Kalimat tersebut sangat jamak diketemukan dalam struk belanja kita, di Indonesia. Memang klausula ini seolah menjadi senjata ampuh bagi penjual untuk menolak penukaran atau pengembalian barang. Namun, benarkah hal demikian? Lantas bagaimana dengan pelaku usaha di negara-negara maju memperlakukan konsumennya?

 

Sebuah kebetulan ketika YLKI berkesempatan menghadiri sidang ke-33 ISO Copolco (23–27/05/11) di London dengan British Standard Institution (BSI) sebagai tuan rumah, mencatat hal menarik terkait urusan konsumen yang layak saji sebagai oleh-oleh khas Warta Konsumen. O…ya sekedar informasi tambahan, Copolco (Consumer Policy Committee) merupakan salah satu komite dalam ISO (Organisasi Standar Internasional) yang memberi perhatian pada kepentingan konsumen.

 

Inggris mungkin saja bukan negara tujuan belanja bagi rata-rata masyarakat dari negara berkembang, kendati toko-toko yang memasarkan produk bermerek internasional bertebaran di seantero kota. Karena bukan pengamat produk bermerek, agak sulit untuk mengatakan apakah produk yang dijual di London kualitasnya lebih baik dari produk sejenis dengan merek yang sama yang dijual di mal-mal megah di Jakarta. Tapi yang pasti, meskipun mengusung merek Inggris atau Eropa, asal produk bisa jadi dari negara-negara yang sedang berkembang.

 

Peduli Konsumen

 

Cara belanja di London ataupun Jakarta sebenarnya sama saja. Tinggal memilih dan mengambil barang yang diinginkan, kemudian dibayar. Cara membayar pun tidak berbeda, mau menggunakan uang tunai ataupun kartu kredit, tidak ada bedanya. Lalu, apa yang berbeda?

 

Perbedaan mendasar adalah bagaimana para pedagang atau toko-toko tersebut menghargai hak pilih konsumen. Pedagang di London memberikan masa tenggang pada konsumen, apabila mendadak berubah pikiran terhadap produk yang dibeli. Lebih jelasnya begini, konsumen diberi kesempatan untuk menukar atau mengembalikan barang yang sudah dibeli dalam waktu satu minggu. Tidak perlu diminta. Tapi otomatis diberikan.

 

Sementara di Indonesia justru kebalikan. Pedagang tidak mentolelir pengembalian barang yang telah dibeli dengan berkerudung pada klausula tersebut diatas. Jadi, konsumen dituntut untuk benar-benar meyakini apakah produk yang akan dibeli sudah sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa toko mungkin memberikan peluang untuk penukaran, tapi tidak disampaikan secara eksplisit. Apabila kita menanyakan, misalnya karena ragu atau khawatir ukuran tidak cocok, kemungkinan kesempatan itu diberikan.

 

Di London, hampir setiap pembelanjaan mencantumkan tulisan yang menunjukkan kesempatan konsumen untuk menukar barang. Ini tidak hanya berlaku untuk barang-barang besar dan mahal. Bahkan di tempat pembelian cendera mata kecil pun praktik ini dilakukan.

 

Pernyataan ditemukan dalam berbagai bentuk. Adayang menuliskan secara umum: “After this you may still be entitled to a refund in line with your legal rights”, atau “Please retain receipt in case of any query”. Ada juga yang mencantumkan rentang waktu untuk pengembalian secara jelas: “Unwanted goods for return must be brought back to us within 7 DAYS and have the labels attached by the original fixing. This does not affect your Statutory Rights”, juga “We are happy to exchange or refund any item in a saleable condition returned to us, with a receipt, within 28 days. This does not affect your legal rights.”

 

Bentuk lain adalah dengan menuliskan kebijakan pengembalian atau penukaran di balik struk pembayaran. Kebijakan yang ditulis biasanya agak panjang (lihat gambar).

Keberanian menuliskan pernyataan-pernyataan seperti dalam gambar dengan jelas pada struk pembelian menunjukkan tanggung jawab mereka dalam menjalankan usaha. Bagaimana dengan di Indonesia? Kendati Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengharamkan adanya klausula baku, kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” masih kerap kita temukan dalam struk belanja.

 

Agaknya, para pelaku usaha masih tidak percaya, bahwa konsumen Indonesia sudah cukup matang dalam berkonsumsi. Mereka masih khawatir, konsumen akan memanfaatkan peluang menukar atau mengembalikan barang yang sudah dibeli untuk tujuan tertentu. Jadi, mari kita tunjukkan bahwa kita adalah konsumen yang bertanggung jawab!

 

Peduli lingkungan

 

Di London, tempat penjualan produk pangan yang paling mudah ditemukan adalah Mark & Spencer Simply Food. Toko ini ada di hampir setiap pojok pertokoan. Apabila di Indonesia merek ini lebih dikenal untuk produk pakaian, kosmetik dan produk perawatannya, di Inggris justru lebih mudah menemukan M&S yang menjual makanan dibandingkan yang disebut terdahulu.

 

Bicara soal produk pangan, hak konsumen lain yang terlihat nyata dipenuhi oleh para produsen adalah hak konsumen atas infomasi. Tidak hanya informasi nutrisi dan potensi alergi produk tersebut, informasi terkait kemasan yang dihubungkan dengan kepedulian terhadap lingkungan pun ternyata dapat dijumpai dengan mudah.

 

Informasi apa saja yang disajikan? Hampir pada setiap produk kita dapat menemukan informasi penting terkait kemasan yang mereka gunakan. Terlepas informasi ini memang wajib disampaikan atau tidak, sepertinya kesadaran konsumen Inggris yang cukup tinggi akan lingkungan menjadikan informasi ini dicantumkan dengan jelas.

 

Dari suatu produk, misalnya, jelas disampaikan informasi mengenai karakter kemasan yang digunakan. Sehingga, konsumen tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap kemasan tersebut. Salah satu produk misalnya, menyebutkan sumber atau asal kemasan karton yang digunakan 50 persen terbuat dari bahan daur ulang. Untuk sampahnya, ada logo yang menyatakan bahwa bagian kemasan yang terbuat dari karton dapat didaur ulang. Sementara logo lain mengisyaratkan bahwa wilayah tertentu mungkin memiliki kebijakan tersendiri dan melakukan daur ulang wadah yang terbuat dari plastik.

 

Urusan daur ulang lain adalah bagian kemasan yang terbuat dari jenis plastik lain. Jelas disebutkan bahwa bagian ini tidak dapat didaur ulang. Seorang konsumen dengan tingkat kesadaran yang tinggi, mungkin saja tidak sekedar memilih produk pangan dari kandungan nutrisi atau bahan baku yang digunakan saja. Kemasan yang digunakan pun bisa jadi merupakan salah satu dasar untuk mengambil keputusan membeli.

 

 

Hal menarik lain juga bisa ditemukan dari struk pembelian. Di bagian belakang, tercetak informasi bahwa struk ini terbuat dari kertas yang telah memiliki sertifikat Forest Stewardship Council, suatu institusi yang mengeluarkan sertifikat produk berdasarkan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab.

 

Huzna G Zahir – Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di mahalah Warta Konsumen)