Kalau tidak ada aral melintang, efektif per 2 Juli 2011 Kereta Rel Listrik (KRL) Pakuan akan mengakiri peran historisnya sebagai moda transportasi yang memenuhi kebutuhan mobilitas masyarakat hilir mudik Bogor-Jakarta pulang pergi.
Sejak beroperasi 1972, jutaan orang telah merasakan “jasa” KRL Pakuan. Peran KRL akan digantikan KRL Commuter Line yang akan dioperasikan PT Kereta Commuter Jakarta (KCJ), anak perusahaan PT KAI sekaligus pemegangsaham 100 persen PT KCJ.
PT KCJ telah memutuskan untuk melakukan perubahan sistem operasi menjadi ”single operation”. Ada dua perubahan penting dalam system operarasi baru ini. Pertama, perampingan rute/trayek perjalanan KRL, dari 37 rute menjadi 5 rute. Kedua, tidak ada pengkelasan dalam lintasan trek, artinya tidak ada kereta yang didahulukan, semua kereta berjalan secara berurutan.
Secara formal argumen dilakukan perubahan system operasi ini adalah dalam rangka meningkatkan kapasitas angkut KRL, untuk selanjutnya pelayanan akan menjadi lebih baik, seiring dengan tingginya animo masyarakat menggunakan KRL dalam memenuhi kebutuhan mobilitas sehari-hari.
Namun tanpa ada perubahan radikal dalam aspek kerangka kelembagaan ( institusional framework ),perubahan apapun, termasuk system operatasi , tidak akan berdampak signifikan dalam upaya perbaikan layanan kereta api pada umumnya dan KRL pada khususnya.
PT Kereta Api Indonesia (KAI) selaku holding yang menaungi berbagai usaha di sector perkereta-apian, termasuk PT KCJ, selama ini dihadapkan pada suatu dilema. Sebagai entitas bisnis berupa PT persero dituntut untuk untuk mencetak laba, tetapi pada saat yang sama mendapat penugasan pemerintah dalam bentuk dana Public Service Obligation (PSO), pada 2010 alokasi PSO untuk PT KAI sebesar Rp 535 M, keberadaan PT KAI rawan diintervensi kepentingan politik.
Tidak hanya itu, PT KAI sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), berdasarkan UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, selaku BUMN PT KAI dilarang menjual barang / jasa di bawah biaya pokok / jual rugi. Ketentuan ini sangat logis, karena sebagai entitas bisnis memang dibuat untuk mencetak laba.
Di sisi lain, selaku penerima PSO, PT KAI dalam menjalankan usahanya tidak bisa sepenuhnya menggunakan pendekatan ke-ekonomian, mengingat PSO sendiri adalah keputusan politik antara DPR dan Pemerintah, sehingga sah-sah saja DPR dan Pemerintah mengintervensi PT KAI. Hal ini sebagai konsekuensi logis sebagai BUMN penerima PSO.
Dengan demikian, ada split personality dalam diri tubuh PT KAI. Pada satu sisi tampil sebagai entitas bisnis dengan profit sebagai indikator performance, tetapi pada sisi lain sebagai institusi penerma PSO harus menampakkan wajah sebagai lembaga yang mengemban misi sosial melayani masyarakat. Ini tidak mudah.
Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya pembukuan terpisah dalam penggunaan dana PSO, sehingga pemanfaatan dana PSO di sektor perkereta-apian praktis tidak dapat di-trace(telusuri). Anehnya walaupun dana PSO ini sudah bejalan hampir sepuluh tahun, Pemerintah dan DPR melakukan kesalahan dalam bentuk melakukan pembiaran terhadap PT KAI yang tidak melaksanakan kewajiban dalam bentuk melakukan pemisahan pembukuan.
Untuk itu, yang lebih penting dilakukan dalam upaya perbaikan layanan adalah melakukan pembenahan di sektor hulu dalam bentuk penataan aspek kelembagaan. Bagi PT KAI selaku entitas bisnis, akan lebih lincah bergerak apabila diberi kebebasan untuk menentukan tarif. Kalaupun ada interavensi pemerintah, terbatas pada menentukan level margin yang wajar dan mewajibkan PT KAI selaku operator untuk memenuhi level of services.
Dalam hal kebijakan pentarifan insfrastruktur yang dikelola badan usaha, pemerintah selama diskriminatif. Terhadap infrastrukur yang dikelola oleh badan usaha yang sudah listing di bursa dan ada pemegang saham/investor asing ( seperti jalan tol dan telekomunikasi ), tarif didekasi secara ke-ekonomian. Tetapi untuk infrastruktur yang dikelola badan usaha yang sahamnya seratur persen dimiliki pemerintah, tarif didekati secara politis ( KA, Listrik ), meskipun sama-sama BUMN dan juga sama-sama tunduk pada UU BUMN.
Sedangkan untuk mengoperasikan kereta PSO, ke depan akan lebih transparan dan accountable apabila diopersikan oleh badan usaha terpisah di luar PT KAI. Untuk selanjutnya bisa saja disebut kereta politik, karena sebagian dibiayai dari dana PSO yang merupakan keputusan politik antara DPR dan Pemerintah.***
Sudaryatmo, Ketua Pengurus Harian YLKI
(Dimuat di Koran Tempo, 28 Juni 2011)
0 Comments on "Kereta Terakhir Pakuan"