reuse, reduce).
  3. Mendorong kepedulian semua pihak untuk mendukung pelaksanaan mekanisme EPR dan mekanisme insentif.
  4. Membangun sistem database untuk mendata: volume limbah elektronik, daftar industri rekondisi, daftar industri pengolah limbah.
  5. Kebijakan untuk peranan dan pertumbuhan industri rekondisi dan memberlakukan standar untuk produk refurbish.
  6. Memberikan informasi kepada semua pihak (terutama sektor informal) akan bahaya penanganan e-waste yang tidak terkontrol.
  7. Pengelolaan limbah B3 dari kegiatan elektronik dapat dilakukan sendiri atau diberikan kepada pihak ketiga yang telah mendapatkan izin dari KLH, sehingga KLH mendukung semua pihak untuk dapat melakukan pengelolaan limbah elektronik dan melakukan inovasi dalam pengembangan teknologi pengelolaan limbah elektronik.
  8. Mendesain metode pengawasan yang melibatkan semua pemangku kepentingan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, produsen dan masyarakat.

Noor Jehan, Staf Peneliti YLKI