Dampak yang muncul dari kemacetan di Jakarta, tidak hanya menimbulkan pencemaran udara yang buruk, tapi juga merugikan secara ekonomi. Kemacetan diprediksi kedepannya akan semakin menjadi-jadi. Dengan pertumbuhan jumlah kendaraan mencapai 10-11 persen pertahun, sedangkan penambahan jalan tidak sampai 1 persen. Berbagai sumber kajian menyebutkan, potensi kehilangan nilai ekonomi dari bahan bakar akibat kemacetan lalu lintas di Jakarta mencapai Rp 11 triliun pertahun. Dari jumlah tersebut, Rp 1,8 triliun adalah hilangnya ekonomi akibat polusi dan emisi pencemaran udara.

Polusi udara juga memberikan dampak kesehatan yang membahayakan. Data sebuah penelitian menemukan, dalam 2 dekade, infeksi saluran pernafasan dan penyakit pernafasan menjadi penyakit nomor 1 diantara 10 penyakit yang menjangkiti warga kota-kota besar, termasuk Jakarta. Empatpuluh enam persen penyakit pernafasan memiliki korelasi dengan pencemaran udara (ISPA, asthmatic, iritasi mata). Tigapuluh dua persen angka mortalitas diprediksi terkait dengan pencemaran udara (cardiovascular disease, pneumonia).

Sektor transportasi memberikan kontribusi pada polusi udara sekitar 60–80 persen, diikuti sektor industri dan rumah tangga. Transoprtasi juga menjadi pelahap bahan bakar terbesar mencapai 56 persen, diikuti sektor industri yang menghabiskan 18 persen. Masih digunakannya bahan bakar minyak pada sebagian besar kendaraan disinyalir menjadi penyebab tingginya polusi udara. Disamping itu, penggunaan bahan bakar ini berpotensi menguras sumber alam yang makin menipis.

Data menunjukkan bahwa minyak bumi akan tersedot habis dalam 30-40 tahun kedepan. Cadangan minyak Indonesia tinggal sekitar 9 milliar barel, sementara konsumsi kita 0,45 milliar barel pertahun. Jika dikalkulasi maka minyak bumi Indonesia akan ludes dalam waktu 18-20 tahun dari sekarang. Sejak Maret 2005, Indonesia juga telah tercatat sebagai net importir minyak bumi. Artinya, pasokan minyak yang dikonsumsi masyarakat sebagian didatangkan dari negara lain. Sungguh memprihatinkan ketika minyak yang dibeli dengan harga tinggi dan dijual di pasaran dalam negeri dengan harga lebih rendah menggunakan pola subsidi ternyata salah arah, dimana 60 persen dinikmati oleh mereka yang memiliki mobil mewah.

Kenyataan yang sama nampaknya akan terulang pada cadangan gas bumi kita. Keengganan pemerintah mengurangi ekspor gas kebeberapa negara menjadi indikasinya. Sementara pasokan untuk kebutuhan dalam negeri dinyatakan tidak cukup. Sehingga Indonesia diperkirakan akan lebih cepat lagi menjadi pengimpor bahan bakar gas.

Ramah Lingkungan

Sebagai bahan bakar alternatif yang rendah polusi, sungguh disayangkan jika kebijakan pemanfaatan gas untuk transportasi, belum berhasil diterapkan dengan baik. Selain berdampak pada hilangnya keuntungan secara ekonomi, juga menimbulkan kesulitan bagi para pihak yang telah berkomitmen mendukung program ini misalnya operator angkutan umum (baik itu Busway, Mikrolet, Taksi, Bajaj) juga para pemilik kendaraan pribadi, di mana mereka kesulitan memperoleh pasokan gas dengan kualitas dan jumlah yang memadai. Padahal pemanfaatan bahan bakar gas terbukti mampu menekan tingkat pencemaran udara, yang tentunya sejalan dengan target pemerintah untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 26 persen.

Tantangan pemanfataan bahan bakar gas untuk transportasi menjadi semakin besar, kendati semenjak awal digulirkan pada 1987 pernah mencapai puncak pada tahun 1999- 2001. Awal keberadaaan, penggunaan BBG di Jakarta hanya pada 300 kendaraan jenis taksi, yang terus mengalami peningkatan hingga mencapai puncaknya tahun 2000 dengan jumlah kendaraan mengonsumsi BBG/LPG sebanyak 6.633 buah. Jumlah tersebut meliputi 25 bus berbahan bakar gas, 1.693 kendaraan berbahan bakar LPG dan sisanya kendaraan yang menggunakan bahan bakar gas.

Namun, kemudian berangsur-angsur total konsumsi ini menurun. Tahun 2005, penggunaan BBG/LPG terhadap kendaraan mengalami penurunan hingga tinggal 2.500 saja. Hal ini antara lain diakibatkan; 1. kegagalan dalam mempertahankan harga bahan bakar gas pada level maksimum 55 persen dari harga bensin, 2. keterbatasan jaringan distribusi gas bumi serta kontinuitas pada instalasi konversi kit, 3. investasi dan biaya operasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dianggap masih lebih mahal dan margin bagi pengusaha belum menarik, 4. kegagalan dalam memperbaiki kualitas bahan bakar gas, terutama pada kandungan air. 5. kontinuitas pasokan tidak memenuhi syarat minimal; 6 .opini masyarakat bahwa penggunaan BBG untuk transportasi memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan BBM.

Tentu dengan keadaan seperti ini, pemanfaat BBG/LPG untuk transportasi demi mengurangi kadar polusi perlu penanganan lebih serius. Reformasi regulasi yang mengatur bahan bakar ramah lingkungan yang disesuaikan dengan target penurunan efek rumah kaca, mendesak dilakukan. Kebijakan diharapkan dapat mendorong kemudahan bagi pemain dibidang industri dan konsumen secara umum untuk memanfaatkan energi yang ramah lingkungan.

***

Agus Sujatno, Staff YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)

Gambar diambil dari sini